Dunia perbankan konvensional selama ini memberikan layanan kepada semua sektor, prinsipnya lebih kepada keditur dan debitur. Selama agunan cukup, dan prospek bisnis baik, bank konvensional akan mengucurkan pinjaman. Debitur akan membayar bunga pinjaman sesuai laju bunga yang berlaku, padahal menurut hukum Islam bunga pinjaman tidak diperkenakan karena tergolong riba. Juga ada bisnis yang dikatagorikan haram sehingga bank seharusnya tidak mendukung bisnis ini.
Oleh sebab itu diperlukan adanya Bank dengan prinsip syariah, yang dikenal dengan Bank Syariah. Pengesahan berdirinya Bank Syariah dikuatkan oleh UU No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Bisnis Bank Syariah berdasarkan hukum Islam dengan prinsip keadilan dan keseimbangan, kemaslahatan dan iniversalisme dan tidak boleh bersinggungan dengan gharar, maysir, obyek haram, riba dan zalim.
Bank Syariah juga berfungsi atas fungsi sosial seperti menerims dana yang berasal dari hibah, infak, sedekah dan zakat, serta menyalurkan kepada pengelola wakaf.
Bila Bank konvensional memperoleh laba dari bunga pinjaman dan biaya administrasi atas setiap kegiatan perbankan, maka Bank Syariah memperoleh laba dari hasil usaha (bagi hasil dengan mitra) dan biaya administrasi atas jasa yang diberikan.
Selain diawasi oleh OJK, Bank Syariah juga diawasi oleh MUI, kegiatan yang diizinkan meliputi:
1. Mudharabah
Yakni perjanjian kerja sama antara pemilik modal dan pengelola dana, bila usaha menghasilkan keuntungan, maka dilakukan bagi hasil. Sementara bila usaha mengalami kerugian, maka seluruh kerugian menjadi tanggungan pemilik modal. Namun bila ditemukan penyelewengan, kecurangan, penyalah gunaan atau kelalaian yang dilakukan oleh pengelola dana maka menjadi tanggung jawab pengelola dana.
2. Musyarakah
Yakni perjanjian kerja sama antara dua atau lebih pemilik modal untuk mendirikan usaha bersama dan mengelola bersama. Keuntungan dan kerugian usaha akan dibagi berdasar besar kecilnya konstribusi modal.
3. Wadiah
Adalah titipan dari satu pihak ke pihak lain,