Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Pentingnya Dunia Hukum Membatasi Penggunaan Kertas

8 Juni 2018   06:34 Diperbarui: 27 Juli 2018   06:31 2299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dokumen kertas (Foto: Pixabay/Myrfa)

Salah satu profesi yang paling rakus menggunakan kertas adalah profesi hukum. Walaupun dunia digital sudah sedemikian maju, akan tetapi dunia hukum tetap bertahan dengan pola tradisional dalam penggunaan kertas. Segala dokumen hukum umumnya menggunakan kertas. Dan jumlah kertas yang digunakan sungguh gila-gilaan.

Ambil contoh untuk membuktikan perkara perselisihan hasil pemilihan umum sekitar satu persen suara di suatu provinsi bisa menghabiskan kertas hingga bertruk-truk. Ini baru satu perkara. Saat musim pemilu sering puluhan perkara demikian. Jadilah gedung Mahkamah Konstitusi seperti kapal pecah karena banyaknya kertas yang dibawa ke sana.

Demikian pula semua proses hukum di kepolisian, kejaksaan, kantor advokat, notaris dan pengadilan menggunakan kertas dalam jumlah yang sangat banyak. Satu perkara bisa menggunakan ribuan halaman kertas untuk administrasi perkara, mulai berita acara, surat-menyurat, dan sebagainya. Bisa dibayangkan berapa banyak kertas untuk semua perkara yang sedang berproses di seluruh Indonesia bahkan dunia.

Saking lekatnya dunia hukum menggunakan kertas, sampai-sampai ada ukuran kertas yang khusus berlaku di dunia hukum, yaitu kertas Legal berukuran 21.59 cm x 35.6 cm (8.5 inchi x 14 inchi). Ukuran kertas Legal ini lebih besar dibandingkan kertas Folio 21.59 cm x 33.02 cm(8.5 inchi x 13 inchi). Kertas berukuran Legal itulah yang banyak digunakan dalam dunia hukum di kantor pengadilan, kejaksaan, kepolisian, advokat, dan notaris. Mungkin agar mengurangi jumlah halaman sehingga dipakailah kertas berukuran lebih besar.

Analisis Forest Watch Indonesia (FWI), sebagaimana dilansir dari mongabay.co.id, dari rasio konsesi 4,5 juta hektar hutan, industri kertas masih membutuhkan 3,4 juta hektar hutan alam. Diantara hutan alam yang paling banyak dibabat berada di pulau Sumatera khususnya Riau, Sumatera Selatan dan Jambi.

Ilustrasi penggunaan kayu untuk industri kertas (Foto: Wahana Bumi Hijau)
Ilustrasi penggunaan kayu untuk industri kertas (Foto: Wahana Bumi Hijau)
Beginilah contoh penggunaan kertas dalam berperkara di Mahkamah Konstitusi (dokpri)
Beginilah contoh penggunaan kertas dalam berperkara di Mahkamah Konstitusi (dokpri)
Penulis sering kali merasa sangat kerepotan dengan jumlah kertas berpuluh-puluh hingga ratusan kilo yang harus dibawa dalam penanganan perkara. Kertas itu harus dibawa dan dipelajari satu per satu, halaman demi halaman. Membayangkannya saja sudah pening. Dari sini terpikir mengapa tak membatasi penggunaan kertas. Kerja jadi ringan. Hutan sebagai paru-paru dunia bisa terselamatkan.

Bukankah terasa sebuah ironi ketika dunia hukum, termasuk penegakan hukum lingkungan, justru berkontribusi besar dalam kerusakan lingkungan hidup khususnya hutan. Karena 42 persen hasil hutan kayu digunakan untuk pembuatan kertas. 10 juta hektar kawasan hutan Indonesia dimanfaatkan untuk hutan tanaman industri (HTI).

Sebenarnya, sekitar sepuluh tahun terakhir, sudah lazim pengunaan soft copy berupa file dokumen digital digunakan untuk proses berperkara di pengadilan. Akan tetapi, kebijakan ini sama sekali tidak berpengaruh terhadap pembatasan penggunaan kertas. Oleh karena kertas cetak dari dokumen yang diajukan, tetap harus disertakan sebagai dokumen utama.

Satu perkara bisa ribuan halaman kertas (dokpri)
Satu perkara bisa ribuan halaman kertas (dokpri)
Ke depan dunia hukum sangat penting mempertimbangkan untuk membatasi penggunaan kertas dalam proses pemberkasan perkara di tingkat penyidikan, penuntutan dan persidangan di pengadilan. Berkas-berkas perkara cukup secara digital. Seperti berita acara keterangan saksi dan tersangka cukup dibuat secara digital. Untuk itu perlu dibuat semacam regulasi di tingkat instansi penegak hukum.

Pembatasan penggunaan keras dalam berita acara saksi dan tersangka saja diyakini akan mengurangi penggunaan kertas secara signifikan. Belum termasuk penggunaan dokumen-dokumen hukum lainnya yang bisa dibuat dan diajukan secara digital. 

Secara dasar hukum, untuk membatasi penggunaan kertas di dunia hukum, sudah relatif memadai. Mahkamah Agung RI telah mengeluarkan Perma Nomor 3 Tahun 2018 tentang Administrasi Perkara Secara Elektronik yang memperkenalkan sistem ecourt dalam proses beracara di pengadilan. Tinggal lagi institusi penegak hukum lain mencontoh.

Di samping itu, UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE), sebagaimana diubah dengan UU No 19 Tahun 2016, telah memungkinkan data digital sebagai dokumen atau bukti dalam kasus hukum. Tinggal sekarang bagaimana mengubah paradigma yang dikongkritkan dengan aksi nyata.(*)

SUTOMO PAGUCI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun