Mohon tunggu...
Suryadin Laoddang
Suryadin Laoddang Mohon Tunggu... Wiraswasta - Konsultan Digital Marketing - Pemerhati Budaya Bugis

Lahir tahun 79 di Sulsel. Kini menetap di Yogyakarta sejak 97. Latar belakang pendidikan ekonomi, tetapi lebih tertarik ke masalah Budaya. Khususnya sastra Bugis berupa GALIGO, ELONG-KELONG, DARARI, AKKE ADA, dll.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Si Cerewet Marah pada Gendang Bugis Berbalut Melati Jawa

3 Februari 2012   06:45 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:07 436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Si Cerewet Marah pada Gendang Bugis berbalut Melati Jawa Catatan tersisa dari Pembukaan Munas IKAMI di Yogyakarta. Oleh : Suryadin Laoddang “Kak, apa-apaan itu! Kok gendang kita dibaluti ronce melati seperti” ini penistaan tradisi kita kak! Kakak tidak boleh tinggal diam!” Ceplas-ceplos, tanpa basa-basi. Inilah gaya si cerewet, tak peduli apakah itu di tempat ramai atau tempat sepi, pokoknya jika ada yang tidak berkenan di hatinya ia pasti akan marah sejadi-jadinya. Apalagi jika sasaran amarahnya itu adalah saya, sosok yang dianggap kakaknya, sosok yang selalu dibencinya tapi juga selalu dikangeninya. Setidaknya itu pengakuannya, saat kami bersua di parkiran Asrama Haji Yogyakarta, tempat dimana ajang Musyawarah Nasional ke-XVI Ikatan Kerukukan Mahasiswa Pelajar Indonesia Sulawesi Selatan (MUNAS IKAMI). Munas sendiri di helat sejak 26 hingga 30 Januari 2012. Molor satu hari dari jadwal sesungguhnya. Si Cerewet, gadis unik yang kukenal delapan tahun lalu ini memang sangat fanatik dengan budayanya, budaya Bugis-Makassar. Maklum ia terlahir dari sosok ayah yang berdarah Makassar dan Ibu yang berdarah Bugis. Meski hanya persoalan remeh temeh tapi itu menyentil ego dan cintanya pada budaya Bugis-Makassar maka siap-siap dijadikan sasaran semprotannya. Pun kali ini, dengan amarahanya kali ini. Bertolak dari kreatifitas panitia Munas yang membalut gendang Bugis-Makassar dengan kain sutera Sulawesi dan beberapa untaian ronce bunga melati, bunga yang selama ini identik dengan adat Jawa dan Sunda. Wajar jika ia marah, ia tak terima jika simbol adatnya ditempeli simbol adat dari suku bangsa lain. Menurut Dina Fariza Tryani Syarif, psikolog lulusan Universtitas Ahmad Dahlan Yogyakarta,  orang bisa marah secara tiba-tiba karena ia tidak tahu duduk persoalan dari masalah yang dihadapi. Ini pula yang dialami oleh si Cerewet, ia marah karena sesungguhnya ia tidak tahu jika bunga melati yang dalam bahasa Bugis disebut Bunga Pute’ juga sangat lekat adat Bugis-Makassar. Mungkin si cerewet tidak pernah mengamati jika kalung adat suku Makassar juga menggunakan ornamen Bunga Melati. Sementara suku Bugis menggunakan ornamen bunga Mawar, bunga rosi dalam bahasa Bugis. Setelah mendengar penjelasan saya, mimik amarah si cerewet perlahan pudar berganti mimik bersahabat, mimik yang sebenarnya senada dengan raut wajahnya yang manis dan segar. Tapi, itu hanya sekejap. Hanya sepeminungan seteguk air, si cerewet kembali meninggi suaranya “tapi itu juga kak penarinya, kenapa sih samburan benno bere’nya diganti dengan kembang makam”. Kali ini saya tidak bisa berkutik, amarah si cerewet kali ini saya mahfumi. Namun apapun alasannya, saya tidak ingin menegur apalagi menyalahkan enam penari tari padduppa tersebut.  Bagi saya, mereka mau menari saja sudah sangat berarti bagi pelestarian  budaya leluhur kita, ditengah deraan dan cercaan yang dialamatkan pada mereka yang lebih akrab dengan budaya Pop Culture. Inisiatif memakai kembang mawar, melati dan kamboja dalam samburan pada gerakan mangampo pada tari tersebut boleh jadi merupakan bentuk penghargaan mereka terhadap budaya tempat mereka berpijak saat ini, juga simbol akultrasi budaya Jawa dan Bugis-Makassar. Bukankah khasanah budaya Bugis-Makassar mengajarkan kegasi sanree lopiE, kositu to taro sengereng, dimana kaki berpijak disanalah kita berakulturasi. Terlebih pemerintah kota Yogyakarta lewat mantan walikotanya Herry Zudianto telah menegaskan bahwa para perantau dan pelajar-mahasiswa asal Sulawesi Selatan juga adalah warga Yogyakarta. Warga Yogyakarta asal Sulawesi-Selatan, bukan warga Sulawesi-Selatan di Yogyakarta. “Ai, pokokna tidak terimaka’ kak. Inisiatif sih boleh, tapi jangan lebah dari sisi estetika dan falsafah”. Keluhan si cerewet ini juga diamini oleh Ocha La Parembai Daeng Mappagiling, pelaku ritual Angngaru sekaligu pemain musik dalam pementasan pembukaan acara Munas tersebut. Bagi Ocha, sekali klasik harus 100% klasik. Sekali kontenporer, ya harus totalitas juga, jangan dicampur aduk. Huft, dua komentar dari dua adikku yang saya banggai dan cintai ini membuatku terhenyak, diam seribu bahasa. Hingga si cerewet memecah kebisuan “pokokna kak besok-besok kalo adalagi pelanggaran seperti ini, kakak yang kupalu-palui” tegasnya sambil berlalu menuju parkiran. Ups, matimija. ================================== Kantor Imigrasi Yogyakarta, 3 Februari 2012. 09.08 WIB Catatan :

  • Mangampo = Gerakan menaburkan kembang beras atau beras kuning dalam tari Paddupa
  • Benno Bere’ = Kembang beras, mirip kembang Jagung
  • Angngaru = Ritual pernyataan janji suci dan setia seorang prajurit Bugis
  • Matimija = Aduh mati aku

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun