Mohon tunggu...
Anton Surya
Anton Surya Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengelana

Pengelana

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Effendi Buhing, Nasib Masyarakat Adat di Tengah Gempuran Kapitalis

7 September 2020   16:39 Diperbarui: 7 September 2020   18:26 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Effendi Buhing (Kompas.com)

Baru-baru ini Kita mendengar penangkapan tokoh Adat bernama Effendi Buhing. Penangkapan ini langsung menjadi viral di dunia maya dan juga menjadi pembicaraan hangat di Pulau Kalimantan. Aktifis-aktifis non partisan yang selama diam mendadak bersuara di dunia maya maupun di dalam ruang diskusi publik seperti warung kopi.

Dayak adalah sebuah suku dengan sub suku yang mungkin terbanyak di Indonesia kurang lebih 400an. Orang Dayak meskipun beragam tapi memiliki satu kemiripan adat-istiadat dan Budaya. 

Selain tingggal di sebuah pulau yang sama, Orang Dayak memiliki adat yang mirip dengan berbagai modifikasi. Adat Mengayau atau Head hunters (pencarian kepala) pada masa lampau dimiliki hampir semua sub suku Dayak. 

Tradisi ini berhenti saat Pertemuan Tumbang Anoi 1894, selain itu ritual Shamanisne (perdukunan) dalam semua sisi kehidupan memiliki kemiripan. Belum ladang tradisi berladang yang dimiliki semua sub suku yang berada di 3 negara (Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam). 

Satu hal yang menjadi catatan kita adalah orang Dayak adalah sangat menjunjung tinggi adat-istiadat. Pada masa lampau orang Dayak hidup di tengah hutan lebat yang mana tidak terjangkau oleh tangan aparat hukum. 

Semua masalah sosial di selesaikan dengan hukum adat. Sehingga mereka yakin hukum adat bisa membuat harmonis hubungan sosial maupun hubungan manusia dengan alam. Peranan pengurus adat sangat besar dalam kehidupan masyarakat Dayak. 

Hutan adalah tempat hidup orang Dayak yang harus dihargai dan dijaga untuk tetap lestari. Setiap sub suku Dayak dipastikan memiliki hutan Adat. Beragam nama yang disematkan untuk wilayah hutan adat, ada yang disebuat tembawang, hutan tua, dan lain-lain. 

Dayak sangat menghargai hutan adat dimana manusia dilarang untuk menebang pohon atau membuka lahan hutan menjadi lahan budidaya. Manusia hanya boleh mengekploitasinya hanya untuk berburu dan mengambil hasil hutan seperti mengambil madu lebah atau damar, tanpa perlu membunuh pohonnya. 

Pada masa lampau pepohonan besar menjadi tempat orang memberikan persembahan untuk menghormati hantu yang menjaga. Mungkin sebagian orang menganggap hal itu sebagai musyrik atau sirik, berhala bahkan primitif, tetapi jika kita telaah lebih dalam ini adalah bentuk kearifan lokal untuk menghargai pohon sebagai sumber kehidupan yang telah memberi manfaat besar bagi manusia.

Datangnya  investor besar perkebunan, terutama sawit merubah tatanan hidup orang Dayak sebagai "orang hutan." Hutan yang mana menjadi tempat hidup manusia diserbu oleh kerakusan perusahaan sawit yang haus akan lahan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun