Mohon tunggu...
Sutiono Gunadi
Sutiono Gunadi Mohon Tunggu... Purna tugas - Blogger

Born in Semarang, travel-food-hotel writer. Movies, ICT, Environment and HIV/AIDS observer. Email : sutiono2000@yahoo.com, Trip Advisor Level 6 Contributor.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan Mengarah pada Keterampilan

7 Maret 2022   06:30 Diperbarui: 7 Maret 2022   06:35 452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendikan (sumber: pikiran-rakyat.com)


Bagaimana arah pendidikan anak kita? Apakah masih mengarah ke jenjang strata perguruan tinggi S1, S2 dan S3? Lalu beradu mencari ijasah dari perguruan tinggi bergengsi seperti UI, ITB, UGM dan sejenisnya. Atau di perguruan tinggi swasta, seperti Trisakti, Tarumanegara, Parahiangan, Satya Wacana atau Petra? Atau bahkan perguruan tinggi di luar negeri, seperti Harvard, Cornell atau Cambridge? Yang popular di kalangan generasi Baby Boomer. Orang berusaha meraih gelar setinggi mungkin san dari perguruan tinggi  yang paling terkenal. Makin tinggi gelar yang disandang makin mudah mencari pekerjaan. Karena gelar identik dengan kemampuan.

Sekarang dunia diisi generasi milenial dan Z, kabarnya gelar sudah kurang berkibar, lulusan S1 dan S2 sudah demikian menjamur, sehingga mereka makin sulit mencari pekerjaan. Bahkan kini ada kecenderungan terbalik, makin tinggi gelar, makin sulit mencari pekerjaan karena perusahaan takut tidak mampu menggajinya. Juga pengalaman beberapa teman di HR, meski gelar setinggi langit, ternyata kemampuan biasa-biasa saja, sehingga menyulitkan dalam penerapannya di lapangan pekerjaan. Timbul istilah yang pesimis yaitu generasi tidak berguna (useless generation).

Hal ini disebabkan harga pembuatan robot yang humanoid makin murah atau menurun, sedangkan biaya tenaga kerja manusia makin tinggi atau naik, karena mereka yang memiliki gelar tinggi pasti meminta gaji sesuai gelarnya, Hal ini menjadi problema bagi rekan-rekan di HR yang harus menyesuaikan biaya gaji dengan biaya produksi. Makin tinggi biaya produksi, produk terpaksa dijual lebih mahal dengan konsekuensi kurang laku di pasar.

Itulah sebabnya kini lulusan S1 dan S2 luar negeri banyak yang mendirikan perusahaan rintisan (start up), kebanyakan berupa kuliner dan coffee shop, dan ironisnya yang berhasil hanya sekitar 5% dari semua perusahaan rintisan yang didirikan.

Bahkan ada perusahaan rintisan yang hanya didirikan oleh lulusan S1 dalam negeri atau SMK saja. Dengan demikian, dunia kerja kini mulai melirik lulusan yang memiliki kemampuan bukan gelar yang menumpuk dengan IPK tinggi atau magna cumlaude. Yang terpenting adalah kteativitas atau ide yang dikemukakan dan mampu merealisasikannya.

Benarkah kecenderungan ini? Bila kecenderungan ini benar, maka dunia pendidikan harus berubah. Harus diperbanyak SMK dan polytechnic (D3 atau D4). Hal ini agar kemampuan dan keterampilan siswa diasah sejak dini, agar mereka mampu menunjukkan kemampuan teknis, dan tidak sekedar kemampuan menganalisa dan menjadi pemimpin (leader).

Bahkan sekarang banyak anak dari pemilik usaha, yang secara karbitan menjadi pemimpin tipe boss bukan leader, karena menjadi pucuk pimpinan hanya berdasar magang sekian tahun dan langsung menjadi putra / putri mahkota. Mereka tidak pernah memiliki pengalaman pahit seperti orang tuanya saat merintis perusahaan, dan hanya mampu menjadi boss yang hanya dapat memerintah bawahan dan menyalahkan bawahan bila terjadi kesalahan.

Yang memulai perusahaan di bidang kuliner dan coffee shop juga sering tertatih-tatih, karena setelah 3-6 bulan pelanggan mulai bosan, dan mencari kuliner baru atau tempat yang lebih cozy. Padahal titik impas belum tercapai dalam waktu sesingkat itu  Memang ada yang berhasil, tetapi hanya kecil sekali persentasenya, seperti Kopi Kenangan.

Diperlukan kebijakan berpikir guna mengantsipasi perubahan ini. Arahkan pendidikan ke arah teknis, agar lulusan memiliki kemampuan dan keterampilan yang diperlukan dunia industri. Anak harus dibekali kemampuan dan keterampilan  agar mampu bersaing melawan robot. Jangan sampai robot mampu mengalahkan manusia, yang semula menciptakannya. Mulailah berpikir bijak menghadapi perubahan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun