Ku namai kereta pagi karena kereta malam sudah melekat dengan judul sebuah lagu dangdut. Disebut kereta malam karena perjalanannya membuat penumpangnya bermalam di jalan. Jarak perjalanannya jauh, waktu tempuhnya pun lama. Membelah malam, dari satu kota ke kota lain, singgah dari stasiun ke stasiun, meniti jalur besi dalam gelap, membelah senyap dengan pekikan klakson di lokomotif.
“Troeeeeet … troeeeeeet …troeeeeet,” begitulah bunyi yang selalu kudengar malam-malam didekat rumah, bunyinya sangat nyaring di kejauhan malam. Mereka menyebutnya semboyan.
Berbeda dengan kereta malam, kereta ini ku sebut kereta pagi karena setiap hari berangkat jam lima pagi. Kereta ini selalu membawaku pergi setiap pagi, setiap hari untuk mencari sesuap nasi. Berangkat dari kota di luar sekitar ibukota menuju pusat kota Jakarta, bolak balik setiap hari.
Barangkali itulah mengapa kami disebut commuter, pekerja yang berangkat demi harta pulang demi cinta, berangkat setiap pagi, pulang sore hari, berangkat dari tempat yang jauh dari tempat kerja lalu kembali ke tempat semula. Orang-orang menyebutnya penglaju.
Dahulu kami menyebut kereta pagi ini dengan sebutan Kereta Rel Listrik atau KRL karena sumber tenaganya dari kabel - kabel listrik yang menempel di atas kereta, entah sejak kapan menjadi Commuter Line atau CL, mungkin sejak operator kereta ini berganti atau entah menyematkan nama perusahaannya menjadi Commuter.
Seperti pagi ini, kereta ini membawaku pergi menuju tempat meraih mimpi, di lantai - lantai gedung tinggi, setiap hari berjuang tanpa henti dan berujung pada tuntutan mencari gaji.
Hari ini aku harus berangkat pagi, karena ada rapat penting pagi ini. Aku diminta mendadak menyiapkan materi, namun bahan-bahannya tertinggal di komputer kantor. Bosku akan kecewa jika materinya tidak siap segera.
Berbeda dengan pagi lainnya, awan pagi ini mendung menutupi matahari, redup, hujan lebat akan menemani.
Seperti hari-hari kemarin, aku duduk di bangku yang berjejer menempel pada dinding kereta, bangku yang berselimutkan serupa kain beludru berwarna hijau muda atau merah merona, rasanya empuk diduduki, layaknya sofa nyaman ku rasa.
Kursi ini berkapasitas tujuh orang penumpang, kapasitasnya menjadi tiga orang ketika Covid merajalela, kemudian berubah menjadi lima ketika Covid mereda. Tanda larangan tempat duduk itupun kini sudah tak ada.
Ada rak - rak besi di atas kepala, mendekat ke langit-langit kereta, berjejer beberapa tas penumpang atau plastik keresek hitam pembungkus yang kelihatannya berat saat dibawa. Pada langit-langitnya tergantung plang besi mengkilap abu-abu menyala atau laksana baja stainless steel yang di poles "kinclong" bagaikan kaca.