Kehidupan mestinya bersinergi satu sama lain. Jika tidak ada kerakusan, kepongahan, keserakahan manusia terhadap alam, maka begitu damainya kehidupan yang tuhan ciptakan ini.
Saya termenung. Membayangkan ladang masih di penuhi pohon-pohon besar menatap langit. Burung-burung masih berkicau manis sembari terbang ke sana kemari. Ranting saling bersentuhan. Diterpa angin melambai. Suasana alam begitu adem. Madu hutan dengan leluasa memilih pohon untuk singgah lalu beranak pinak kemudian airnya diambil, di peras untuk di minum. Alam adalah sahabat terbaik yang selalu memberi kehidupan pada manusia.
Itu dulu. Kini semua terlihat gersang. Pohon telah tumbang di makan kerakusan manusia. Kebijakan itu telah mendorong sebagian orang dengan tanpa bersalah menebang dan membuka ladang.Â
Program penanaman jagung dari birokrasi yang berlabel kesejahteraan, membuat gunung sudah menjadi ladang jagung. Program itu menjanjikan kekayaan, kesejahteraan. Sehingga dengan tidak merasa bersalah menghalalkan penebangan. Pembukaan lahan untuk perladangan di anggap sesuatu yang biasa.Â
Orang-orang tidak memikirkan dampak jangka panjangnya. Tidak memikirkan nasib generasi. Yang terpenting adalah bagaimana pundi-pundi rupiah bisa mengisi kantong yang kosong.
Tapi saya hanya bisa merenung, sementara nasi sudah menjadi bubur. Meratapinya tak memberi arti. Menyesalinya hanya menyisakan kemuakan. Tak ada seonggok kekuatan yang bisa menghalangi semua yang terjadi.Â
Dunia seolah menunggu perintah dari mereka yang duduk manis di tampuk kekuasaan. Kapitalis birokrasi serupa mata uang yang tak dapat di pisahkan. Menentukan, lalu memutuskan. Sehingga apa pun dampak dari kebijakan itu tidak menjadi soal, sepanjang dapat memberi keuntungan.
Dunia memang telah berubah. Tidak hanya musim. Namun sayang, perubahan itu telah merampas ruang gerak ciptaan tuhan yang lain. Manusia memang makhluk yang biadab. Kekhalifahannya ditafsirkan sebagai penguasa semesta.Â
Sehingga memandang alam harus di tundukkan dan ditaklukkan. Jadilah kehancuran dimana-mana. Alam dilihatnya sebagai objek untuk dicabik-cabik lalu dirampok isinya dengan kata eksploitasi.
Di tempat saya duduk ini, tidak lama lagi pertambangan akan memulai semuanya. Kita mungkin akan menjadi penyaksi yang baik atas kehancuran itu. Tapi kita tidak bisa berbuat banyak karena kita bukan siapa-siapa.Â
Secangkir kopi yang saya pegang ini akan hilang nikmatnya kala perasaan mulai menggelayut karena melihat alam mulai di jarah. Tangan ini hanya bisa memegang secangkir kopi dan belum mampu menentukan arah kebijakan di Bumi Nggahi Rawi Pahu ini.