Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Andai LHI Bukan Anggota DPR....

1 Maret 2013   17:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:29 813
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) tak akan terjerat kasus korupsi seperti saat ini andai kata ia mundur dari keanggotaan DPR pada saat terpilih sebagai Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), pada 2010.

Ini hikmah bagi siapapun yang mundur sebagai penyelenggara negara demi fokus mengurus partai. Hal yang sama seperti terjadi pada LHI kemungkinan tidak akan menimpa Anis Matta, Presiden PKS yang baru, yang mundur dari keanggotaan di DPR RI. Atau, Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) yang mundur dari DPR RI, selanjutnya fokus sebagai Sekjen Partai Demokrat.

Gara-gara keanggotaan di DPR ini maka LHI secara hukum tergolong penyelenggara negara dan penyelenggara negara demikian terlarang keras menerima pemberian dalam bentuk apapun dari orang lain, baik langsung atau tidak langsung (melalui perantara). Setiap hadiah/hibah dll yang diterima penyelenggara negara wajib dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi.

Mundur sebagai penyelenggara negara merupakan cara cerdik untuk meraup uang dari siapapun tanpa perlu khawatir terjerat korupsi. Lepas saja semua jabatan di pemerintahan (menteri, gubernur, bupati, walikota) atau penyelenggara negara (anggota DPR, DPD, DPRD) pada kesempatan pertama ketika terpilih sebagai pimpinan partai.

Realitas politik di Indonesia saat ini butuh dana besar bagi partai untuk ikut dalam pemilihan langsung baik anggota legislatif maupun pimpinan eksekutif. Dana tersebut terutama untuk sosialisasi dan kampanye.

Dana partai demikian utamanya dibebankan kepada unsur pimpinan untuk mencarinya. Ini karena pemasukan kekuangan partai dari sumber konvensional---iuaran anggota, sumbangan pribadi dan korporasi, dan bantuan dari APBN---sangat terbatas dan memang dibatasi jumlahnya. Karena itu harus pandai-pandai mencari sumber pemasukan dana dari sebanyak mungkin pihak.

Adalah sudah benar dari sisi pragmatisme politik, dan kebutuhan fokus pada partai atau pada urusan pemerintahan, saat pejabat publik mundur dari jabatannya ketika terpilih sebagai pimpinan partai. Semua jabatan itu membutuhkan perhatian dan fokus, karenanya mundur dari salah satu adalah pilihan yang masuk akal.

Dalam kedudukan seperti Ketua Majelis Syura PKS Hilmi Aminuddin, contohnya. Berapapun uang yang berhasil dihimpunnya dari pihak swasta tak akan jadi masalah secara hukum, kecuali ada unsur pencucian uang di dalamnya. Karena itu, jangan heran jika Hilmi sulit diproses hukum atas tudingan Yusuf  Supendi bahwa Hilmi biasa  'terima setoran' dari berbagai pihak. Ini karena Hilmi Aminuddin bukan penyelenggara negara.

Sekalipun Hilmi Aminuddin dikatakan bergaya hidup mewah, antara lain disebut-sebut memiliki villa mewah di Anyer dan villa di atas lahan 5 hektare di Lembang, Bandung, akan tetapi sulit diusut secara hukum sebagai tindak pidana korupsi.

Sangkaan Hilmi Aminuddin gelapkan dana partai yang dilaporkan Yusuf Supendi ke KPK, sulit diusut lebih lanjut. Yang memungkinkan laporan demikian disampaikan ke kepolisian, kerena termasuk dalam ranah tindak pidana penggelapan biasa, bukan tindak pidana korupsi.

(SP)

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun