Mohon tunggu...
HG Sutan Adil
HG Sutan Adil Mohon Tunggu... Sejarawan - Pemerhati dan Peneliti Sejarah dari Sutanadil Institute

Pemerhati dan Penulis artikel Sejarah, Ekonomi, Sosial, Politik di berbagai media. Sudah menulis dua buku sejarah populer berjudul Kedatuan Srivijaya Bukan Kerajaan Sriwijaya dan PERANG BENTENG, Perang Maritim Terbesar Abad 17 dan 19 di Palembang. (Kontak 08159376987)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perang Benteng Kedua (2)

4 Februari 2023   09:00 Diperbarui: 4 Februari 2023   09:00 521
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Sutanadil Institute

Dengan sifat arifnya, dalam mengatasi keadaan sedemikian itu, Sultan menempuh kebijaksanaan mundur terhormat dan mengambil posisi pada pertahanan berikutnya kearah Muara Rawas sekitar bulan April 1812,  Setelah beliau terlebih dahulu menyerahkan pimpinan Kesultanan  kepada adiknya, Pangeran Adipati (Raden  Husin), dan memerintahkannya supaya tetap berada di Palembang, melarangnya untuk menaikkan bendera Inggeris, dan demikian pula untuk mengadakan perjanjian apapun dengan pihak Inggris.

Akhirnya dengan strategi ini berhasil membuat Gillespie tidak berhasil bertemu dengan Sultan dan dapat dianggap ini merupakan suatu kegagalan Inggris. Untuk merusak kondisi kesultan dari dalam, lalu Inggris mulai melaksanakan politik "Devide et Impera"nya, yaitu politik memecah belah para keluarga sultan yang ada. Untuk melaksanakan ini, Lalu oleh Gillespie, diangkat-lah Pangeran Adipati sebagai Sultan Palembang dengan gelar Sultan Ahmad Najamuddin Raden Hussen atau sekarang lebih dikenal sebagai Sultan Ahmad Najamuddin II.

Sosialisasi Buku
Sosialisasi Buku "Perang Benteng" dengan Kepala Dinas Pariwisata Kota Pelambang, Bp. Kgs. Sulaiman Amin//Dok. Sutanadil Institite 
Pada hari Kamis tanggal 14 Mei 1812. Menindak lanjuti pengangkatan tersebut dan sebagai pengakuan terhadap Inggris, dengan liciknya, dibuatlah perjanjian tersendiri dimana pulau Bangka dan Belitung diserahkan kepada Inggris, karena tujuan utama rafles ke Palembang adalah menguasai Pulau Bangka dan Belitung. Atas keberhasilan pengakuan hak atas Pulau Bangka dan Belitung ini, dalam perjalanan pulang ke Batavia lewat Mentok, oleh Gillespie, kedua pulau itu diresmikan menjadi jajahan Kerajaan lnggris dengan diberi nama "Duke of York Islands" pada tanggal 20 Mei 1812.  

Kapten Meares yang menggantikan Gillespie, meneruskan usaha-usaha untuk hertemu dengan Sultan Mahmud Badaruddin II, tetapi dia tidak berhasil, karena kena peluru diperutnya ketika kontak senjata dengan gerilyawan di Benteng Bailangu dekat Kota Sekayu sekarang, sehingga terpaksa bersama dengan pasukannya kembali ke Batavia lewat Mentok, namun sebelum sampai dia meninggal disana pada tanggal 5 September 1812.

Sementara pasukan asing itu pergi meninggalkan daerah Palembang, Sultan Mahmud Badaruddin II memperkuat pertahanannya dengan benteng-benteng baru seperti Benteng Tanjung di Muara Rawas, Benteng Seberang Musi dan Benteng Tanjung Rawas. Selama bergerilya itu Sultan Mahmud Badaruddin II dibantu sepenuhnya oleh seluruh rakyat di pedalaman yang terdiri dari berbagai-bagai suku selain dari penduduk setempat, seperti orang-orang Jambi, Bangka, Belitung, Minangkabau, Aceh, Riau dan Jawa di bawah pimpinan golongan masing-masing. Selanjutnya dibentuk kesatuan-kesatuan gerak cepat, di tebing-tebing sungai dibuat kubu-kubu pertahanan dengan lobang-lobang tembak, dan dibuat tembok-tembok penghalang perahu-perahu musuh.

Kapten Meares digantikan Mayor Robinson, yang yakin bahwa Sultan Mahmud Badaruddin II tidak mungkin dikalahkan dengan kekuatan senjata. Robinson menempuh jalan damai, dan berhasil bertemu Sultan Mahmud Badaruddin II. Mayor Robinson melakukan pendekatan persuasif dan selanjutnya mengundang kembali SMB II ke Palembang dan menempati Kraton Kuto Besak kembali. Dan selanjutnya pada tanggal 13 Juli 1813, beliau mengangkat kembali Sultan Mahmud Badaruddin II untuk berkuasa sebagai Sultan Tuo seperti sebelumnya dan didampingi adiknya, Raden Husin sebagai Sultan Mudo yang menempati Kraton Kuto Lamo.

Kebijaksanaan Mayor Robinson tersebut diatas tidak dibenarkan oleh Raffles, lalu Dia dipecat dari jabatannya, bukan saja karena kebijaksanaannya tersebut, tetapi juga dituduh bersalah berhubungan dengan kekacauan di bidang keuangan dan administrasi. Sekitar sebulan kemudian tiba di Palembang suatu Komisi yang dipimpin oleh Mayor Colebrooke dengan tugas mengembalikan keadaan seperti sebelum kedatangan Mayor Robinson. Setelah Colebrooke mengumumkan "Pernyataan Raffles tanggal 4 Agustus 1813", lalu Sultan Mahmud Badaruddin II dimakzulkan dan Sultan Ahmad Najamuddin II diakui kembali sebagai Sultan Palembang pada tanggal 14 Agustus 1813.

Perlengkapan dan tanda kebesaran Kesultanan Palembang tetap pada Sultan Mahmud Badaruddin II, tidak diserahkan kepada Sultan Ahmad Najamuddin II. Selanjutnya sebagai rakyat biasa, Sultan Mahmud Badaruddin II bisa bebas bergerak ke mana-mana, bagaikan "Harimau yang bergerak bebas seperti kucing", sehingga ia senantiasa diperhatikan dan diawasi pihak Inggris yang sangat memaklumi atas ketinggian martabat SMB II dan mengetahui benar bahwa seluruh rakyat tetap setia dan berada di belakangnya. Sultan Mahmud Badaruddin II dalam keadaan penuh keprihatinan itu, tetap sabar dan terus selalu waspada, akan siasat adu domba musuh-musuhnya.

Dokumen Sutanadil Institute
Dokumen Sutanadil Institute

Keadaan itu segera berubah sebagai akibat Konvensi London 13 Agustus 1814, yang menetapkan bahwa Kerajaan Inggris harus menyerahkan kembali daerah-daerah kekuasaan Belanda di Nusantara. Namun  pelaksanaan serah terima tersebut agak terhalang beberapa waktu yang disebabkan kembalinya Napoleon dari Pulau Elba.  Barulah pada tanggal 19 Agustus 1816 Belanda berkuasa kembali di Nusantara. Dengan demikian selesailah periode perjuangan Palembang melawan Inggris dan mulailah perlawanan Palembang terhadap Belanda.

Sementara itu didaerah uluan mulailah berkobar semangat juang rakyat dalam bentuk perang gerilya di daerah Musi Rawas. Hal mana juga telah membangkitkan semangat perlawanan rakyat di Pulau Bangka dan Belitung, atas perjanjian pendudukan kolonialis dan selanjutnya terjadilah peristiwa terbunuhnya Resident Smissaert disana yang dihadang dan dibunuh oleh rakyat pada tanggal 14 Nopember 1819. Perang gerilya itu telah pula menghilhami perlawanan rakyat kepada kolonialis dibeberapa daerah Uluan lainnya seperti perlawanan Tihang Alam di Komering Ulu, Perang Jati, perang Pasemah, perang Empat Lawang, perang Empat Petulai dan sebagainya.

*) Penulis Adalah Pemerhati dan Peneliti Sejarah dari Sutanadil Institute

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun