Mohon tunggu...
Suryadi
Suryadi Mohon Tunggu... -

Saya menulis dengan sikap rendah hati. Saya hanya berharap dari apa yang saya tulis, orang lain akan beroleh manfaat, walau mungkin hanya secuil. Dan saya berharap dari manfaat yang diperoleh orang lain dari tulisan saya itu, Tuhan Yang Maha Kuasa akan berkenan membalasnya dengan menunjukkan jalan kebenaran dalam hidup saya. (Personal page: http://www.universiteitleiden.nl/en/staffmembers/surya-suryadi).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Refleksi #7: Daena (Hikayat Sedih Gadis Koto Gadang)

1 Oktober 2016   09:11 Diperbarui: 2 Oktober 2016   03:07 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.indonesiana.seruu.com

Dia adalah seorang gadis Koto Gadang. Daena namanya, yang terpancur ke dunia di awal abad 20, di ‘zaman pantjaroba’. Ketika itu Nagari Koto Gadang sudah menjadi sebuah kampung yang maju akibat keterbukaan penduduknya dalam menerima pendidikan sekuler ala Eropa.

St. Perang Boestami dalam Pandji Poestaka no. 32, Th I, 9 Agustus 1912:1-2 menulis (ejaan disesuaikan): “Kampung yang mula-mula maju di Sumatera Barat ialah kampung Koto Gadang. Sebab itu dimana saja di Kepulauan Hindia ini adalah tersua orang Koto Gadang atau [ke]turunan Koto Gadang [yang] memegang rupa-rupa pekerjaan Gubernemen dan pekerjaan partikulir. Anak Koto Gadanglah yang sebanyak-banyaknya menjadi dokter, di antaranya ada yang bergelar Dr.”

Tapi ada yang agak ganjil di nagari yang paling maju tidak hanya di alam Minangkabau tapi juga di Sumatera itu: laki-laki Koto Gadang boleh menikah dengan perempuan dari luar nagarinya, tetapi tidak untuk kaum perempuannya.

Kaum wanita Koto Gadang hanya boleh menikah dengan lelaki Koto Gadang saja. Aturan ganjil itu ditetapkan oleh kerapatan adat nagari di lereng Ngarai Sianok itu. Para tetua adat – datuk-datuk ber-saluak timbo bertongkat ruyung berkilat bergagang suasa dan emas – mengawasi peraturan adat yang ganjil itu dengan ketat. Jika ada wanita Koto Gadang yang melanggarnya, maka dia akan mengalami nasib tragis: dibuang sepanjang adat, tidak diakui lagi sebagai orang Koto Gadang, dan diusir dari tanah tepian tempat mandinya. Artinya, dia akan berpisah selamanya dengan sanak famili dan keluarga besar matrilinealnya.

Para lelaki dari nagari-nagari lain melihat gadis-gadis Koto Gadang yang cantik-cantik itu bak beruk kehilangan jambu perawas saja....

Wanita Koto Gadang tentu takut membayangkan hidup terlunta-lunta jika melanggar aturan adat yang ketat itu. Tak ada mamak yang akan mampu membela, juga densanak lain dan andan pasemandan. Bahkan M.T.K.A.A.M (Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau) pun tak kuasa mencegah aturan adat yang berlaku di Koto Gadang itu, sebab ‘nagari di Minangkabau perpagar undang, kampung berpagar buat, tiap ‘lesung’ berayam gedang, salah tempuh boleh dihambat.’

Tetapi Daena…telah mengorbankan dirinya melawan adat yang diadatkan yang tiada bersalang tenggang itu… karena gadis terpelajar itu menaruh cinta yang tiada terlerai dengan seorang pemuda dari tanah seberang.

Daena adalah seorang postassistente di Medan. Sebagaimana banyak kaum terpelajar lainnya dari Minangkabau di awal abad 20, Daena merantau ke Medan selepas menamatkan sekolah sekuler di kampungnya. Sangat mungkin dia telah masuk Kweekschool Fort de Kock, sebagaimana banyak anak-anak Koto Gadang di zamannya. Dan, bagi pemuda-pemudi Koto Gadang keluaran sekolah sekuler, Bahasa Belanda sudah cas-cis-cus keluar dari mulut mereka.

Di Medan, kota yang makin marak oleh perputaran uang dari kebun-kebun tembakau dan karet di Deli dan sekitarnya, Daena tertumpah cinta kepada teman sekantornya, seorang bujang asal Jawa. Pomo, demikian nama pemuda itu, menjabat sebagai assistent post di kantor pos tempat Daena bekerja. Maka, dapatlah dibayangkan: karena sering bertemu, cinta kemudian mekar bersemi, yang akhirnya membakar dua hati sejoli itu.

Daena, gadis Koto Gadang itu, sudah tahu konsekuensi berat yang akan dihadapinya bila berani menikah dengan Pomo. Para perantau Koto Gadang, dan perantau Minangkabau di Medan pada umumnya, menasehati Daena agar mencabut akar cinta Pomo yang sudah tertanam dalam di lubuk hatinya. Tapi Daena tak kuasa....

Daena sudah tak peduli….., karena mungkin dia tahu bahwa ‘Layang-layang menyambar buih / Tampak di Pulau Angsa Dua / Kasih sayang dicari boleh / Yang ketuju jarang bersua.’

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun