Akhir-akhir ini topik "Child Free" membahana di media sosial. Bahkan Kompasiana sempat melakukan dialog dengan Kompasianer yang bergiat dalam komunitas. Saat itu kami ditanya, "apa tujuan perkawinan untuk mempunyai anak" dan "apa tanggapan terhadap munculnya gerakan 'child free'".
Terlepas apa kesimpulan yang diperoleh dari dialog itu hanya Kompasiana yang tahu. Dari pengamatan pribadi, dari semua teman yang sudah menikah, pada umumnya pasti memiliki anak. Hanya ditemukan beberapa teman saja yang secara sengaja, tidak menghendaki anak, dan hal ini adalah komitmen mereka berdua.Â
Bahkan yang sering terdengar dari basa basi pada suatu pertemuan, misal acara reuni sekolah atau kampus, adalah pertanyaan "anakmu sudah berapa?". Ini artinya, sebagian besar warga di Indonesia masih cenderung mengharapkan hadirnya anak dalam sebuah perkawinan.Â
Bahkan ada beberapa pasang yang kesulitan memperoleh momongan, sengaja mendatangi dokter spesialis kandungan guna berkonsultasi untuk mensukseskan program memperoleh momongan.Â
Apalagi dorongan dari orang tua yang sangat menginginkan kehadiran cucu, yang ditujukan bagi anaknya yang sudah menikah maupun kepada anaknya yang terlambat menikah agar cepat mencari jodoh.
Menurut beberapa sumber bacaan, gerakan 'child free' ini muncul pada akhir abad ke 20 dari St. Agustine yang berdasar kepercayaannya, memiliki anak adalah termasuk perbuatan salah, karena menjebak jiwa dalam tubuh yang tidak kekal.Â
Dan sikap ini berlawanan dengan penganut agama Islam yang mayoritas di Indonesia dan mewajibkan manusia yang sudah akil baliq untuk nemilki keturunan. Tanpa bermaksud mempertentangkan dua paham kepercayaan ini, hendaknya 'child free' hanya pilihan sukarela pasutri dan bukan sebuah gerakan sosial.
Apa alasan pasutri tidak menghendaki anak? Beberapa alasan yang mengemuka adalah :
1. Penduduk dunia sudah terlampau padat.
Sebenarnya alasan ini kurang valid, karena saat ini pasutri jarang memiliki anak banyak seperti era kakek nenek dulu. Kalau ingin mengurangi kepadatan penduduk dunia, tiap pasutri bisa memiliki komitmen untuk hanya memiliki anak tunggal. Kalau dulu, gara-gara ingin mendapatkan anak sepasang putra putri, bila gagal terus mencoba sehingga lahirlah banyak anak.