Mohon tunggu...
Surya Dewandari
Surya Dewandari Mohon Tunggu... -

Katakan dengan tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Penjual Bubur Keliling

30 Mei 2012   23:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:35 905
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seorang perempuan penjual bubur yang setiap hari lewat di depan rumah sambil meneriakkan dagangannya sungguh menarik simpatiku untuk mengetahui lebih jauh tentang sosoknya. Aku terperangah ketika mendengar cerita bahwa sosok perempuan sederhana itu ternyata punya anak yang kuliah di salah satu universitas negri di Jawa Tengah. Hanya dengan modal bubur yang di gendong keliling kampung setiap harinya dia bisa menguliahkan anaknya? Subhanallah! Aku menemuinya sore kemarin ketika dia berhenti di depan rumah. Ada beberapa orang mengantri, merubung di sekitarnya untuk mendapatkan bubur hangat yang boleh dibeli dengan harga seribu rupiah. Sebagian besar pembelinya memang anak-anak. Tapi jangan salah. Orang tua, anak remaja, para lansia juga kadang begitu merindukan bubur yang pembuatannya membutuhkan tenaga maupun waktu yang banyak itu. Aku juga turut mengantri sambil membawa dua mangkok beling. Satu untuk diriku sendiri, satu lagi untuk suami. Suami biasanya pesan bubur sum-sum, bubur candil dan bubur ketan hitam yang dicampuri santan kental dan saus gula merah. Cukup membayar dua ribu saja untuk satu mangkok. Murah, kan?

1338418727849139041
1338418727849139041
Namanya yu Harni. Dia sudah menjual bubur selama kurang lebih 35 tahun. Berkeliling kampung setiap pagi dan sore. Kalau pagi dia menjual bubur nasi dan sayur tahu yang dicampur labu siam dan ditambah lagi dengan kerongkongan serta ceker ayam. Sedap juga, lho! Entah berapa kilometer jarak yang ditempuhnya setiap hari selama tiga puluh lima tahun itu sambil menggendong tenggok, tempat menyusun panci-panci berisi macam-macam bubur itu di punggungnya. "Dulu  saya jualan di Pualam. Terus pindah ke sini. Yah, demi anak-anak, Bu, saya jualan bubur kayak gini," ceritanya dengan logat bahasa Jawa yang kental. "Anaknya berapa, Yu?" tanyaku. "Tigo. Jaler sedoyo. Sing mbarep kalian nomer kalih kulo sekolahke ting STM, sakniki pun nyambut damel ting Astra. Lha, ingkang alit puniko kuliah. Pun setahun angsale mlebet kuliah. (Tiga. Laki-laki semua. Yang sulung dan nomor dua saya sekolahkan di STM, sekarang keduanya sudah kerja di Astra. Lha, yang kecil ini kuliah. Sudah setahun ini kuliahnya.)" "Kuliah?" Dia tersenyum tersipu, dan tak mampu menyembunyikan rasa bangganya. "Nggih. Duko ting pundi kuliahe, pokoke ting negri, ngoten sanjange. Terus mangkeh nek pun lulus dados guru. (Iya. Nggak tahu kuliahnya di mana, pokoknya negri. Terus nanti kalau sudah lulus jadi guru.)" Seperti yang diungkapkan yu Harni, dia memang hidup prihatin demi masa depan anak-anaknya. Alhamdulillah, anak-anaknya juga nurut, nggak ada yang nakal dan yang pasti juga turut prihatin. Nggak ada yang merokok, karena nggak ada uang buat beli rokok. Semua uang hanya untuk makan dan bayar uang sekolah. Jauhnya jarak yang ditempuh dan beratnya tenggok di punggung selama berkeliling sambil menjajakan bubur tidaklah ada artinya jika mengingat cerahnya masa depan anaknya yang yang sudah terbayang dipelupuk matanya. Panas terik, maupun hujan deras, tidaklah menggoyahkan langkah kakinya menyusuri jalan perkampungan. Jika panci-panci telah kosong, dia kembali melangkah agak ringan menuju sepetak rumah kontrakannya di sebuah perkampungan kecil di pinggiran Jakarta Pusat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun