Mohon tunggu...
PM Susbandono
PM Susbandono Mohon Tunggu... -

Berpikir kritis, berkata jujur, bertindak praktis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Norwegia

27 Juni 2015   12:54 Diperbarui: 27 Juni 2015   12:54 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jalan Ciputat Raya di sore hari. Tersenyum masam membaca tulisan di belakang bak sebuah truk, yang melintas disana.  Kalimat keluhan lengkap dengan lukisan pinggir jalan yang menghiasinya.  “Derita tiada akhir – Bahagia tak mau mampir”. 

Sosok laki-laki paruh baya melatar belakanginya, memaksa yang melihat tersenyum sendu.  Badannya kekar, tangannya gempal, wajahnya sangar.  Sekeranjang beban menindih punggungnya.  Di ujung papan, gambar perempuan galak dengan wajah marah-marah.  Sang pria mengeluh, masalah selalu menghadang, persoalan sedang di depan, himpitan terus meradang, demikian pesan yang dikirim melalui lukisan yang terlihat kusam.  Itulah hidup di dunia, tak pernah lepas dari masalah. 

Pengarang buku “Think and Grow Rich”, Greg S. Reid, menasehatkan  agar jangan alergi dengan masalah.  Jangan phobia dengan problem.  Jangan menghindar dari persoalan. Akrabi dan siasati agar  kita tidak dikuasai masalah.  “Problem makes life interesting and unique”.  Masalah justru membuat hidup ini berbeda, lebih hidup, lebih menyala. ‘Urip luwih urup’. 

Gus Dur adalah contoh soal bagaimana orang bijak menghadapi masalah.  Cara merespon menjadi kata kunci agar hidup lebih menarik, seperti nasehat Greg Reid.  Tidak terlalu serius, tapi terpecahkan.  Tidak ngoyo, tapi sembodo.  Tidak menguras tenaga, tapi ada jawabnya.  Dengan sudut pandang berbeda, bahkan sering nyleneh, Gus Dur melihat masalah dengan kacamata masa depan.  Bahkan saat  berada di ujung tanduk sebagai Presiden,  Gus Dur masih guyon dengan hanya memakai celana pendek keluar istana, menemui pendukung-pendukungnya.

Gus Dur tak bisa dilepas dari ucapannya yang khas dan menggelitik, “Gitu aja kok repot”.  Ungkapan sederhana, meski terkesan menyepelekan, tapi tetap menyelesaikan.  Terlihat meremehkan, tapi mengurai masalah.   Masalah tidak diingkari, tidak dihindari, tidak dijauhi, tidak dikeluhkan, tapi dihadapi dan diselesaikan.   Tidak hanya itu,  “Gitu aja kok repot” sekaligus memberi ketenangan, menambah ke-PD-an,  dan menebalkan keyakinan mereka yang melihatnya.

Masalah timbul karena kenyataan berbeda dengan harapan.  Fakta tidak klop dengan ekspektasi.  Terjadi gap yang “mengganggu” kenyamanan hidup.  Comfort zone terusik, karena harapan yang biasanya indah, baik-baik dan menyenangkan berbeda dengan apa yang dialami dalam hidup sesungguhnya.  Gap bisa besar dan dalam, tapi tak jarang hanya kecil dan dangkal.  Semakin besar dan dalam gap itu, semakin besar pula dalam persepsi seseorang.

Menyelesaikan masalah berarti menghilangkan gap.  Atau paling tidak memperkecil dan mendangkalkannya.  Pertama, tentunya mengusahakan agar kenyataan dan fakta bisa didekatkan semaksimal mungkin dengan harapan.  Bila bisa, gap harus sama dengan nol, artinya kenyataan sama dengan harapan.  Disitu muncul usaha untuk menghilangkan gap.  Itu yang disebut menyelesaikan masalah.  

Jangan lupa, “Jer basuki mawa bea”.  Butuh usaha untuk menggapai kemuliaan.  Kebahagiaan memerlukan biaya.  Comfort zone diraih dengan pengorbanan.  Dalam kategori ini, menyelesaikan masalah didominasi dengan usaha ekstrinsik.  Berpikir, mengatur strategi, membuat rencana, bekerja atau mengeluarkan biaya.  Tak ada makan siang gratis.  “No free lunch”.   Perlu semangat atau passion untuk menghancurkan gap, agar masalah hilang.

Yang kedua adalah dengan cara mengubah harapan.  Ekspektasi disesuaikan dengan kenyataan yang ada.  Maka gap akan nihil.  Merekayasa harapan memerlukan usaha yang tak kalah ringan, karena terjadi pertarungan di dalam sana, sifatnya intrinsik, insight dan menata hati.  Kalau mengangankan tim nasional sepakbola Indonesia menjadi juara di kawasan Asia Tenggara, ternyata meleset terus, mending ubah angan-angan menjadi lebih realistis.  Bayangkan timnas Indonesia bisa mengalahkan timnas Timor Leste saja.  Gap mengecil atau hilang sama sekali.  Masalah langsung sirna.  Insya Allah berhasil. 

Mengusahakan agar kenyataan berhimpit dengan harapan, atau mengubah harapan menjadi sesuai kenyataan sama-sama menghilangkan gap, memusnakan masalah.  Harus pandai memilih kapan menggunakan cara pertama, kapan kedua.  Bila harapan dinilai terlalu muluk, tidak realistis dan tak pernah mewujud, silakan ubah harapan menjadi lebih membumi.  Jika semangat masih tinggi dan tantangan hidup menjadi obsesi, mengubah fakta mendekati harapan menjadi pilihan yang tepat.  Keduanya butuh usaha yang tak ringan dalam suasana dan persyaratan yang berbeda konteks.

Saat merenung soal masalah, teringat kiriman artikel pendek dari seorang teman melalui socmed tentang Norwegia.  Berpenduduk hampir 6 juta orang, Norwegia dikenal sebagai negara  dengan cuaca paling ekstrem di dunia.  Orang yang hidup di kawasan Finmark, Troms, Trondelag  atau Eastern Norway bisa merasakan suhu sampai minus 40 derajat Celsius.  Matahari hanya muncul  2-3 jam saja. Selebihnya gelap dengan pagi dan sore yang hampir berimpit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun