Mohon tunggu...
PM Susbandono
PM Susbandono Mohon Tunggu... -

Berpikir kritis, berkata jujur, bertindak praktis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Harapan

2 Januari 2013   00:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:40 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Menjelang tahun baru, banyak teman yang sedih.  Dua atau tiga hari sesudah pesta atau libur Natal, mereka seolah-olah mulai mendapat beban untuk berpikir.  Berpikir, merenung, atau menerawang tentang apa yang akan terjadi tahun depan.  Berpikir tentang apa yang akan dilakukan tahun depan.  Ditambah, biasanya hari-hari itu, cuaca kelabu.  Mendung menggantung disertai gerimis, dari pagi sampai pagi lagi.

Hari-hari menjelang tahun baru tidak selalu menyenangkan bagi sementara orang.  Mereka galau.  Pikiran mengembara ke 365 hari di masa silam. Ketika begitu banyak peristiwa menyelimuti hidup kita.  Ada yang sangat menyenangkan, cukup membahagiakan, atau menyedihkan.  Gagal dan sukses mewarnai tahun yang nyaris berlalu.  Anehnya,  akhir tahun  sering membuat perasaan menjadi melankolis.  Ritme   gagal dan menyedihkan lebih mendominasi relung alam bawah sadar katimbang sukses dan menyenangkan.  Banyak orang ketakutan ketika masuk era baru, rezim waktu yang antah-berantah,  atau gapura besar berwarna kelam.  Tak tahu apa yang ada di dalam sana.

Menyusun keinginan untuk dicapai di masa depan, bukan perkara mudah.  Orang menyebutnya "resolusi".  Tapi resolusi tanpa revolusi sering tidak berkesan.  Ia menjadi ecek-ecek, basa-basi, ritual formal, yang sering kosong melompong.  Ia akan hilang dan dilupakan seperti  resolusi tahun lalu pada hari-hari ini.  Kemudian gamang akan hadir kembali 12 bulan kemudian.  Tak ada yang dicatat, tak ada yang disimpan, tak ada yang dipegang.  Semuanya mabur, entah kemana.  Dan waktu bergulir kembali seperti sedia kala.  Berputar dan bergilir, seolah tak ada apa-apa.

Merangkai resolusi memang rumit.  Membuat cita-cita memang sulit.  Apalagi untuk makhluk yang jumud.  Perubahan adalah malapetaka, sementara diam lebih nyaman dinikmati.  Biarkan zaman membawa kita ke bukit kebahagiaan, ke puncak kesuksesan, ke  gunung menyenangkan.  Biarkan angin yang  menerbangkan kita ke pucuk surga.  Biarkan Tuhan, Dzat yang maha kasih, yang memberi dan selalu memberi.  Bukankah Dia maha baik?  Akan saya titip nasib kepadaNya.  Biar saya tinggal menikmatinya saja.  Tapi, apakah segampang itu?

Menjalani hidup dengan merangkak dalam karut-marut dunia sering membuat manusia lantas putus asa.   Di Amerika, anak-anak TK tewas ditembak orang gila.  Pembantaian manusia seperti dibiarkan, di Palestina.  Politisi hitam menguasai panggung  negara, menjadi penguasa, di Senayan, Jakarta.  Pengacara berdebat ngawur di TV swasta.  Pengusaha dan pekerja sama-sama merasa kebenaran mutlak ada di tangan mereka.  Agama menjadi tameng dan pelindung kesalahan manusia.  Intoleran ada dimana-mana.

Untung ada yang disebut "harapan".   Tanpanya manusia mati meski bernafas.  Mati, karena dia tak bergerak, meski dadanya masih naik-turun. Tanpa harapan, hidupnya statis, tak berubah, meski  hidungnya tetap kembang-kempis.   Hanya harapan yang membuat dia hidup, membuat dia bergerak.  Harapan menuntun ke perubahan yang membuat dia senang, sukses dan   bahagia.

Lantas apa istimewanya harapan?  Dimana harapan itu berada? Apa yang membuat harapan mampu mengubah putus asa menjadi ceria?   Harapan adalah titik-titik kepercayaan terhadap sesuatu yang diinginkan akan menjadi kenyataan di masa mendatang.  Harapan adalah sesuatu yang abstrak, tetapi sering membuahkan motivasi untuk mencapainya.  Harapan harus berpasangan dengan usaha dan doa.  Ora et labora.

Francis Bacon (1561 - 1626), seorang filosof, ilmuwan, negarawan dan penulis Inggris terkenal, mengatakan "Harapan adalah sarapan yang baik, tetapi  makan malam yang buruk".  Harapan harus lahir pada saat seseorang menetapkan cita-cita, membangun resolusi, membentuk keinginan.  Ia bukan menjadi penutup hidup, ketika permainan hampir selesai.  Kalau demikian, ia menjadi sia-sia.

Bagaimana harapan bisa tumbuh, ketika hati gundah dan realitas morat-marit?   Bagaimana ia mampu menjadi pendorong kerja dan doa, ketika kenyataan kelam ada di sekitar kita?  Bagaimana ia muncul sebagai penuntun cita-cita, ketika kiamat sudah diramalkan dan dipercaya banyak orang?

Semuanya bisa menjadi kenyataan ketika manusia percaya kepada sesuatu yang Ajaib.    Orang boleh menyebut Sang Ajaib sebagai Allah, Tuhan Yang Maha Esa, Yahwe, God atau apa saja sesuai keyakinannya dan keinginannya. Yang penting adalah Dia bisa menumbuhkan harapan akan tibanya masa depan yang lebih baik dari hari ini.  "BagiNya, tidak ada sesuatu yang mustahil".   Mengukir cita-cita  adalah dorongan untuk menghasilkan sesuatu.  Tidak akan terjadi apa-apa tanpa harapan dan keyakinan.  Optimism is the faith that leads to achievement.  Nothing can be done without hope and confidence.  (Helen Keller, 1880-1968).  Itulah sebabnya, membuat resolusi menjadi sesuatu yang penting untuk dilakukan.

Bumi semakin tua.  Alam semakin rentan bencana.  Peradaban semakin renta.  Manusia semakin jumawa.  Harapan di dada semakin langka.  Tak dipungkiri bahwa resolusi mengukir cita-cita semakin sulit dicipta.  Pada saatnya, bila akhir dunia benar-benar mendekat, bagaimana pun kelamnya bumi ini, kasih dan harapan masih selalu ada. No matter how dark the moment, love and hope are always possible. (George Chakiris- 1934).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun