Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menyoal Ketiadaan Otopsi terhadap Mirna

6 September 2016   15:44 Diperbarui: 16 September 2017   10:02 7477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

DALAM mata kuliah kedokteran kehakiman biasanya dipelajari ketentuan otopsi. Otopsi (auto=sendiri, opsis=melihat) terhadap mayat berdasarkan tujuannya ada dua jenis, yaitu otopsi klinik dan otopsi forensik/medikolegal.

Otopsi forensik diperlukan untuk proses hukum pidana guna mengenali identitas mayat, sebab pasti kematian, perkiraan cara kematian, dan saat kematian. Termasuk di dalamnya mengidentifikasi benda atau barang yang menjadi penyebab kematian serta identitas pelakunya, jika ada.

Keluaran atau hasil dari otopsi akan melahirkan dua alat bukti. Pertama, alat bukti surat berupa laporan tertulis yang objektif dalam bentuk visum et repertum (VR). Kedua, alat bukti keterangan ahli yang melakukan otopsi yang dituangkan dalam berita acara. Kedua alat bukti ini akan diberkas ditingkat penyidikan dan dibawa hingga ke persidangan.

Ketentuan otopsi

Karena itulah, dalam proses hukum pidana, hasil otopsi forensik sangat vital perannya untuk proses penetapan tersangka, sekaligus berguna untuk melindungi orang yang tidak bersalah.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), perihal otopsi diatur dalam Pasal 133 dan 134. Kedua pasal ini pada pokoknya mengatur bahwa penyidik dalam menangani korban luka, keracunan ataupun mati, yang diduga akibat peristiwa pidana, berwenang meminta keterangan ahli.

Otopsi terhadap korban yang diduga meninggal karena keracunan wajib dilakukan secepat-cepatnya agar jejak racun di tubuh mayat tidak hilang dan cepat diidentifikasi. Dalam kasus begini penyidik wajib memberitahukan kepada keluarga untuk memperoleh izin otopsi. 

Dalam hal keluarga korban keberatan dilakukan otopsi forensik, penyidik wajib memberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan dilakukan otopsi atau pembedahan mayat terhadap korban. Tujuannya agar keluarga korban mendapat gambaran bahwa tanpa dilakukan otopsi forensik maka penyebab kematian tidak akan ditemukan secara pasti (scientific).

Jika sampai 2 (dua) hari tidak ada tanggapan, atau keluarga korban menolak otopsi, maka mayat diberi label yang memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat.

Mirna tidak diotopsi

Dalam kasus tewasnya Mirna, sangat mengherankan tidak dilakukan otopsi forensik. Alasannya, keluarga korban keberatan dilakukan otopsi. Beritanya dapat dilihat di sini.

Penyidik kelihatan merasa cukup hanya dengan sampel tubuh korban untuk dilakukan pemeriksaan toksikologi. Nampaknya penyidik sudah begitu yakin bahwa penyebab kematian Mirna adalah diracun.

Padahal, untuk menentukan segala kemungkinan penyebab kematian seseorang, tidaklah cukup dengan mengambil sampel dari organ tubuh korban atau melakukan otopsi parsial. Melainkan perlu otopsi forensik (lengkap).

Andai saja dilakukan otopsi forensik, terhadap jenazah korban akan dilakukan pemeriksaan secara lengkap, meliputi pemeriksaan tubuh bagian luar, pemeriksaan rongga tengkorak, rongga dada, rongga perut, lambung, usus, hati dan empedu. Dalam kasus kematian yang dicurigai karena racun, pemeriksaan toksikologi forensik mutlak dilakukan.

Agar otopsi tsb mencapai hasil yang diharapkan, tentu saja kondisi mayat setelah kematian wajib dijaga keasliannya hingga waktu dilakukan otopsi. Termasuk barang-barang bukti yang ada di sekitar tempat kejadian perkara (TKP) wajib dijaga dari perubahan atau intervensi atau tercemar. Nah, apakah hal ini telah dilakukan dalam kasus meninggalnya Mirna?

Nasi sudah jadi bubur

Terbukti kemudian pemeriksaan sampel tubuh Mirna saja tidaklah cukup. Barangkali, saat ini, Kombes Krishna Murti dkk, yang dulu melakukan penyidikan, sedang ketar-ketir. Perkembangan persidangan membuktikan kemungkinan Mirna tewas bukan akibat sianida. 

Ada bukti di lambung Mirna hanya ditemukan 0,2 miligram sianida, yang kemungkinan besar diproduksi tubuh secara alami pasca kematian.

Sedangkan untuk dapat membunuh manusia, ada 1.000 miligram per liter bahkan lebih senyawa sianida di lambung. Artinya, diduga kuat Mirna tewas bukan karena sianida. Demikian disampaikan ahli Prof. Dr. Beng Beng Ong dari Universitas Queensland, Brisbane, Australia.

Jika bukan karena sianida, bagaimana lagi cara menentukan penyebab lain kematian secara pasti (scientific), sementara terhadap Mirna tidak dilakukan otopsi forensik. Otopsi susulan tentu tidak akan signifikan lagi hasilnya karena kondisi jenazah pasti sudah berubah.

Dalam pada itu, orisinalitas barang bukti di tempat kejadian perkara, juga diragukan. Di sinilah pentingnya kesigapan mengamankan TKP berikut barang bukti di sekitar pada kesempatan pertama. Sekali barang bukti terintervensi keasliannya maka tidak terpulihkan kondisinya.

Begitupun terhadap mayat korban. Polisi harus menjaganya dengan baik agar tetap asli. Misalnya, jangan sampai mayat korban keduluan dimandikan dan diformalin oleh pihak keluarga sebelum dilakukan otopsi. Karena itu prosedur otopsi harus dilakukan dengan cepat.(*)

SUTOMO PAGUCI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun