Mohon tunggu...
Susanto
Susanto Mohon Tunggu... Guru - Seorang pendidik, ayah empat orang anak.

Tergerak, bergerak, menggerakkan. Belajar terus dan terus belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Jangan Berhenti Menulis, Jangan Berhenti Mengabadikan

29 Maret 2023   02:10 Diperbarui: 29 Maret 2023   02:21 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jangan Berhenti Menulis (Dok. Pribadi by Canva)

Tulisan di Kompasiana sudah ada sekitar 89 judul. Belum banyak, sih. Pun tidak semuanya dinilai bagus atau bermanfaat menurut para pembaca. Namun, dengan adanya tulisan ini saya membuktikan bahwa ternyata saya bisa menulis dan ada yang membaca.

Jika teman-teman bertanya bagaimana cara menjadi penulis? Saya agak bingung menjawabnya. Akan tetapi, jika diubah dengan kalimat, "Mengapa saya menulis?" maka izinkan saya bercerita.

Setiap kita---hampir setiap hari---disibukkan dengan kegiatan membaca dan menulis. Kita mungkin membaca papan nama, papan petunjuk, baliho, membaca aturan meminum obat, membaca pesan WA, atau membaca pesan di media sosial lainnya. Demikian pula ketika menulis.

Sebagian besar orang menulis status di media sosial, menjawab pesan, memberi komentar, membuat surat izin untuk anaknya, menulis surat lamaran, dan menulis di Kompasiana. Semuanya menulis. Tidak sembarang menulis. Ada pesan yang ingin disampaikan melalui rangkaian kata-kata.

Seseorang menulis perasaan, kegalauan hati, atau pemikiran di media sosial. Ia tulis sebagai sebuah cuitan di Twiter, sebagai status WA atau Facebook, atau menulis di blog. Jika cuitan, status, atau tulisan di blog itu dibagikan kembali oleh pembaca kepada teman-teman mayanya maka orang itu pasti akan dikenal. Jika ia pemusik, tentu akan membantunya dalam perjalanan bermusiknya. Sebagai guru atau profesi lainnya tentu branding dirinya akan meningkat.

Dalam sebuah video yang saya tonton, seorang narator menceritakan tentang kecintaannya pada dunia tulis-menulis itu. Katanya, ketika itu ia berada di Masohi, Maluku, tepatnya di pulau Seram. Nah, di sana, sang narator berdiskusi dengan beberapa mahasiswa. Salah seorang mahasiswa yang berdialog dengannya adalah mahasiswa yang sangat kritis, apalagi tentang dunia politik. Sang narator mengetahui koleksi buku si mahasiswa. Akhirnya, ia pun mengerti dari mana pemikiran kritis mahasiswa itu berasal.

Pada kesempatan itu, si mahasiswa menghadiahkan kepada sang narator sebuah buku itu berjudul "Anak Semua Bangsa" buah pena Pramoedya Ananta Toer.

Dalam perjalanan panjang dari Maluku menggunakan kapal Pelni, sang narator mulai membaca buku hadiah dari teman mahasiswanya itu. Belakangan ia tahu bahwa buku tersebut adalah seri kedua dari empat buku tetralogi Buru karya Pram yang terkenal.

Dalam buku itu, tokoh Minke yang diciptakan Pram ini sangat menginspirasi hingga sang narator tiba pada kesadaran bahwa dalam sebuah perjalanan, hal yang bisa menyelamatkannya dari kebosanan adalah buku.

Gambarannya begini. Berlayar di tengah laut hampir dipastikan tidak menemukan sinyal internet. Dus, tidak akan ada data yang bisa diakses. Di tengah laut, di kolong langit yang dibatasi cakrawala, di tengah ketiadaan akses internet, hanya ada sedikit hal yang bisa dilakukan. Apa itu? Yup, mengobrol dengan orang-orang di sekeliling, jika mau. Jika tidak mau, maka mendengarkan lagu. Itu pun jika dan hanya jika daya baterai hape masih ada. Jika kedua hal itu tidak dapat dilakukan, hal paling mungkin untuk membunuh jenuh adalah membaca buku atau menulis apa yang dipikirkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun