Sekarang aku paling kangen sama si Ospek. Dulu benci setengah mati. Peraturan si Ospek sungguh di luar akal sehat. Coba, Pasal 1 Senior tidak pernah salah; Pasal 2 Jika senior salah, kembali ke Pasal 1. Belum lagi implementasi dari peraturan Ospek itu sungguh sangat menjengkelkan.
Tengah hari, saat istirahat siang, aku duduk santai di cafe fakultas seperti orang tak berdosa. Nyam nyam nyam makan enak, kebiasaan di kampung udik makannya beringas dan berbunyi bar bar. Tiba-tiba lagi asyik makan, datanglah senior putri yang tubuhnya agak gemuk. Datang-datang ia langsung menggebrak meja "He, siapa yang nyuruh makan di sini!?", bentaknya.
Dibentak begitu aku hampir keselek saking kagetnya. Kepala pelontosku berkilat-kilat waktu itu--setiap mahasiswa lelaki yang lagi ospek wajib botak. Aku bengong aja, tak tahu mau jawab apa. Uni itu terus saja melotot menunggu jawabanku. "Tidak ada yang suruh, datang aja sendiri ke sini karena lapar," jawabku polos. Waaaahahahaha, Uni itu tertawa terbahak-bahak.
Mendengar tertawa terbahak-bahak dari si Uni gendut, para senior langsung datang mengerubungiku. Mereka kompak melancarkan serangan verbalisan, melakukan aksi terorisme dengan kata-kata. Mereka bilang, mana ada peraturan membolehkan anak baru makan di cafe. Aku sudah mulai geram tapi kutahan. Sudah. Kulayani mereka debat dengan ngotot tak mau kalah. Akhirnya mereka para senior itu bubar dengan sendirinya.
Aku dan kawan-kawan kembali masuk ke ruangan di lantai dua Dekanat. Ospek dilanjutkan. Kami disuruh duduk, berdiri, duduk lagi, merayap, dan berbagai rupa. Sampai pada satu waktu, kami disuruh mencium pantat kawan yang jongkok di depan kami. Itu pula perintah senior. "Shit!", katakau spontan. Ternyata, kata "shit" tadi kedengaran sama senior putri yang mungil dan cantik. Aku ditariknya ke belakang ruangan.
Sesampai di belakang ruangan, senior putri yang mungil dan cantik itu undur diri. Digantikan berduyun-duyun para senior melakukan aktivitas terorisme verbalisan. Dikerjainya aku habis-habisan. Dasarnya aku tak takut dan dari udik, ya, kuladeni semua debat para senior itu. Wah, mereka para senior ini akhirnya naik pitam. Berebutan mereka melayangkan pukulan ke arahku. Saat titik kritis itu tiba-tiba terdengar teriakan "Hoi, siapa itu!", ternyata suara bapak Pembantu Dekan III bidang Kemahasiswaan (sudah almarhum bapak itu sekarang) datang memergoki. Kontan para senior itu berhamburan tak karu-karuan. Dasar.[]