Mohon tunggu...
surya ramadhana
surya ramadhana Mohon Tunggu... Administrasi - PNS yang saat ini bekerja di BPS Kabupaten Buru Selatan, Maluku

Badan Pusat Statistik

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Peran "e-Money" dalam Mempermudah Pencacahan Survei Sosial Ekonomi Nasional

20 Oktober 2017   09:02 Diperbarui: 20 Oktober 2017   09:32 1802
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Akhir-akhir ada pemberitaan tentang seorang pengendara mobil yang berdebat dengan petugas toll karena sang sopir tidak mau menggunakan e-toll dalam transaksinya. Dia mengelak kalau mata uang negara ini adalah rupiah, jadi selama ada di Indonesia pengguan uang rupiah seharusnya masih berlaku untuk transaksi apapun. Sebenarnya tanggal kejadian perkara memang belum tanggal ditetapkannya e-toll sebagai sarana pebayaran melainkan masih dalam sosialisasi.

Beragam komentar warganet membanjiri video yang viral tersebut baik di facebook maupun di media sosial lainnya. Ada yang setuju dengan argumen sopir mobil tersebut, ada juga yang membela petugas penjaga tol. Saya pribadi memihak petugas tol. Walaupun masih tahap sosialisasi penggunaan e-toll seharusnya pengendara mobil tersebut bisa menghargainya bukan malah menguji kesabaran petugas tol. Untung saja petugas tol tersebut bisa bersabar dan malah balik tersenyum di akhir video. Jika pun pengendara mobil ingin melakukan transaksi dengan uang seharusnya dia masuk di gerbang tol yang bukan gerbang e-toll.

Menilik lebih jauh, apakah e-toll/e-money bukan rupiah hingga pengendara mobil tersebut kekeuh dengan pendiriannya? Zaman dahulu transkasi jual beli dilakukan dengan barter barang yang sesuai, lambat laun menggunakan koin logam mulia, setelah itu karena dirasa koin tidak efisien dibawa ke mana-mana maka munculnya uang kertas. Uang kertas ini diterbitkan dengan jaminan emas kepada penerbit uang dalam hal ini pihak bank. Sejatinya uang kertas tersbut hanyalah kertas yang bahkan nilainya tidak lebih berharga daripada emas yang dijaminkan. Sederhananya uang 100 ribu yang kita pegang sekarang ini sebenarnya biaya pembuatan kertas tersebut menjadi uang mungkin hanya 20 ribu. Lalu zaman berubah lagi, di bank kita bisa melihat saldo rekening kita tanpa kita harus melihat uang 'asli' kita. Semuanya hanya deretan angka di layar monitor. Era digital datang lebih canggih, transkasi antar rekening di mesin atm dianggap usang. Hadirlah media pembayaran uang elektronik yang lebih fleksible dibawa ke mana-mana, toh hanya berbekal kartu saja kita bisa melakukan transaksi.

Teknologi makin berkembang tapi tidak dengan manusianya. Masih ada beberapa orang yang menganggap pembayaran dengan uang elektronik adalah suatu hal yang absurd.Ada juga yang menganggap uang elektronik tidak aman karena uang yang dimiliki bisa saja dicuri sewaktu-waktu tanpa diketahui. Pembayaran dengan uang elektronik masih belum banyak dilakukan penduduk Indonesia. Maka dari itu pemerintah sebagai pihak yang mempunyai kekuasaan melakukan intervensi transaksi ekonomi. Melihat ke beberapa tahun lalu pembayaran tiket transjakarta masih menggunakan cara konvensional, barulah di akhir 2015 pemerintah mulai 'memaksakan' pengguna transjakarta untuk menggunakan uang elektonik di beberapa halte sampai akhirnya sekarang semua halte menggunakan pembayaran elektronik.

Sama seperti kasus video viral tersebut, awalnya penggunakan uang elektronik di transjakarta mendapat banyak pengguna layanan. Mereka menganggap uang elektronik tidak simple. Uang elektronik tidak mudah dipahami oleh pengguna transajakarta yang berusia lanjut, dsb. Tapi bisa dilihat sekaran pengguna transkjakarta mulai terbiasa menggunakan uang elektronik ditambah dengan kartu tersebut pengguna bisa transjakarta juga bisa membayar untuk kereta KRL. Pengisian saldo pun mudah, bisa di halte ataupun di minimarket-minimarket.

Saya membayangkan beberapa tahun kedepan uang elektronik akan menyentuh di banyak tranksaki ekonomi. Masyarakt desa pun sudah melek terhadap uang elektronik. Akan ada masanya penduduk desa yang belanja di pasar tradisional menggunakan uang elektronik sebagai media pembayaran. Uang kertas akan langka, karena sudah dianggap usang. Dengan uang elektronik maka pengeluaran individu seseorang bisa terlihat secara nyata. 

Saya sebegai pegawai BPS memandang uang elektronik akan memudahkan saat melakukan pencacah survei, utamanya survei sosial ekonomi nasional yang ada modul pengeluaran individunya. Selama ini pengisian kuesioner pengeluaran individu seminggu yang lalu diisi dengan perkiraan responden. Petugas pencacahan pun tidak bisa mengcross-check jawaban apakah benar responden seminggu yang lalu benar-benar mengonsumsi barang tersebut? Hal ini bukan kesalah responden toh mana ada yang ingat betul seminggu yang lalu mengonsumsi apa dan berapa banyak, apalagi jika menghadapi responden yang sudah berusia lanjut. Alhasil data survei selama ini adalah data perkiraan responden yang nantinya data tersebut akan digunakan sebagai estimasi konsumsi secara nasional. Walaupun secara kaidah ilmiah statistik hal tersebut diperbolehkan karena adanya margin of errornamun alangkah baik jika data survei adalah data yang real bukan data estimasi responden.

Masalah tersebut akan bisa terselesaikan jika semua transaksi ekonomi di Indonesia menggunkan uang elektronik. Bayangkan saat pencacahan petugas bertanya "Pak, seminggu kemarin bapak mengonsumsi apa aja ya pak?" Responden tinggal menjawab,"Bentar mas, saya ambilkan kartu uang elektronik saya, nanti mas tingga check aja seminggu lalu saya beli apa aja." Maka tradisi pencacahan yang memakan waktu 2-3 jam di rumah responden akan selesai dalam waktu 30 menit saja dengan data yang lebih berkualitas.

Mungkin, bayangan pencacahan survei seperti yang saya utarakan di atas masih absurd untuk kita di zaman sekarang sekarang. Tapi boleh jadi di masa depan pencacahan survei sosial ekonomi nasional di masa depan akan seperti itu. Beribu-ribu tahun yang lalu suatu pekerjaan harus dikerjakan secara manual oleh manusia, kemudia datanglah teknologi alat sederhana untuk membantu pekerjaan manusia, sampai pada saat ini pekerjaan bisa dilakukan oleh komputer berberkal coding dari manusia. Zaman semakin efisien, teknologi datang bukan untuk mengahpus peran manusia. Dia datang untuk menghemat waktu dan tenaga sehingga manusia bisa melakukan banyak pekerjaan lain sekaligus. Teknologi datang untuk memudahkan pekerjaan manusia sehingga waktu berkerja bisa dialihkan untuk waktu keluarga. Bagi saya teknologi menjadikan manusia menjadi manusia sebenarnya bukan sebagai ancaman.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun