Mohon tunggu...
Sutan Pangeran
Sutan Pangeran Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bersahabat

WhatsApp 0817145093

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Nikah Muda

1 November 2011   04:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:13 478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Sebenarnya tidak ingin kumuat tulisan ini. Apalagi yang akan kuceritakan sudah jauh terlewat, yaitu separuh dari usia yang telah kujalani. Namun, karena kuingin mengabadikannya buatmu, maka kuberanikan mencoba sekuat tenaga merangkainya kembali, walau di sana-sini catatanku tiada lagi terbaca jelas sehingga memaksaku untuk mencoba mengingat-ingat apa yang sudah kujalani:

Setamat SMA pada 1982 kuputuskan bekerja lebih dahulu. Tidak kuindahkan pesan Papa agar mempertimbangkan, apakah melanjutkan kuliah ketimbang terus menyelesaikan Crash Program di Departemen Pertanian.

Kutinggalkan Jakarta menuju Riau, propinsi yang menjadi ikatan dinasku sebagai petugas lapangan proyek terpadu (PLTPT) atau sering disamakan dengan petugas pertanian lapangan (PPL).

Alasan utama meninggalkan Jakarta, jenuh. Di samping itu spirit yang dipompakan oleh penulis besar Pramoedya,”Kau harus kuat, hidup dan berjuang dengan kedua tangan dan kakimu sendiri!” Benar-benar telah merasuk ke dalam diriku.

Masih kuingat mengapa akhirnya aku berada di dalam bus Bintang Kejorayang membawaku ke Bukittinggi. Di sebelah bangku, Mama sibuk mengipas-ngipas wajahnya karena peluh. Mama mengantarku dengan tujuan ingin pulang kampung terlebih dahulu sebelum rencana panjang yang ingin disampaikan kepada Andung dan adik-adik Mama atau yang biasa kupanggil mamak (paman). Kuingat, pertengahan Maret 1983menunjukkanhari ke 17, bus berjalan menembus Jakarta hingga diseberangkan di Pelabuhan Merak. Kini tanah Lampung menjadi pelajaran baru bagiku.

Huh, bumi nusantara!

Yang kulihat kiri kanan pepohonan yang tumbuh di hamparan tanah merah dan gundul. Mengapa manusia malas membuatnya hijau?

Sisi kaca sebelah kiriku memantulkan sosok wajahku. Seakan yang baru kulalui berputar kembali. Ya, masa silam yang terlewati, kadang kucoba tarik dalam lamunan jalan.

+

Pram, demikian Pramoedya sering disingkat namanya, begitu hangat menyambutku. Ia terlihat kokoh sosoknya. Penuh ekspresi kala menjelaskan apa yang dikatakannya. Lelaki kelahiran Blora, 1925 itumenunjukkan senyum ramah saat menyambut kedatanganku seusai ujian akhir.Sesekali lelaki eks tahanan Pulau Buru ituberbicara sambil mengepalkan tangan kirinya demi mendukung apa yang dikatakan kepada lawan bicara.

Tangan kiri Pram jarang lepas dari sebatangrokokdengan jepitan jemari tengah, telunjuk dan jempolnya. Begitu berkesan gaya memegang rokok, sehingga di kemudian harikutiru dalam tempo cukup lama.

“Siapa namamu, Nak?” Tanya Pram di tengah percakapan setelah kuhirup teh manis yang dibawakan anak perempuan Pram, yang kemudian kuketahui bernama Astuti.

“Suta,”jawabku.

“Lengkapnya?” Ia condongkan kepala sambil menampung telapak tangannya ke telinga.

“Suta Soma.”

“Hmm, nama yang bagus!” Pram memujiku.

Seakan menyadari keherananku, Pram menjelaskan bahwa dirinya mengalami ketulian akibat rusak gendang telinganya.

“Aku dihajar popor Belanda! Meski berusaha menggerakkan kepala ke sana-sini saat diintrogasi oleh musuh, namun sesekali kena juga samping pelipisku. Sejak itu, aku mengalami kesulitan pendengaran. Telinga sering mendenging rasanya.Sehingga akuharus berusaha keras mendengar lawan bicaraku.” Pram menjelaskan detail alasan mengapa ia mengalami kesulitan pendengaran.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun