Mohon tunggu...
PM Susbandono
PM Susbandono Mohon Tunggu... -

Berpikir kritis, berkata jujur, bertindak praktis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ahli

28 Oktober 2011   00:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:25 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Minggu ini, saya mengajak anda untuk menelusuri beberapa aspek dari kata “ahli”.Pertama, adalah cerita tentang seorang teman saya yang sudah lama tidak berjumpa.Agak prihatin saya mendengarbahwa dia - teman sekampus ketika sama-sama mahasiswa di Bandung - saat ini berubah profesi menjadi seorang penjual barang antik.Semula, dia seorang tenaga ahli, bergelar Sarjana S3 lulusan Universitas ternama di Amerika danberprofesi sebagai dosen dan peneliti di salah satu Perguruan Tinggi ternama di Bandung.Dia dikenal sebagai seorang pengajar favorit yang disukai mahasiswa karena pandai menerangkan suatu masalah dan peneliti yang pintar karena sering menghasilkan karya-ilmiah.Konon, sang teman berganti profesi untuk menambah penghasilannya sebagai pegawai negeri yang jumlahnya dibawah pas-pasan.

Keprihatinan yang saya miliki ternyata juga merupakan kesedihan banyak orang. Kegundahan kaum terpelajar pada umumnya. Bahkan sudah menjadi kesedihan kalangan yang terlibat dalam dunia pendidikan, yang tak juga terurai seperti benang-kusut yang semakin mbundet.Bangsa Indonesia- yang sedang berupaya bangkit dari keterpurukan akibat krisis multi dimensi yang tak kunjung usai - sebenarnya membutuhkan banyak sekali ahli di pelbagai bidang.Tetapi, nampaknya perhatian masyarakat dan bahkan negara terhadap para ahli khususnya dan dunia pendidikan pada umumnya masih sangat-sangat minimal.

Keprihatinan saya semakin menjadi-jadi ketika Kompas, Kamis, 27 Oktober 2011, mengabarkan bahwa seorang peneliti senior yang bergelar professor, dengan pangkat kepegawaian tertinggi, IVE, hanya berpenghasilan sekira 5 juta rupiah per bulan.Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana dengan gaji sesedikit itu, sang professor bisa mencurahkan keahliannya untuk menghasilkan karya bagi bangsanya.Bagaimana dia bisa berkonsentrasi untuk mengajar mahasiswa atau menyiapkan proposal untuk mewujudkan ide yang ada di dalam benaknya, kalau kebutuhan pokok di dapur rumahnya belum sepenuhnya terpenuhi.Bagaimana seorang peneliti dengan penghargaan seperti itu dituntut untuk melahirkan legacy yang diharapkan mengangkat derajat dan nama baik bangsa besar, yang bernama Indonesia.Singkatnya, bagaimanapun susahnya kondisi keuangan negara, tidak layak untuk excuse,bahwa penelitidi suatu negara besar yang kaya raya seperti Indonesia, hanya dihargai dengan uang setara 1 pesawat handphone model terbaru. Itu jelas merupakan suatu kebijakan yang sangat memprihatinkan dan tidak masuk akal.

Saya tidak tahu, dalam kasus ketimpangan yang njomplang seperti ini, siapakah pihak yang pantas menyandang gelar kambing hitam.Tetapi, kalaupun si kambing yang berwarna hitam tadi dapat diketemukan, rasa-rasanya keadaan tidak juga menjadi lebih baik.Bahkan mungkin sudah terlambat.Akibat (sangat) rendah penghargaan yang diberikan negara kepada para ahli, peneliti, dosen dan kaum cerdik-cendika, disinyalir bahwa telah terjadi brain drainke negara tetangga, Malaysia.Para ahli Indonesia lari, menyeberang lautan untuk “mengabdi” kepada dunia ilmu pengetahuan di luar negaranya.Kalau di dalam negeri mereka hanya dihargai setara 1 unit handphone maka di sana, sang professor mendapat penghasilan minimal 10 kali lipat plus fasilitas lengkap untuk memberi kesempatan mereka untuk konsentrasi menyelesaikan pekerjaannya sebagai peneliti dan pengajar.

Ironisnya, keadaan yang sudah sampai titik nadir bagi dunia ilmu pengetahuan Indonesia ini, dianggap sebagai business as usual. Ia tidak segera di-rescue oleh pihak yang berwenang.Bahkan salah satu pejabat Kementerian Kesejahteraan Rakyat, baru-baru inimengatakan bahwa pemerintah tidak mempunyai rencana untuk menaikkan remunerasi para peneliti, melainkan mereka diminta untuk kreatif (bah…?) mencari tambahan penghasilan.

Berbicara mengenai rendahnya penghasilan pegawai negeri yang berpredikat tenaga ahli, hati saya semakin pedih bila mengingat bahwa ketimpanganini diperparahdengan beberapa fakta dibawah ini.Penghasilan seorang peneliti senior di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, sebesar 5 juta rupiah atau setara dengan gaji seorang clerk dengan grade menengah yang bekerja di sebuah perusahaan swasta nasional.Besaran itu masih sangat jauh dibawah seorang fresh graduate dengan nol tahun pengalaman-kerja darisebuah perusahaan swasta asing, atau 50% dari gaji seorang Sarjana S2 yang baru saja lulus.Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana perasaan sang dosen ketika membimbing tugas-akhir mahasiswa S2, bila terpikir bahwa sebentar lagi si mahasiswa akan berpenghasilan 2 kali lipat gajinya.

Keadaan lebih parah akan semakin gamblang tergambar,bila nilai ini dibandingkan dengan penghasilan seorang selebriti.Saya pernah mendengar bahwa seorang Tukul Arwana, pelawak kondang yang mengasuh acara Bukan Empat Mata di suatu stasiun televisi, mendapat honor 40 juta rupiah per episode.Apabila dia manggung 5 kali per minggu atau 20 kali per bulan, maka Tukul meraup uang sebesar 800 juta rupiah atau 160 kali penghasilan sang professor.Perdebatan memang masih bisa diperpanjang, dengan mempertanyakan apakah perbandingan itu apple to apple . Tetapi apapun alasan yang dikemukakan, jika Tukul mengantongi uang 160 kali lebih banyak dibanding seorang profesor, peneliti senior dan dosen puluhan mahasiswa S2 dan S3,merupakan suatu kondisi sosial yang tidak dapat diterima oleh akal sehat siapapun.

Aspek “ahli” kedua yang ingin saya singgung disini adalah contoh tentang seseorang yang mengaku “ahli”, tetapi tidak atau belum mampu membuktikannya.Ketika jawatan yang mengasuh masalah iklim dan cuaca di Indonesia, BMG memprediksi bahwa awal 2012 akan terjadi lagi banjir besar di Jakarta, saya teringat kampanye calon pemilihan gubernur DKI, ketika itu, Fauzi Bowo (FB). Dia menyatakan bahwa dirinya adalah seorang ahli perkotaan.“Serahkan kepada ahlinya, maka kota Jakarta akan tertib, rapi, nyaman dan aman”, begitu kira-kira tim sukses FB mengumandangkan slogan agar rakyat Jakarta memilih dia. Setelah terpilih, semboyan diatas menjadi bumerang ketika beberapa tahun kemudian Jakarta dilanda banjir bandang yang mengakibatkan seluruh kota menjadi kolaps selama 3 hari.Tidak itu saja, kemacetan di Jakarta, saat ini makin menjadi-jadi, dan sarana transportasi kota semakin tak karu-karuan.Keamanan dan kenyamanan hidup di Jakarta semakin mengkhawatirkan dan perencanaan kota layak disebut amburadul.Alhasil, meskipun mengaku ahli tentang Jakarta, FB tidak berhasil membenahi ibukota, bahkan di sana-sini, ia menjadi lebih karut-marut.

Sebagai penutup renungan minggu ini, yang kali ini ngocol ke sana kemari tentang kata “ahli” yang tak jelas juntrungannya,saya ingin mengirim 3 pesan kepada anda.Pesan pertama adalah, hargailah seorang ahli sesuai dengan kompetensi dan dedikasinya, sesuai dengan tuntutannya, sesuai dengan apa yang dihasilkannya.Pesan kedua, janganlah anda kepingin atau berpretensi untuk menjadi “ahli palsu”.Predikat ini, selain menipu banyak orang, anda juga sedang menipu diri-sendiri. Yang terakhir, saya inginmengingatkan anda tentang pentingnya sesuatu urusan diserahkan kepada yang kompeten, kepada yang menguasai dan mengerti masalah, kepada yang mampu dan mau.Atau lebih jelasnya, serahkan kepada yang benar-benar ahli, jangan kepada “ahli-ahlian”.Atau jangan diserahkan kepada “ahli”, yang bukan ahli, melainkan hanya karena dia temananda.Apabila anda sedang memilih pemimpin atau mendapat amanah memilih orang guna mengurus suatu pekerjaan, kembalilah kepada 3 rule of thumb di atas.Karena kalau anda melanggarnya, ingatlah konsekuensinya seperti yang bisa dirujuk ke Hadis Riwayat Bukhari, sebagai berikut : Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi." Ada seorang sahabat bertanya; “Bagaimana maksud amanat disia-siakan?” Nabi menjawab; "Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu." (Bukhari – 6015)

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun