Ada sekitar 15 pendaki cidera dan pingsan saat turun gunung Talang 17-19 Agustus 2020 lalu khususnya lewat jalur Airbatumbuk.
Analisa saya, banyaknya korban akibat akumulasi berbagai faktor: fisik, minim pengetahuan, peralatan pendakian alakadarnya, diguyur hujan, kelebihan jumlah pendaki, dan rusaknya jalur.
Jalur sangat licin dan berlumpur mulai dari bawah sampai ke puncak. Bertahun-tahun mendaki gunung Talang, baru kali ini saya mendapati tingkat kerusakan jalur yang luar biasa parah.
Jalur yang curam dan licin, ditambah kemacetan yang sangat parah, membuat fisik banyak pendaki ngedrop. Berjalan jadi menahan, ditambah beban bawaan dan guyuran hujan, bikin fisik kelelahan luar biasa.
Inilah pendakian paling meletihkan seumur hidup saya, lebih meletihkan dibanding mendaki gunung Kerinci digabung gunung Tujuh jadi satu.
Saya bawa tas keril berbobot total hampir 30 kg berisi peralatan dan logistik untuk 5 orang pendaki. Ditambah sepanjang jalan harus membantu anggota group yang berjalan kepayahan karena jalur yang curam dan sangat licin.
Kami lewat jalur Seroja, yang nota bene jalurnya lebih landai dan tidak macet. Ini dibanding jalur Airbatumbuk. Tapi tetap saja berjalan sangat lambat.
Lewat jalur Seroja: biasanya naik maksimal 3,5 jam, kini jadi 6 jam; turun biasa 2 jam, kini jadi 5 jam.
Bisa dibayangkan para pendaki yang lewat jalur Airbatumbuk, yang jauh lebih licin, lebih berlumpur dan lebih macet. Pasti lebih susah lagi.
Jalur yang licin dan akumulasi jumlah pendaki yang melebihi daya dukung jalur membuat kemacetan parah sepanjang jalur khususnya Airbatumbuk.
Ada sekitar 7.000 pendaki berjejalan di campsite cadas dan sekitaran puncak hingga area rawan dekat kawah. Para pendaki ini turun hampir bersamaan lewat jalur Airbatumbuk, Seroja, Bukit Sileh dan Danau Talang.