Jakarta Hancur Karena Jokowi? Pertanyaan itulah yang muncul pertama kali ketika membaca berita kritikan Ridwan Saidi (budayawan Betawi) soal Jokowi. Sikap kritisnya seperti menembakkan kata-kata yang berpeluru tajam. Dar der dor…
Seperti ini wujud screen-shoot berita soal Ridwan Saidi di Kompas:
Dari muatan kata-kata Ridwan Saidi itu dampaknya dapat ditebak. Pasti akan timbul reaksi seru, utamanya dari para pendukung Jokowi. Maklum, kritik Ridwan Saidi dalam berita Kompas itu tidak memuat keterangan analitik (alasan rasional) atau indicator-indikator yang dapat dipakai menjustifikasi Jokowi dalam membuat Jakarta menjadi hancur dan acak-acakan.
Dugaan akan munculnya reaksi balik terhadap Ridwan Saidi ternyata tidak meleset. Berita kritik Ridwan Saidi yang dipublikasikan kompas.com pada hari Jumat, 6 Desember 2013 jam 14:17 WIB tersebut, (ketika artikel ini ditulis) telah dishare melalui facebook sebanyak 1.203, twitter sebanyak 768 dan mendapat komentar sebanyak 807. Seperti ini screen-shoot dari komentar yang muncul dalam berita kompas.com tersebut:
Di Mana Keadaban Elite dalam Berdemokrasi?
Logika berpikir dari pembaca kompas berfoto ABG tersebut justru dapat diterima akal sehat. Sebaliknya, apakah kritik Ridwan Saidi terhadap Jokowi itu sudah dapat diterima dengan akal sehat? Sampai sejauh ini belum ada keterangan dari Ridwan Saidi yang menjelaskan alasan-alasan rasionalnya soal kritik tersebut. Semoga saja budayawan Betawi itu segera memberikan penjelasan kepada public yang lebih rasional agar proses edukasi politik di Indonesia dapat mendorongterbangunnya “keadaban berdemokrasi” di negeri ini.
Bagaimana mungkin “keadaban berdemokrasi” di negara ini dapat dibangun dengan baik jika para tokoh di jajaran elite kerap melontarkan pernyataan-pernyataan politik yang kelewat emosional? Bagaimana pun, setiap tokoh memiliki tanggung jawab moral untuk membangun “keadaban berdemokrasi” di Indonesia ini. Kalau para elitenya tidakmemiliki komitmen membangun “keadaban berdemokrasi” dan hanya larut dalam kontestasi perebutan kue kekuasan (kepentingan pragmatis) dengan menghalalkan segala cara, wajah Indonesia dapat menjadi kusut akibat budaya politik yang kurang beradab.
Yang jelas, jauh sebelum Jokowi terpilih menjadi Gubernur Jakarta, kondisi ibu kota negara Indonesia itu sudah rapuh, seperti yang tergambar dalam Puisi Jakarta ini. Selamat berdemokrasi dengan hati, buanglah emosi. Sebab, emosi itu sejatinya api yang dapat membakar diri sendiri. Mari kita kritik Jokowi dan Ahok secara konstruktif dan etika. Sebab, kalau hanya memuja-muji Jokowi dan Ahok secara membabi-buta kita bisa tersesat dalam keindahan yang semu, seperti yang dialami Soeharto pada zaman Orde Baru lalu. Sangat tidak diharapkan jika masyarakat bawah di Indonesia ini menjadi bimbang akibat perilaku politik kita seperti Pelacur Negeri Sipil (PNS). Bukan begitu? (twitter: @SutBudiharto)