Mohon tunggu...
Suradin
Suradin Mohon Tunggu... Duta Besar - Penulis Dompu Selatan

Terus Menjadi Pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Berkisah tentang Desa Jala

1 November 2021   10:27 Diperbarui: 1 November 2021   10:34 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


AWAN itu mula-mula datang beriring. Lalu menggumpal. Tebal. Hitam pekat tanda hujan Oktober kembali membasahi tanah. Sudah sekira dua pekan langit tuhan menangis. Datang usai shalat zhuhur ditunaikan. Beberapa jam kemudian berhenti, lalu menyisakan kubangan di setiap jalan. Datang tidak seharian. Seolah memberi tanda bahwa musim kemarau akan berakhir. Saatnya musim penghujan mulai membasahi tanah persawahan, ladang, setelah  sekian bulan retak tak di sapa air.

Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Di pesisir pantai Desa Jala, orang-orang masih bergumul dengan laut. Hujan datang, nelayan masih sibuk dengan jaring dan kail. Perahu-perahu masih mendayu menantang ombak. Menerjang hingga batas melepas jala. Kail di lempar sejauh mungkin, sambil berharap ikan menyambar.

Tapi jika musim panca roba telah tiba, air laut kadang mengamuk. Ombak tak bisa diajak kompromi. Menghantam segala rupa yang menjadi penghalang. Air menerjang hingga wilayah pesisir. Derunnya hingga sekian kilo bisa terdengar. Para nelayan menunggu. Menanti berakhirnya amukan menuai ketenangan. Alam kadang memiliki skenarionya sendiri. Tidak bisa ditebak, hanya mungkin bisa diprediksi.

Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Tetua kampung nelayan, tak pernah mengeluh, apa lagi memilih mengalah. Mereka telah diajari semesta dan memahami watak alam. Kapan harus mendorong perahu untuk kembali berlayar. Dan kapan harus membaca semesta. Hempasan ombak, kelap-kelip bintang di langit, sapuan angin serta penanggalan adalah sedikit cara mengetahui watak alam.

Awan tebal itu datang menyapa. Itu tanda. Simbol semesta. Manusia hanya bisa menebak, bahwa hujan akan segera mengguyur. Hanya itu. Tapi tidak selamanya awan hitam akan berakhir dengan datangnya hujan. Bacaan terhadap alam telah lama dipahami masyarakat yang mendiami wilayah pesisir teluk Cempi ini. Pengetahuan terhadap alam, telah dipahami dari generasi ke generasi.

Pengetahuan itu terawat rapih. Di transfer dari waktu ke waktu. Pengalaman kala melaut mengajari banyak hal. Walau pun salah satu sumber menjelaskan bahwa, generasi milenial, banyak yang mulai tidak tertarik melanjutkan profesi orang tuanya. Serupa di masyarakat agraris, yang generasinya tampak tertarik pada pekerjaan seperti guru, bidan, tentara dan memilih berpakaian necis menjadi pegawai bank. Sementara yang kembali memilih bergumul dengan kubangan persawahan sangat sedikit sekali. Entah benar demikian, bisa sama-sama melihat kenyataan di sekitar kita.

Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Menjadi nelayan, di nilai sudah ketinggalan zaman, tidak berkelas, bahkan dianggap sudah kuno. Namun demikian, saya mengenal beberapa kawan di Desa Jala, Kecamatan Hu'u, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat yang masih setia menjadi nelayan. Sabang hari di lewatinya bergumul dengan jaring dan kail. Jika keuntungan  berpihak, dia bisa membawa pulang ikan yang banyak. Dijualnya ke pengepul, bahkan tidak jarang dijual sendiri.

Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Teluk Cempi serupa ladang yang menjadi sumber kehidupan masyarakat pesisir. Melaut bukan saja sebagai pilihan, tapi jalan hidup yang lama dirawat demi memastikan dapur tetap mengepul. Memastikan semua kebutuhan hidup bisa terpenuhi, tidak hanya rokok yang selalu dihisap, tapi generasi bisa mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi.
Beberapa kawan saya kenal yang orang tuanya berprofesi  nelayan justru mampu mengantarkannya hingga kejenjang strata dua di pasca sarjana universitas ternama di sebuah kota metropolitan. Maka tidak sepenuhnya benar, jika ada yang beranggapan bahwa masyarakat yang menggantungkan hidup pada laut tidak memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Mereka mengumpulkan lembar rupiah demi masa depan generasi.

Dari kejauhan terlihat perahu melaju pelan. Menepi. Seorang perempuan menyambut. Sejurus kemudian ikut mendorong perahu hingga ke pesisir. Perempuan itu lalu mengambil beberapa lembar pakaian. Di simpannya di sebuah batu yang tak jauh dari perahu yang ditambatkan. Perempuan itu lalu sibuk memilah dan memilih hasil tangkapan. Diangkatnya ember yang diisi berbagai jenis ikan, lalu membawanya sembari meninggalkan seorang lelaki yang sedang sibuk mengatur segala peralatan tangkapan.

Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Sepasang pasutri itu seolah menggambarkan noktah kecil kehidupan masyarakat nelayan di Desa Jala. Ketika suami berlayar menangkap ikan di ruang samudra, istrinya setia menunggu. Menanti hingga sang suami kembali dengan hasil tangkapannya. Ketika segala jenis ikan sampai di darat, maka istri lah yang mengatur, bahkan hingga menjualnya.

Sebuah potret yang  seolah sedang menjelaskan bahwa pembagian peran suami dan isti dalam masyarakat nelayan. Peran seperti itu terbentuk karena kebiasaan tanpa pernah sebuah konferensi. Bahkan bisa lebih kompleks dari yang terlihat. Kehidupan masyarakat nelayan memiliki ragam cerita dan kisah. Dan itu bisa di ketahui dari tuturan generasi ke generasi. Tapi sayang, itu tidak terekam dalam aksara.

Maka saatnya menulis untuk semesta dan generasi. Sepakat?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun