Mohon tunggu...
Susianah Affandy
Susianah Affandy Mohon Tunggu... wiraswasta -

Komisioner BPKN RI (Badan Perlindungan Konsumen Nasional). Bekerja untuk sejahteraan rakyat. Mengenyam pendidikan secara linier dengan pekerjaan. Lulus S1 dari jurusan Pengembangan Masyarakat Islam UIN Jakarta. S2 Program Studi Sosiologi Pedesaan IPB.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

PEMBENTUKAN PERSEPSI

4 Desember 2010   09:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:02 4179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Steven R Covey, penulis buku best seller “7 Habits” menyarankan sebelum menghadapi dan menyelesaikan masalah lebih arif jika kita bisa memahami agar permasalahannya terlebih dahulu. Seringkali kita memutuskan sesuatu yang tidak sesuai dengan konteks permasalahannya sehingga kata Steven “Bagaimana kita memandang permasalahan itulah sesuangguhnya permasalahannya”. Dalam bahasa yang agak berbau filsafat, para psikolog sosial menyebutkan bahwa sesungguhnya realitas itu tiada, yang ada hanya sesuatu yang kita persepsikan.

 

Atas dasar itulah seringkali kita melihat realitas di masyarakat yang satu berbeda dengan masyarakat yang lain. Di desa yang jauh dari akses teknologi informasi sesuatu hal bisa menjadi masalah sosial, namun tidak dengan masyarakat perkotaan. Semuanya terpulang pada persepsi masing-masing individu di masyarakat. Sebab itu persepsi disadari atau tidak sangat menentukan bagaimana sikap dan perilaku kita kepada orang lain atau kepada lingkungan dimana kita berada. Lalu bagaimana sebenarnya pembentukan persepsi itu sendiri?

 

Definisi

 

Drever dalam Sasanti (2003) mendefinisikan persepsi sebagai suatu proses pengenalan atau identifikasi sesuatu dengan menggunakan panca indera. Kesan yang diterima individu sangat tergantung pada seluruh pengalaman yang telah diperoleh melalui proses berpikir dan belajar, serta dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari dalam diri individu. Sabri (1993) memandang persepsi sebagai aktivitas yang memungkinkan manusia mengendalikan rangsangan-rangsangan yang sampai kepadanya melalui alat inderanya, menjadikannya kemampuan itulah dimungkinkan individu mengenali milleu (lingkungan pergaulan) hidupnya

 

Persepsi sosial mengandung unsur subyektif. Persepsi sosial menyangkut atau berhubungan dengan adanya rangsangan-rangsangan sosial. Rangsangan-rangsangan sosial ini dapat mencakup banyak hal, dapat terdiri dari (a) orang atau orang-orang berikut ciri-ciri, kualitas, sikap dan perilakunya, (b) persitiwa-peristiwa sosial dalam pengertian peristiwa-peristiwa yang melibatkan orang-orang, secara langsung maupun tidak langsung, norma-norma, dan lain-lain (Istiqomah, dkk, 1988)

 

Pembentukan Persepsi

 

Davis O Sears (1994) mengoperasionalkan bagaimana kita membuat kesan pertama, prasangka apa yang mempengaruhi mereka, jenis informasi apa yang kita pakai untuk sampai pada kesan tersebut, dan bagaimana akuratnya kesan itu.

 

Dalam melakukan penilaian terhadap orang lain, menurut Brehm ada tiga pentunjuk tidak langsung yang sering kita gunakan yakni pribadi, situasi dan perilaku. Dengan petunjuk tersebut kita bisa melakukan penilaian terhadap orang lain dengan cepat hanya ketika melihat fisiknya. Dalam hal ini selain melihat fisik seseorang penilaian atau persepsi juga dapat terbentuk dengan cepat adalah ketika kita melihat sisi demografi yang ada pada diri orang lain seperti jenis kelamin, ras, etnik dan lain sebagainya.

 

Apa yang dipersepsikan seseorang terhadap perilaku orang lain antara manusia yang satu dengan lainnya sangatlah bersifat subyektif. Hasil penilaian yang berbeda antara satu orang dengan yang lainnya terhadap obyek yang sama sangat ditentukan oleh latar belakang kehidupan pribadi sang perseptor. Jika sang perseptor memiliki latar belakang sosial dan pengalaman dalam bertinteraksi sosial yang memadai, memiliki ilmu pengetahuan, sikap yang baik, pengharapan dan selalu berfikir positif tentunya manusia jenis ini akan memiliki kemampuan intelegensi dan kemampuan menghayati stimulasi yang diterinya dari obyek yang diterima dengan bijak ketimbang manusia yang hanya mengamati sang obyek dengan kacamata prasangka.

 

Dalam hal ini Istiqomah (1988) menyebutkan bahwa persepsi sosial dibangun atas tiga hal yang saling mempengaruhi yakni 1) variabel obyek-stimulus, 2) variabel latar atau suasana pengiring keberadaan obyek-stimulus, dan 3) variabel diri preseptor.. Dalam bahasa yang berbeda Orgod memerinci tentang konsep diferensial semantik yang menjelaskan tiga dimensi dasar yang terkait dengan persepsi, yakni evaluasi (baik-buruk), potensi (kuat-lemah), dan aktivitas (aktif- pasif). Menurutnya evaluasi merupakan dimensi utama yang mendasari persepsi, disamping potensi dan aktivitas (David O Sears, et. al, 1994).

 

Dalam sebuah perkuliahan saya membagikan gambar kepada masing-masing mahasiswa dan meminta mereka untuk menuliskan gambar apa yang mereka lihat. Ketika gambar-gambar tersebut saya minta kembali, dengan tersenyum saya mengamati tulisan tangan yang memberi penilaian yang berbeda-beda semua mahasiswa terhadap gambar yang sama. Inilah yang disebut persepsi. Louisser dan Poulos (1997) dalam Mugniesyah (2005) mengemukakan lima tipe jenis/bias yang mempengaruhi persepsi, dan dua diantaranya adalah stereotip dan harapan. Stereotip diartikan sebagai suatu proses penyederhanaan dan generalisasi perilaku individu-individu dari anggota kelompok tertentu (etnis, agama, suku bangsa, jenis kelamin, gender, pekerjaan, dan lain sebagainya). Stereotip digunakan pada saat kita sedang menilai seseorang, juga digunakan oleh individu dalam berkomunikasi dengan maksud untuk humor, perlakuan diskriminatif bahkan pelecehan, yang seluruhnya akan menghasilkan pengaruh negatif terhadap hubungan antar manusia (komunikasi interpersonal).

 

Faktor-faktor internal bukan saja mempengaruhi atensi sebagai salah satu aspek persepsi, tetapi juga mempengaruhi persepsi diri seseorang secara keseluruhan, terutama penafsiran atas suatu rangsangan. Dalam hal ini agama, ideologi, tingkat intelektual, tingkat ekonomi, pekerjaan dan cita rasa sebagai faktor-faktor internal yang jelas mempengaruhi persepsi seseorang terhadap suatu realitas. Jika persepsi ini memegang peranan penting sebagai peletak dasar argumen atas tingkah laki kita terhadap realitas maka mulai dari sekarang untuk menciptakan kehidupan yang damai, apa tidak bijak jika kita lebih baik memahami orang lain daripada berharap agar orang lain memahami kita.

 

Dalam sebuah guyonan saya kerap menyampaikan “hanya dua orang yang mudah tersinggung yakni orang miskin dan orang bodoh”. Guyonan ini bagi saya penuh makna bahwa jangan sampai karena rendahnya pengetahuan kita akan satu masalah atau seseorang atau lingkungan membuat kita tersinggung dan salah paham. Sebab ketersinggungan dan salah paham kerap tercipta dari pikiran prasangka yang tentu berbuah perilaku yang negatif. Mengakhiri tulisan ini jika diminta memilih sebenarnya lebih baik “salah paham” daripada “pahamnya yang salah”.

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun