Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Penodaan Agama Formil dan Materil

20 April 2013   23:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:52 3650
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1366442735447481773

[caption id="attachment_238941" align="aligncenter" width="560" caption="Screenshot Youtube tarian sholat siswi SMA 2 Tolitoli (SP)"][/caption] Selama ini umat acap bereaksi keras cenderung emosional jika agama dalam pengertian formil (ritual dan teks) dilecehkan. Sebut saja contoh tarian solat lima orang siswi SMA 2 Tolitoli, Sulawesi Tengah, Sabtu (9/3), yang kemudian diunggah ke situs Youtube antara lain oleh Muhammad Fadil, Selasa (16/4). Akibatnya, kelima siswi ini dipecat dari sekolah dan terancam diproses hukum pidana oleh kepolisian. Tindakan kelima siswi tersebut dikutuk oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan dikategorikan sebagai tal-'abuli ibadah (mempermainkan ajaran agama/ibadah). Pun, kepolisian memproses kelima siswi tersebut dengan Pasal 156a KUHP tentang penodaan agama. Apa yang dilakukan kelima siswi tersebut jelas tak bisa dibenarkan dari sudut norma apapun. Akan tetapi penjatuhan sanksi pemecatan dan proses pidana terhadap tindakan demikian dinilai berlebihan. Bukankah masih banyak alternatif sanksi lain yang lebih mendidik. Satu dan lain hal secara hukum mereka masih tergolong anak-anak (dibawah 18 tahun) dan masih taraf pendidikan. Sebaliknya, umat cenderung tidak seemosional demikian terhadap pelanggaran ajaran agama dalam pengertian materil-substansi, seperti korupsi, birokrasi kompleks, tidak disiplin, anarkis, terorisme, perambahan hutan ilegal, tambang ilegal, dsb. MUI tak pernah menjatuhkan vonis tal-'abul ad-Din (mempermainkan ajaran agama)terhadap tindakan korupsi umat islam di tubuh pemerintahan, partai, dan swasta. Padahal, pelanggaran ajaran agama formil tidak berefek apapun terhadap orang lain dan lingkungan. Orang yang tidak solat, tidak puasa, tidak berjilbab, dan/atau melakukan tindakan seperti kelima siswi SMA 2 Tolitoli tersebut sama sekali tidak merugikan orang lain secara langsung dan tidak menyebabkan kerusakan muka bumi. Berbeda halnya dengan perbuatan-perbuatan pelanggaran ajaran agama dalam pengertian materil-substansi. Korupsi, misalnya, jelas berakibat langsung pada terhambatnya pembangunan, ekonomi biaya tinggi, birokrasi kompleks, dsb. Begitupun terorisme, seperti akibatnya sudah sama kita saksikan. Atau, pembalakan liar dan tambang liar yang mengakibatkan kerusakan alam yang luar biasa. MUI belum pernah terdengar menjatuhkan vonis tal-'abul ad-Din terhadap pembalakan liar, tambang ilegal, pencurian ikan, terorisme, dst. Kasus SMA 2 Tolitoli adalah contoh nyata yang membuktikan bahwa umat memang belum matang dalam beragama. Lebih menonjolkan kesalehan ritual ketimbang substansi. Makanya tidak heran ada anomali sangat aneh pada bangsa ini. Pada satu sisi mayoritas beragama islam dengan kouta haji terbesar sejagad pada tiap tahunnya, namun pada sisi lain korupsinya juga terbesar dibandingkan negara-negara lain sekawasan. Sangat disayangkan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pun berpola pikir sangat formalistik dengan membenarkan pemecatan dan pemerosesan pidana terhadap kelima siswa SMA 2 Tolitoli tersebut. Menurut Komisioner KPAI bidang Agama dan Budaya, Asroroun Niam Sholeh, langkah yang diambil sekolah sudah tepat dari sudut perlindungan anak. Jelas saja KPAI keliru. Prinsip dasar perlindungan anak yang digariskan Pasal 2 UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, salah satunya, adalah asas kepentingan yang terbaik bagi anak. Nah, apakah pemecatan kelima siswa oleh sekolah sehingga tak bisa mengikuti ujian nasional, dan pemrosesan hukum pidana oleh kepolisian, sesuai asas kepentingan yang terbaik bagi anak? Pemecatan membuat anak tak bisa mengikuti UN dan hanya bisa mengikuti ujian paket C bulan Juni mendatang. Belum lagi ancaman proses pidana yang berujung penjara. Keadaan ini jelas bukan terbaik bagi anak dan akan memukul mental anak secara luar biasa. Yang terbaik bagi anak adalah pembinaan, sanksi yang mendidik dan proporsional, dan meneruskan sekolah dengan perlindungan mental dan spiritual. Jelas bukan penjara jawaban dari kasus tarian solat ala siswi SMA 2 Tolitoli tersebut. (SP)

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun