PERJALANAN kali ini kembali berpijak di salah satu pelabuhan rakyat, Desa Punti, Kecamatan Soromandi, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. Pelabuhan ini memegang peran yang sangat penting bagi masyarakat setempat. Letaknya berada di teluk Bima bagian barat dengan hempasan ombaknya yang kadang melambai.
Di bibir pelabuhan, terlihat beberapa perahu sedang di labuhkan. Perahu-perahu ini merupakan alat transportasi yang memegang peran yang sangat penting untuk menghubungkan masyarakat setempat dengan masyarakat di seberang teluk. Masyarakat menggunakan transportasi laut ini dengan beragam kebutuhan. Baik untuk mengangkut manusia yang menyeberang, juga dimanfaatkan pula untuk mengangkut barang kebutuhan pokok, baik dari kota Bima maupun sebaliknya.
Begitu juga dengan para pelajar dan mahasiswa yang menimba ilmu, baik yang menuju kota Bima maupun yang akan berangkat ke Kota Makassar. Bagi mahasiswa setempat yang bersemai ilmu pengetahuan di kota Daeng, mereka menggunakan perahu terlebih dahulu menuju pelabuhan Bima sebelum berangkat menuju kota tujuan dengan kapal yang lain.
Saat saya datang, Sabtu, 1 Januari 2022 air laut di pelabuhan rakyat ini sedang dalam keadaan tenang. Air laut terlihat surut. Beberapa warga menyelam sembari menangkap ikan dengan peralatan tradisional. Beberapa di antaranya terlihat juga anak-anak. Mereka meramaikan pelabuhan dengan memanfaatkan air laut yang surut dengan menangkap berbagai jenis ikan.
Saya menyaksikan itu dengan mata takjub. Jika sebagian anak-anak perkotaan sangat khawatir jika mandi di laut. Mereka khawatir tenggelam. Ditelan ombak hingga terseret arus. Tapi beda dengan sejumlah anak-anak yang tinggal di dekat pelabuhan ini. Mereka tampak ceria. Tidak sedikit pun terlihat khawatir di wajahnya. Orang  tuanya tampak tidak menaruh rasa khawatir yang berlebihan.
Mereka melihat laut serupa halaman rumah yang setiap saat dijadikan tempat bermain. Laut menjadi sahabat yang sabang waktu memberi rasa nyaman. Di sanalah ruang yang memberi sebagian kehidupan masyarakat sekitar, terlebih anak-anak yang merawat kisah kehidupan sebagai masyarakat yang mendiami teluk. Mereka juga setiap saat menyaksikan lalu lalang kapal-kapal besar keluar masuk teluk yang tak jauh dari tempat tinggalnya. Memanggil kapal sembari melompat lalu menceburkan diri dalam hempasan air laut yang menerjang.
Saat saya mengarahkan kamera handphone, mereka berteriak girang. Salah satu mengangkat tangan ke udara, lalu hilang di kedalaman air. Mereka tampak senang. Bermain dalam air sembari menangkap ikan. Ketika anak seusianya sibuk dengan game di gawai, mereka malah menyatu dengan laut. Mereka anak darat yang sesekali menyelam di kedalaman air. Di tanjakan jalan yang menantang gunung, lalu dengan bebas melihat laut yang luas, di situ lah rumah-rumah mereka berderet.
Selain memperhatikan anak-anak di dalam air, saya juga melihat dari jarak dekat bagaimana para penumpang menaiki perahu. Mereka tinggal memilih perahu mana untuk ditumpangi. Seperti apa sistem yang berlaku pada masyarakat yang menawarkan jasa angkutan laut ini? saya tidak memiliki banyak waktu untuk mewawancarai beberapa di antara pemilik perahu ini.
Tapi berdasarkan informasi dari salah seorang kawan, bahwa posisi perahu yang ditambatkan disesuaikan dengan perahu mana yang duluan dan terakhir melakukan pelayaran. Namun demikian, para penumpang memiliki kebebasan memilih perahu mana yang ingin ditumpangi. Jika demikian,  maka perahu yang dipilih  penumpang, tapi belum saatnya untuk berangkat berlayar, maka si pemilik perahu akan memberikan beberapa nominal uang kepada perahu yang semestinya duluan berangkat berlayar namun tidak menjadi pilihan para penumpang.
Mendengar itu, saya menaruh kekaguman. Karena sistem seperti itu sudah berlaku sejak lama, ungkap kawan itu, namun tidak tertulis. Semua pemilik perahu sangat menjunjung tinggi sistem yang sejak lama di rawat ini. Saya mula-mula tertarik ingin melakukan riset yang mendalam tentang aktivitas masyarakat yang menggunakan jasa perahu di teluk Bima ini. Hanya saja karena saya datang bukan untuk melakukan riset, jadilah kedatangan kali ini hanya untuk melihat langsung bagaimana hiruk pikuk di pelabuhan rakyat ini. Istilah pelabuhan rakyat yang saya  sematkan pada pelabuhan ini karena memang dimanfaatkan oleh masyarakat lokal setempat.
Kurang dari satu jam saya berada di pelabuhan ini. Sesaat sebelum kembali untuk melanjutkan perjalanan pulang, saya melihat seorang perempuan melintas di samping tempat dimana saya berdiri. Tampaknya dia sedang menuju sebuah perahu. Dia akan menyeberang di daratan yang jauh di sana. Â Melihat birunya laut. Mengulurkan tangan disamping perahu, lalu menyentuh buih lautan yang memutih. Jilbabnya terhempas angin. Melambai-lambai semesta. Â Di tatapnya pelabuhan Bima dari kejauhan. Kapal tongkang pengangkut barang berjejer di pelabuhan. Keramaian pelabuhan dilihatnya dengan tatapan biasa. Maklum, hal itu sering disaksikannya setiap kali melakukan penyeberangan.
Namun sebelum mendekati sebuah perahu, saya menyapanya dengan halus. Dia menoleh. Saya meminta tolong padanya, kiranya bersedia mendokumentasikan kehadiran saya di pelabuhan itu. Mendengar itu senyumnya mengembang. Dia mengangguk tanda tidak keberatan. Lalu saya menyodorkan handphone. Camera di arahkan. Dua kali jebretannya, tanpaknya cukup menjadi bukti bahwa saya pernah berpijak pada pelabuhan yang tidak seberapa besar ini. Tapi sangat penting bagi kelangsungan aktivitas warga sekitar.
Tapi satu hal yang saya sesalkan pada perjalanan kali ini. Saya lupa meminta nomor handphone perempuan berjilbab itu. Sesaat setelah dia sudah menaiki perahu, saya menyadari kesalahan besar yang saya lakukan saat ini. Dari jarak yang tidak begitu jauh saat perahu yang ditumpanginya perlahan meninggalkan pelabuhan, ia sempat menoleh. Kami saling menatap. Sekejap. Tapi dia cepat berpaling. Senyum manisnya membuat bulir-bulir cinta mekar seketika. Namun sayang layu sebelum saatnya tiba.
Semakin jauh dia berlayar di tengah lautan sana, perlahan hilang harapan saya pada perempua itu. Dia telah pergi dan hanya meninggalkan senyum manisnya yang sempat meluluhkan perasaan yang berkarat ini. Dan biarkan senyum itu menjadi pengingat, bahwa saya pernah mengenal perempuan berjilbab di pelabuhan ini.
Dia menorehkan kisah pada lelaki jalanan seperti saya. Adakah dia memiliki perasaan yang sama seperti yang saya rasakan. Entahlah. Biarkan dia pergi dalam birunya lautan yang mendamai. Dan kelak dia akan menemukan tambatan hati yang benar-benar mencintainya. Seputih buih lautan yang disentuh dengan tanganya yang putih. Dari kejauhan dia hilang bersama luasnya lautan bergelombang.
Yang pasti, saya pernah mengenal perempuan berjilbab di pelabuhan ini. Apakah kamu pernah memiliki kisah yang sama? Jika ia, maka tulislah dan biarkan semesta mengetahuinya.