Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Alasan Saya Setuju Revisi UU KPK

7 Oktober 2019   13:40 Diperbarui: 7 Oktober 2019   13:53 735
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

AGAR JELAS status pegawai KPK yang digaji APBN itu masuk ASN, karena KPK lembaga negara bukan swasta; supaya kerja penyidikan (termasuk penyadapan) akuntabel, termasuk agar tidak disalahgunakan untuk ambisi politik pribadi Komisioner KPK; dan agar pencegahan korupsi lebih terarah termasuk pada semua lembaga negara.

Namun bukan berarti KPK boleh mengawasi semua lembaga negara. Karena tiap lembaga negara sudah ada sistem pengawasan internalnya. Intinya, pelaksanaan kewenangan tak boleh tumpang tindih.

Termasuk soal disiplin laporkan LHKPN, biarlah sanksinya per internal lembaga merumuskannya. Sebab, konsep "sanksi disiplin" memang sifatnya oleh internal, ke dalam, bukan urusan pihak luar. KPK baru boleh bertindak bila berpotensi mengarah ke korupsi (fungsi pencegahan) atau korupsi sudah terjadi (fungsi penindakan/pemberantasan).

Bila KPK hanya fokus pada pemberantasan korupsi di tengah lautan korupsi, KPK terlalu kecil, tak akan berpengaruh signifikan bagi naiknya indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia.

Ingat, tujuan awal KPK dibentuk untuk triger agar Indonesia terbebas dari korupsi, bukan sekedar menangkapi orang. Menangkapi orang mah tak akan membuat Indonesia bersih dari korupsi, karena KPK terlalu kecil di tengah lautan korupsi di Indonesia.

Terbukti, hampir 17 tahun KPK berdiri, IPK Indonesia beranjak lambat: tahun 2002 IPK 1,9 atau rangking 122/133 dan tahun 2018 IPK Indonesia 38 atau rangking 89 (terbaik ke-4 di ASEAN).

Transparansi dan akuntabilitas kerja KPK perlu ditingkatkan dengan revisi UU KPK, agar IPK Indonesia melompat tinggi dalam waktu tak terlalu lama, tidak merangkak seperti sekarang.

Kekhawatiran bila pegawai KPK masuk ASN akan disetir birokrasi, dikontrol, atau dikriminalisasi adalah kekhawatiran berlebihan. Sebab, ASN terikat aturan disiplin, akan kena tindak bila berkerja tak sesuai aturan. Seperti halnya ASN pada umumnya. Hingga Juli 2019 saja sudah 3.240 ASN dipecat karena terlibat korupsi. Ini bukti bahwa ASN tak kebal hukum.

Adalah sesat pikir berharap seluruh pegawai KPK independen. Pegawai/ASN KPK memang tidak boleh independen, yang independen itu Komisioner KPK dan penyidik. ASN adalah "alat" negara dan pimpinan dalam mencapai tujuan negara dan lembaga/organisasi. ASN tunduk pada perintah sesuai tugas pokok dan fungsinya masing-masing, jadi memang tak independen.

Sementara penyidikan merupakan tindakan projustitia yang tunduk pada UU dan kode etik penyidik. Otomatis harus ada pendidikan khusus untuk jadi penyidik, tidak setiap orang boleh jadi penyidik. Karena itulah, dalam revisi UU KPK, Komisioner KPK bukan (lagi merangkap) penyidik. Komisioner KPK fokus memimpin KPK dan memberi "visi" pada lembaga yang dipimpinnya. Penyidikan biar dilakukan oleh penyidik.

KPK tak perlu berkecil hati tak lagi diberi ruang buka cabang atau perwakilan di daerah-daerah. Ingat tujuan awal pembentukan KPK, tak perlu KPK ambil lahan Polri dan Kejaksaan di daerah-daerah, kecuali korupsi besar dan berdampak luas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun