Mohon tunggu...
Sutiono Gunadi
Sutiono Gunadi Mohon Tunggu... Purna tugas - Blogger

Born in Semarang, travel-food-hotel writer. Movies, ICT, Environment and HIV/AIDS observer. Email : sutiono2000@yahoo.com, Trip Advisor Level 6 Contributor.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Cancel Culture" Jangan Jadi Pengadilan Kedua

9 September 2021   12:11 Diperbarui: 9 September 2021   12:11 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cancel Culture (sumber: gulfnews.com)

Media sosial saat ini begitu digandrungi banyak orang. Selain bermanfaat untuk mengekspresikan diri, namun media sosial juga bisa untuk menghakimi seseorang yang dinilai telah berbuat salah. Meski tidak aktif mengunggah konten, paling tidak seseorang secara aktif melihatnya.

Media penyampaiannya berbeda-beda, dari yang paling sederhana berupa cuitan untuk mengungkapkan emosi, digunakanlah Twitter. Bila pengungkapan ingin berupa gambar atau foto, bisa dipilih Instagram. 

Bila menghendaki berupa video, dapat digunakan Youtube. Sedangkan yang paling banyak digunakan untuk berinteraksi dengan teman atau komunitas, digunakan WhatsApp atau Telegram. Untuk saling berinteraksi dengan teman-teman lama, banyak yang memanfaatkan FaceBook.

Karena media sosial ini dapat diakses oleh banyak orang, akibatnya tergolong ranah publik, dan bukan ranah pribadi lagi. Bila ada konten unggahan Anda yang tidak disetujui orang, para pengguna media sosial, warganet atau yang sering disebut netizen, bisa saja langsung menyerang Anda.

Setelah terjadi perselisihan yang memanas, bisa mengarah pada yang disebut "doxxing" dan "cancel culture". 

"Doxxing" merupakan sebuah upaya berbasis internet untuk menyebarkan informasi pribadi seseorang yang bertujuan untuk menjatuhkan citra orang tersebut. Informasi pribadi tersebut bisa saja didapatkan dari media sosial maupun jejak digital. 

Lalu budaya "doxxing" ini masih diikuti oleh upaya penghakiman yang dikenal dengan sebutan "cancel culture" (budaya pengenyahan).

Budaya pengenyahan adalah sebuah bentuk upaya mengeluarkan seseorang dari lingkaran sosial atau profesional baik secara daring di media sosial, di dunia nyata, atau keduanya. Orang yang menjadi subjek dianggap "dienyahkan".

"Doxxing" dan "cancel culture" biasanya bermula dari suatu perdebatan daring, masing-masing pihak beradu opini. Namun serangan ini kadang mengarah ke arah pribadi, tidak sekedar adu argumentasi saja. Data pribadi ini bisa mengarah SARA, profesi, latar belakang pendidikan dan keluarga.

Warganet yang berseteru ini lalu mulai menghimpun dukungan dari warganet lainnya guna melancarkan budaya pengenyahan terhadap seseorang yang opininya tidak disukai. Biasanya dilakukan dengan mengungkapkan kalimat, "You're canceled," artinya seseorang sudah dienyahkan dan opininya dianggap tidak layak untuk didengar atau dibaca.

Memang tidak semua orang mengikuti secara rutin media sosial. 

Namun seseorang yang terkena budaya pengenyahan bisa sangat dirugikan. Misal, bila terbaca oleh bagian HR atau personalia yang tidak bijak, posisi orang yang dienyahkan ini bisa diujung tanduk, karena dianggap pernah memberikan opini yang tidak dapat diterima oleh warganet lainnya.

Siapapun bisa pernah berbuat salah, semestinya masih layak mendapatkan kesempatan kedua, untuk memprrbaikinya.  Namun bila budaya pengenyahan sudah terlanjur menempel, jejak digitalnya sangat berat. Bisa berdampak membunuh atau mengganggu karirnya dikemudian hari.

Bahkan seseorang yang pernah melakukan kesalahan dan sudah dijatuhi hukuman penjara oleh pengadilan, saat keluar dari penjara masih bisa mendapat hukuman dari publik, berupa "doxxing" dan "cancel culture".  

Tidak diterima lagi bekerja dan harus dienyahkan. Padahal orang yang sudah menjalani hukuman penjara pasti membutuhkan pekerjaan guna menyambung hidupnya. Bila ia dienyahkan, dikawatirkan dia akan menjadi frustrasi dan bisa saja melskukan kejahatan berikutnya yang tidak diharapkan.

Sebaiknya masyarakat lebih bersikap bijak, dengan mau memberi kesempatan kedua, toh ia sudah menjalani hukuman. Yang penting harus selalu diawasi agar orang ini tidak mengulangi lagi perbuatannya di masa lalu. Orang yang sudah keluar dari penjara, diharapkan sudah menyadari kesalahannya dan berubah menjadi baik.

Jadi, sudah seharusnya warganet jangan langsung menjadi pengadilan kedua dengan menerapkan budaya pengenyahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun