Ular selanjutnya yang ku temui berwarna hijau batik, dia serupa Sanca yang sedang berjemur memanjang diatas padang rumput, dia ku belai lembut, tidak ada takut ku rasa, hari berikutnya tersiar khabar istriku mengandung anak kedua.
Bala bantuan telah datang, Udin dan Watno tetangga sebelah datang menenteng tongkat bambu setelah istriku mendatanginya meminta pertolongan. Mereka bergegas masuk kamar menemuiku sendiri diatas kasur.
“Sebelah mana pak ularnya?” tanya Udin.
“Itu dibawah bantal”, jawabku pelan.
“Pak Watno sebelah sana pak, biar kita kepung,” pinta Udin kepada Pak Watno untuk berdiri di sudut kamar.
Aku mulai memberanikan diri turun dari kasur, tanpa sedetik pun ku lepas penggaris panjang yang sejak tadi ku pegang.
Udin mulai menyibak bantal, jantungku mulai berdetak kencang, dag-dig-dug. Keringatku pun mulai keluar membasahi kening. Ular itu kaget, Ular itu adalah Ular kobra sebesar jari kaki orang dewasa, dia memasang kuda-kuda untuk minggat, kepala ditekuk seperti akan mematuk. Tongkat yang dibawa Udin dia abaikan seolah-olah dia tahu untuk apa tongkat itu digunakan.
Dia menggeliat pergi ke balik lemari, secepat kilat.
“Bunuh saja Pak!” ujarku tegas.
Udin lalu mengintip ke balik lemari sambil mengorek-ngorek lantai menggapai badan ular. Watno yang dari tadi hanya berdiri mulai berjaga di ujung lemari, dia berusaha mencegat. Ular itu keluar dari balik lemari, tongkat Watno yang dia pegang untuk memukul tak mengenainya, ular itu berlari menghindar, mendesis kencang, marah, seakan tak mau diganggu.
Sesaat tongkat Watno tak mengenainya, dia melompat mendatangiku, secepat kilat hampir tak bisa kulihat, tiba-tiba dia sudah dekat dengan kakiku, aku menjerit, dia menggigit. Gigi taringnya tajam menghujam kulit seperti jarum suntik.