Suatu hari, ditengah kesibukan bekerja, saya sempat mengobrol dengan teman kerja saya, namanya Pak D. Dia sudah bekerja lebih dari dua puluh tahun di kantor, usianya telah melewati paruh baya.
Sebelum bekerja sebagai pengadministrasi umum, Pak D dulu hanyalah seorang sopir pimpinan. Keberuntungan nasib telah membawa pak D diangkat menjadi seorang abdi negara. Pak D adalah sosok orang yang bersahaja dan religius. Jika ada seremoni di kantor, Pak D adalah orang yang pertama kali ditunjuk sebagai pembaca doa.
Pak D adalah pegawai yang rajin. Walaupun hanya sebagai pegawai biasa, yang mungkin pendapatan bulanannya sedikit lebih banyak dari UMR Jakarta, Pak D selalu hadir tepat waktu di kantor di bilangan Cikini, Jakarta Pusat. Setiap pagi, dia datang pukul 7.30, tidak pernah terlambat. Jikapun telat, hal ini biasanya disebabkan adanya gangguan perjalanan kereta.
Padahal rumahnya jauh, letaknya di Jasinga, Kabupaten Bogor. Jaraknya 79 km, sangat jauh dari kantor. Dia harus berangkat dari tempat tinggalnya setelah shubuh, naik angkot menuju stasiun Parung Panjang atau terkadang diantar naik motor, lalu naik kereta rel listrik untuk sampai di stasiun Cikini. Dia melakukannya setiap hari tanpa pernah merasa bosan.
"Apa yang membuat bapak konsisten selalu datang pagi hari?" tanya saya kala itu.
"Kalo pergi lebih siang dari rumah, saya akan datang telat", jawabnya. Sambil menjelaskan, jalur perjalanannya akan jauh lebih sibuk dan ramai jika dia berangkat lebih siang dari rumah.
Seperti halnya ribuan pelaju di Jakarta yang berangkat lebih pagi ke tempat bekerja hanya untuk menghindari kemacetan pada jam-jam tertentu di jalanan. Pak D juga melakukan hal yang sama.
"Motivasinya apa pak?" tanya saya lagi.
"Seneng aja mas, tiap hari saya bisa ketemu temen-temen, kayak udah jadi kebiasaan aja," ungkapnya menutup obrolan kami siang itu.