Lakon 'baru kerja setelah musibah' terjadi kembali di Indonesia. Kasus gizi buruk dan Kejadian Luar Biasa (KLB) yang menimpa kabupaten Asmat di Papua baru mulai mendapat perhatian luas ketika sudah memakan korban yang kebanyakan balita dan anak anak.
Beragam jenis bantuan dari berbagai daerah ataupun instansi swasta datang berbindong bondog ke daerah timur Indonesia tsb. Lupakan soal akses yang sulit, hingga soal lamanya waktu tempuh ke sana, daerah yang sebelumnya jarang terjamah ini mulai kembali di perhatikan dalam beberapa pekan terakhir seiring mencuatnya kasus gizi buruk yang memakan korban hingga puluhan orang.
"Masyarakat Papua dekat dengan kemiskinan."
"Medan di Papua berat."
"Fasilitas di Papua minim."
"Harga barang di Papua mahal."
Satu Indonesia juga tahu hal hal yang saya sebutkan barusan, pertanyaan nya :
Mau sampai kapan Negara abai terhadap hal tersebut ?
Dibalik kekayaan alamnya yang indah dan melimpah, masyarakat papua hanya menjadi penonton, fasilitas kesehatan masih minim dan sulit diakses, sementara untuk pendidikan, kualitasnya masih jauh dari harapan, sehingga tidak jarang kita mendengar stigma bahwa orang papua bodoh. Sialnya.
"Selama bertahun-tahun mereka (anak Papua) sama sekali tak bisa menghitung 2+2 dan 3+2. Namun sekarang tidak lebih dari satu tahun, mereka akan saya siapkan untuk menjadi juara olimpiade Matematika nanti." Yohanes Surya
Ucapan Yohanes Surya membuktikan bahwa kualitas penddikan di Papua memang masih lemah, namun bukan berarti anak anak di Papua bodoh, toh ia berhasil mendidik beberapa anak Papua menjadi juara Olimpiade Sains dan Matematika.