Mohon tunggu...
Dudih Sutrisman
Dudih Sutrisman Mohon Tunggu... Administrasi - Pegiat Bidang Pendidikan, Sosial, Politik, Budaya, dan Sejarah

Cogito Ergo Sum

Selanjutnya

Tutup

Politik

Goncangan Suap Menjelang Pilkada Serentak

12 Maret 2018   14:12 Diperbarui: 12 Maret 2018   14:31 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh Dudih Sutrisman

Sebuah berita mengejutkan muncul dari Kabupaten Garut, jika kita biasanya mendengar kasus korupsi yang dilakukan petahana/pejabat untuk mencari modal kampanyenya kini kita mendengar sebuah kasus yang melibatkan langsung oknum dari lembaga penyelenggara dan pengawas pemilu. Kasus suap yang melibatkan Ketua Panwaslu Kab. Garut dan Komisioner KPU Kabupaten Garut menjadi sebuah fenomena yang kini menyeruak ke permukaan bukan hanya di wilayah Jawa Barat namun juga nasional. Bagaimana tidak, kasus ini muncul dan terbongkar di saat tensi politik lokal dan nasional mulai meningkat menjelang Pilkada serentak 2018 dan Pemilu 2019.

Kasus yang terjadi di Kabupaten Garut ini, adalah kasus suap yang dilakukan oleh bakal calon bupati dan wakil bupati kabupaten Garut dari jalur independen. Menurut kronologi yang ada, kasus suap ini terjadi manakala calon kepala daerah independen tersebut melakukan suap kepada komisioner KPU dan Ketua Panwaslu Kabupaten Garut untuk mendapatkan data fisik berupa KTP sesuai dengan jumlah persyaratan untuk lolos bagi Calon yang maju dari jalur independen.  Dan lucunya, kasusnya ini pun terbongkar karena sang Calon Independen ternyata kemudian tidak lolos verifikasi dan gagal menjadi Calon Bupati & Wakil Bupati Kabupaten Garut pada Pilkada Garut 2018 sehingga memunculkan kekecewaan pada pihak tim dari yang bersangkutan.

Panitia pengawas pemilu sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2017 semestinya bertugas untuk mengawasi jalannya penyelenggaraan pemilihan umum demikian juga dengan Komisi Pemilihan Umum, semestinya bertugas untuk menyelenggarakan pemilihan umum sesuai dengan koridor hukum yang berlaku. Permainan yang dilakukan kedua oknum dari lembaga penting dalam proses pesta demokrasi ini mencederai kepercayaan publik terutama dari masyarakat kabupaten Garutnya sendiri terhadap proses yang telah dilewati oleh KPU dan Panwaslu Garut dan hal ini jelas-jelas menampar korps penyelenggara Pemilu. Bagaimana tidak, ketika Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilihan Umum sedang gencar-gencarnya menolak keras adanya suap dan politik uang jelang Pilkada Serentak 2018, anggota kedua lembaga tersebut justru terjerat operasi tangkap tangan di Kabupaten Garut.

Sebagaimana dikatakan oleh Ketua Bawaslu Abhan saat menggelar konferensi pers di Kantor Bawaslu, Jakarta, Minggu (25/2/2018) sebagaimana dikutip oleh Kompas.com bahwa apa yang dilakukan oleh kedua penyelenggara Pemilu tersebut telah mencederai proses demokrasi yang sedang berlangsung, khususnya di Kabupaten Garut. Apalagi, kata dia, Bawaslu sedang menggalakkan gerakan tolak money politics dan peningkatan integritas jajaran penyelenggara pemilu, khususnya Panwaslu.

Money politics yang kerapkali muncul menjadi godaan dalam pesta demokrasi menjadi salah satu hal yang pada akhirnya membuat paradigma masyarakat terhadap dunia politik terutama proses politik menjadi buruk. Menurut Lesmana (dalam Fitriyah, 2013), politik uang adalah, uang yang ditujukan dengan maksud-maksud tertentu seperti contohnya untuk melindungi kepentingan bisnis dan kepentingan politik tertentu. Yang menarik dari kasus ini adalah terkait bentuk dari money politcs--nya itu sendiri, jika biasanya menurut Kumorotomo (dalam Fitriyah, 2013) cara untuk melakukan politik uang dalam pilkada langsung, yakni: (1) Politik uang secara langsung bisa berbentuk pembayaran tunai dari "tim sukses" calon tertentu kepada konstituen yang potensial, (2) sumbangan dari para bakal calon kepada parpol yang telah mendukungnya, atau (3) "sumbangan wajib" yang disyaratkan oleh suatu parpol kepada para kader partai atau bakal calon yang ingin mencalonkan diri sebagai bupati atau walikota.maka, dalam kasus ini, menjadi fenomena baru justru ketika adanya calon independen yang membayar penyelenggara pemilu untuk mendapatkan persyaratan pencalonan dan memuluskan jalannya dalam proses pendaftaran. Artinya telah tergeser paradigma bahwa pelaku money politicsselalu memberikan uang kepada konstituen atau partai, tetapi kini lembaga penyelenggara pemilu pun ternyata "tidak kuat iman" untuk menerima tawaran dan godaan tersebut.

Sesuai dengan pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, bahwa penyelenggara pemilu dalam penyelenggaraannya harus memenuhi prinsip-prinsip mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, profesional, akuntabel, efektif, dan efisien, namun pada kasus ini prinsip tersebut nyata-nyata telah dilanggar oleh oknum penyelenggara pemilu di Kabupaten Garut. Hal ini kemungkinan akan memiliki dampak dalam proses pilkada di beberapa daerah lainnya dan dalam proses persiapan menuju penyelenggaraan Pemilihan Umum 2019 mendatang. 

Sehingga, tantangan bagi penyelenggara pemilu khususnya di Jawa Barat sebagaimana diakui oleh Yayat Hidayat selaku Ketua KPU Jawa Barat pada Kompas.com bahwa hal ini berimplikasi pada kepercayaan publik terkait penyelenggaraan pilkada serentak, khususnya di Kabupaten Garut. Sehingga menurut dia yang paling berat saat ini adalah mengembalikan trust masyarakat.

Membangun kepercayaan masyarakat bukan perkara mudah, perlu waktu yang tidak sebentar apalagi di tengah-tengah kejenuhan masyarakat terhadap kondisi politik Indonesia yang membuat paradigma masyarakat terhadap politik itu buruk. Kasus money politics dan metodenya kini telah menggunakan cara baru, apabila hal ini terus dibiarkan maka akan memunculkan politisi-politisi korup di kemudian hari sehingga patut diapresiasi terbongkarnya kasus ini oleh lembaga penegak hukum sehingga memiliki value tambahan bahwa money politicsbenar-benar telah menjadi hal yang harus dihadapi dengan serius.

Hal ini bukan hanya menjadi tugas dari lembaga penyelenggara pemilu, namun juga menjadi tugas kita semuanya sebagai warganegara untuk dapat bersama-sama mengawasi pelaksanaan pemilu dan menghindarkan diri dari perilaku yang menjurus ke arah money politics atau kecurangan-kecurangan bentuk lainnya. Peran serta aktif dari masyarakat sebagai konstituen dari pesta demokrasi ini sangat dibutuhkan, sebab apabila proses alih kekuasaan melalui pemilu ini dinodai oleh hal-hal negatif seperti kasus-kasus diatas maka sampai kapanpun permasalahan politik ini tidak akan pernah mencapai garis finish dan kita hanya akan mendapatkan pemimpin atau politisi yang hanya mementingkan kepentingan ambisi pribadi dan golongannya.

Semoga kasus ini menjadi bahan pembelajaran bagi semua stakeholder untuk dapat mengantisipasi hal-hal demikian terjadi lagi. Mari kita bersama-sama menyukseskan pesta demokrasi dengan berlandaskan pada asas LUBERJURDIL dengan sebenar-benarnya serta menjaga kedamaian dan perdamaian diantara kita semua sehingga tidak akan muncul konflik-konflik yang tidak perlu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun