Pantura, sebuah penamaan yang mengacu pada jalur jalan di sisi utara pesisir Jawa, merupakan bahan perbincangan yang tak ada habisnya.
Selain terkenal karena jalannya yang kerap rusak parah, Pantura yang meliputi kota-kota seperti Cirebon, Indramayu, Subang, Karawang, Losari, Palimanan dan lain sebagainya juga terkenal akan budaya serta tradisinya yang kaya dan unik.
Salah satu tradisi khas Pantura yang berkaitan dengan bulan Ramadan adalah pawai Obrog. Dulu, pawai yang dilakukan keliling kampung ini terdiri dari serombongan orang yang membawa Genjring, sebuah alat musik tabuh yang dilengkapi simbal-simbal kecil, kentongan bambu hingga beduk masjid. Tujuannya untuk membangunkan orang saat sahur.
Nah, asal nama Obrog sendiri berasal dari bunyi yang dikeluarkan peralatan musik tersebut. Orang Cirebon dan Indramayu, menyebut aktivitas pawai obrog dengan istilah Ngoprek.
Saat saya masih kecil sekitar awal tahun 1990, pawai Obrog biasanya membunyikan kentongan sambil menyanyikan lagu-lagu qasidah dan shalawat nabi. Umumnya, anggota rombongan terdiri remaja dan pria dewasa. Di sekitar tahun-tahun itu di Cirebon, hampir tidak pernah saya melihat seorang perempuan dalam rombongan Obrog.
Namun, zaman berubah. Pada pertengahan tahun 1990, booming musik tarling dangdut di seantero Pantura membuat pawai Obrog mengganti wajahnya.Â
Jika semula alat musik yang digunakan untuk Obrog hanya alat musik tabuh tradisional, rombongan ini mulai menyisipkan pemain suling dan gitar elektrik lengkap dengan sebuah pengeras suara yang diletakkan di atas gerobak.
Lagu yang dimainkan juga tidak hanya yang bernafas Islami, melainkan lagu dangdut Cirebonan. Sedangkan penyanyinya adalah seorang biduan. Saya masih ingat, saat itu tidak ada seorang pun di rumah yang masih tertidur lelap ketika Obrog-obrog melintas di depan rumah.
Suara biduan yang mendayu-dayu, diiringi raungan gitar listrik dan alunan suling sukses membuat seisi kampung terjaga. Nah, lagu-lagu yang dinyanyikan rata-rata lagu berlirik galau tentang hubungan asmara yang kandas. Saya yang saat itu masih kecil tentu tidak paham, namun kebanyakan orang dewasa yang mendengar akan mesem-mesem dan tak jarang ikut berdendang. Berikut ini salah satu petikan syairnya.
Wis percuma aja ditangisi
Bati gawe lara ning ati