Mohon tunggu...
Suradin
Suradin Mohon Tunggu... Duta Besar - Penulis Dompu Selatan

Terus Menjadi Pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Desa Jala dalam Catatan

30 Oktober 2021   09:28 Diperbarui: 30 Oktober 2021   09:46 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BEBERAPA ibu-ibu terlihat duduk bersisian. Tampaknya sejak adzan subuh mereka sudah menggelar dagangannya. Beberapa kebutuhan pokok seperti beras, sayur-sayuran tersaji di atas tikar yang dihamparkan di atas tanah. Pasar ini tidak terlalu ramai. Hanya beberapa ibu-ibu yang kelihatan menunggu pembeli. Megahnya gedung tidak berbanding lurus dengan ramainya penjualnya.
Pasar ini juga tampak tidak terawat. Sapuan cet di beberapa titik tembok kelihatan terkelupas. Sampah berserakan di mana-mana. Tidak banyak tong sampah yang di sediakan. Di dekat tanggul penahan ombak berdiri beberapa gazebo tempat di mana masyarakat bersantai. Bahkan tempat menunggu saat-saat perahu ditambatkan membawa hasil tangkapan semalam.

Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Laut serupa mata air yang tidak kehabisan karena setiap saat diambil isinya. Tuhan begitu maha murah memberikan berbagai jenis ikan yang bisa ditangkap dan dinikmati umat manusia. Sudah tidak terhitung berapa kali masyarakat melaut. Membawa hasilnya dan sabang hari bisa kembali lagi melaut. Manusia mestinya hanya diminta untuk menjaga, tidak mengotori apa lagi mengeksploitasi laut demi hasrat manusia yang rakus.

Tapi itulah manusia. Di tunjuk sebagai khalifah di muka bumi yang salah satu tugasnya yakni menjaga semesta. Tapi malah manusia lah biang keroknya yang menghancurkan alam ini. Seolah kitab suci hanya lah nyanyian para pengkhotbah di atas mimbar, atau menjadi pajangan di lemari rumah. Sementara bagian dari penjelasan isi kitab suci adalah manusia mestinya menjaga semesta agar harmonis, termasuk lautnya.

Itu renungan saya ketika memelototi tumpukkan sampah yang tak jauh dari bibir pantai. Bahkan saat yang bersamaan ada warga yang tanpa merasa bersalah membuang sampah rumah tangga di laut. Miris memang. Bahkan tidak ada sangsi buat mereka dari pemerintah setempat. Alih-alih sangsi, di tegur saja bisa menambah masalah. Kesadaran masyarakat tampaknya masih cukup lemah. Memang tidak semua, tapi melihat sampah-sampah yang berserakan ini terasa sesak di dada.

Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dibutuhkan kesadaran banyak pihak dalam menjaga laut dari sampah. Pemerintah setempat harus pro aktif, baik lewat regulasi lebih-lebih program jangka pendek untuk memberi kesadaran kepada masyarakat untuk menjaga kebersihan pantai. Kemudian praktisnya menyediakan tong sampah, tempat pembuang akhir, bahkan jumat bersih misalnya. Sebab sampah yang dibuang  ke laut, selain akan dihempas ombak ke bibir pantai, tapi juga mencemarkan laut yang nota bene ladang garapan bagi masyarakat.

Kisah ini ketika saya berada di pesisir pantai Desa Jala, Senin, 25 Oktober 2021. Saya melihat, mencatat lalu merangkainya dalam barisan aksara. Ini upaya memotret kehidupan masyarakat pesisir yang sabang hari bergumul dengan laut. Ada yang memiliki perahu sendiri, tapi ada pula yang hanya menggunakan perahu orang lain dengan sistem bagi hasil.

Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Kehidupan masyarakat nelayan Desa Jala memiliki dinamikanya sendiri. Mulai dari heterogen masyarakatnya karena berasal dari daerah yang tidak sama, hingga memahami tanda-tanda alam sebelum melaut untuk menantang ombak hingga sumringah kala tangkapan memenuhi badan perahu.

Saya berdiri di tanggul penahan gelombang. Pagi mulai menyapa. Sapuannya perlahan mulai menerangi dunia yang sempat diselimuti kegelapan. Malam segera akan tergantikan. Mimpi-mimpi semalam tidak bisa semuanya mengendap dalam ingatan. Menguap lalu di telang hari. Kehidupan kembali di mulai. Adakah sesuatu yang berubah memberi arti pada semesta. Atau jangan-jangan tidak ada perubahan yang berarti setiap pergantian waktu.

Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Bukankah Rasul Muhammad bersabda "Barang siapa yang lebih baik dari hari kemarin maka ia tergolong orang yang beruntung, dan barang siapa yang sama seperti hari kemarin maka ia tergolong orang yang merugi, lalu barang siapa yang lebih buruk dari hari kemarin maka ia tergolong orang yang celaka"

Apakah kita tergolong orang yang lebih baik dari hari-hari sebelumnya, atau malah justru melakukan yang menjadi rutinitas yang kadang melelahkan. Entahlah. Mestinya kita melempar tanya pada diri masing-masing. Sementara waktu terus melaju. Dan saya tersentak karena hempasan ombak yang mulai meninggi di bibir pantai. Menyambut hari demi kehidupan yang lebih baik. Perjalanan ini kelak menjadi catatan dalam keabadian yang menjangkau generasi. Di sini saya berdiri dan menjadi bagian atas pergantian hari. Semoga kita tetap baik-baik saja.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun