Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kisah Sebelum Paham Pancasila

10 Juni 2012   13:21 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:09 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pancasila perlu "dibumikan" kembali dalam pengajaran di sekolah. Pengajaran yang bersifat hafalan sebaiknya diubah menjadi dialogis, analitis-logis, dan dihubungkan dengan fakta-fakta kongkrit di sekitar kehidupan bernegara.

Ini kisah nyata. Sampai tahun ketiga kuliah dulu, penulis masih sering terkesiap dan agak masygul ketika sedang seru-serunya debat tema kenegaraan hubungannya dengan agama, tiba-tiba lawan debat menukas "Indonesia bukan negara agama!". Pada intinya, penulis waktu itu belum memahami filosofi negara dan dasar fundamental negara Pancasila.

Waktu itu, maunya negara Indonesia ini diatur dengan hukum Allah dalam Quran dan Hadist. Bukankah sangat indah hukum thogut buatan Belanda (KUHP dan KUH Perdata) diganti dengan hukum Islam? Begitu tanyaku retoris. Lalu sedikit maksa dalam diskusi, setelah menyadari Negara Islam tidak realistis, bahwa bisa saja dasar negara tetap Pancasila akan tetapi hukum-hukumnya diambil dari hukum Islam.

Tahun demi tahun berlalu. Pergumulan dan pergulatan pikiran sekitar konsepsi Pancasila hubungannya dengan negara terus berlanjut. Sampai pada satu waktu penulis mulai paham.

Negara hakikatnya sebuah organisasi. Tidak lebih. Melalui kesepakatan (kontrak sosial) para pendiri bangsa disepakatilah bentuk negara dan susunan ketatanegaraannya. Negara umpama "rumah bersama" milik warga dengan latar belakang yang berbeda: agama, ras, suku, dan aspirasi politik.

Karena negara hanyalah organisasi, maka tidak ada relevansinya negara mengurusi perihal dosa, akherat, Tuhan, malaikat, setan, jin, dedemit dan berbagai mahkluk halus. Urusan dosa dan seterusnya itu biarlah jadi kavlingnya agama masing-masing warga.

Negara cukup mengurusi kepentingan para warga anggota organisasi bernama negara tersebut: mulai memfasilitasi ibadah setiap agama warga, menyediakan lapangan kerja, mengurusi kesehatan, menangkap penjahat, dan hubungan luar negeri. Jangan kebalik-balik, negara malah mengurusi dosa dan setan...ya bisa saja tapi mengada-ada.

Ada enam agama besar dari warga yang menghuni "rumah bersama" bernama Indonesia tersebut: Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha, Konghucu, berserta sekte-sekte keagamaan yang ada.

Walaupun umat muslim dari segi populasi jauh lebih banyak dari umat-umat agama lain, tetapi akan sangat janggal jika norma aturan bersama (baca: hukum) dalam "rumah besar" bernama Indonesia tersebut memakai hukum Islam. Sedangkan negara itu sebuah organisasi milik bersama.

Bukankah bisa disepakati suatu konsensus bersama aturan yang berlaku bagi semua umat agama. Para pendiri bangsa kemudian menyebutnya dengan "Pancasila". Toh, dengan pondasi aturan bersama tersebut, masing-masing agama bisa tetap menjalankan agamanya masing-masing. Cerdas sekali.

Pergulatan demi pergulatan berklebatan di kepala saat membaca sejarah risalah sidang BPUPKI/PPKI dan sekitar perubahan tujuh kata dalam Piagam Jakarta tanggal 25 Juni 1945. Dari jumlah 63 kemudian jadi 69 anggota BUPKI hanya 13 orang saja mewakili kalangan Islam Politik, selebihnya adalah kalangan nasionalis, seperti Hatta, Sukarno, M Yamin, dll sekalipun sebagian besar kalangan nasionalis tersebut adalah muslim.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun