Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia. Begitulah kurang lebih yang pernah diucapkan oleh Presiden Soekarno. Sang proklamator itu percaya hanya dengan 10 orang muda dapat membuat dunia tertuju pada Indonesia. Namun pertanyaannya 10 pemuda seperti apakah yang layak menjadi kandidat pilihan Soekarno?
Saya tidak mengerti pilihan 10 pemuda yang diidamkan oleh Soekarno. Tapi baiklah saya mencoba mencari kandidat 10 pemuda itu dari kaca mata saya pribadi. Saya lahir dari keluarga serba kekurangan. Namun, saya memiliki mimpi menjadi orang sukses. Saya tidak bisa mejabarkan sukses itu seperti apa. Namun saya selalu berpikir, sebagai anak seorang butuh tani, sukses itu ketika bisa menyelesaikan pendidikan di jenjang tertinggi yang saya bisa dan mampu. Mampu dalam arti jika biayanya ada atau jika ada orang yang mau membantu membiayai. Pendidikan adalah jalan bagi orang miskin macam saya untuk dapat mengubah kehidupan. Oleh sebab itu, saya berusaha keras menyelesaikan pendidikan sampai pada tingkat yang saya impikan.
Siang itu, saya seperti bernostalgia dengan kehidupan yang telah berlalu. saya mengunjungi satu tempat cukur rambut. Bukan barbershop mewah. Tempat cukur rambut sederhana. Ada stiker menempel di kaca tempat itu dan tertulis potong rambut Madura.
Masuk tempat itu semakin memperkuat kesan sederhananya. Mulai dari kursi tunggu Chitose yang sudah terkoyak bagian sponnya, lantai semen, kipas angin kecil menempel di dinding tembok, dan lampu yang baru dinyalakan hanya ketika ada pelanggan datang supaya makin mempertajam pandangan sang tukang cukur. Dan terdapat tulisan yang menjadi alasan saya tertarik singgah yaitu harga jasa potong rambut hanya Rp15.000,00. Murah bukan? Ketika di tempat-tempat lain sudah mencapai angka Rp25.000,00, Rp50.000,00 atau bahkan ratusan ribu (di barbershop ternama), di tempat itu masih mempertahankan harga ekonomis.
Seorang laki-laki yang masih muda kemudian menata peralatannya siap merapikan rambut saya. Ia baru berumur 19 tahun. Usia-usia anak sekolah atau kuliah. Terbersit rasa penasaran kenapa ia tidak melanjutkan sekolah. Meski hendak menanyakan, tapi segera saya urungkan niat itu. Setiap orang punya cerita dan jalan hidup masing-masing. Saya tidak ingin mengusik hal itu.
Pandangan saya tertuju pada hal unik di dalam tempat itu. Ada 1 dipan (bed/tempat tidur) dengan kasur tipis tak berseprei di dalam tempat cukur itu. Tentu pemandangan yang tidak akan dijumpai di barbershop lainnya. Hal itu membuat saya bertanya-tanya, kenapa ada dipan di situ?
Rasa penasaran saya akhirnya terjawab ketika tukang rambut tersebut bercerita. Dipan itu untuknya tidur jika malam saat sudah tutup. Ia memilih tinggal di situ dengan kondisi ala kadarnya demi menghemat ongkos hidup. Ia juga tidak selalu pulang ke tempat asalnya, Madura, demi penghematan. Supaya ketika pulang, ia dapat membawa hasil kerja maksimal. Tak heran jika di bawah kolong dipan terdapat buntelan kresek merah yang samar-samar terlihat berisi baju-baju. Mungkin itu baju-baju ganti pemuda itu, saya hanya menerka-nerka.
Ia bertekad menjadi kuat untuk memperbaiki hidup. Lebih baik keluar dari kampung, daripada tidak mengerjakan apa-apa. Dengan bekal pas-pasan, ia membangun usaha sesuai kemampuan yang dimiliki. Ia melangkah memperjuangkan masa depannya.
Barangkali pemuda inilah kandidat pilhan saya. Tentu terlalu muluk-muluk jika pemuda ini dapat mengguncangkan dunia. Namun, pemuda dengan tekad kuat seperti sang tukang cukur ini menjadi daya dorong perekonomian Indonesia. Pemuda yang memiliki mimpi nyata mewujudkan kemandirian ekonomi bagi hidupnya. Tidak tergantung dan menggantungkan diri pada perekonomian orang tua. Bisa mandiri dan bertanggung jawab atas hidupnya. Pemuda yang tidak terjerembab pada jalur senang-senang tanpa tujuan yang kerap melanda generasi muda.
Setiap manusia punya jalan hidup masing-masing. Tolak ukur kesuksesan tidak bisa disamakan atau dibanding-bandingkan. Media sosial kerap menjadi tolak ukur yang menyesatkan. Saya kembali bernostalgia dengan hidup saya seiring kisah perjumpaan dengan sang pemuda dari Madura itu. Mendengar kisahnya, tidak jauh berbeda dengan hidup saya. Jika pemuda itu bertahan untuk menggapai mimpi, begitulah ia mencambuk hidup saya untuk lebih bisa menikmati hidup ini dengan membawa mimpi-mimpi yang masih harus terus diperjuangkan.