Mohon tunggu...
Suradin
Suradin Mohon Tunggu... Duta Besar - Penulis Dompu Selatan

Terus Menjadi Pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Memburu Kerang di Pantai Situs Nangasia

25 Agustus 2021   10:03 Diperbarui: 25 Agustus 2021   10:08 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

MULA-mula kami ingin bersantai sambil menyeruput kopi hitam dan berbagi kisah di Pantai Situs Nangasia, Senin, 23 Agustus 2021. Tapi, karena melihat air surut begitu jauh dari bibir pantai, di tambah lagi kedatangan bang Sukardin yang mengajak. Jadilah kami memburu kerang di hamparan bebatuan.

Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Bang Sukardin berprofesi sebagai nelayan. Kami baru mengenalnya karena urusan pekerjaan. Tapi kami begitu cepat akrab dengannya, karena sering bersua dalam banyak kesempatan. Terlebih bang Syarif yang bersama saya ke pantai cukup akrab dengan Bang Sukardin.

Tidak hanya kami, ada puluhan orang; ibu-ibu, anak-anak remaja cukup cekatan mengangkat dan mengambil kerang di antara bebatuan. Namun demikian, dalam melangkah, kaki kami harus serba hati-hati. Beberapa kelopak kerang yang menempel di bebatuan bisa menggores tangan dan kaki. Tajam. Tapi karena punya masa lalu mencari kerang, kami punya cukup modal untuk menghindari kelopak kerang yang tajam.

Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Mengambil kerang ini, serasa kembali bernostalgia dengan masa lalu.

Selain kerang, kami juga mengambil rumput laut yang bisa digunakan untuk sambal. Walaupun di antara kami pernah menahun di tempat perantauan. Namun soal selera, nggak pernah tergantikan oleh ruang dan waktu. Kuliner ala kampung telah menyatu dengan lidah. Bisa saja makanan restoran disajikan oleh chef professional, tapi rasa akan makanan yang dibuatnya tak akan cukup mampu mengalahkan rasa alami yang disuguhkan kerang usai di masak.

Kerang di masak campuran garam dengan tambahan beberapa lembar daun jeruk, selera makan bisa membuncah dan menghabiskan satu priuk nasi. Jika tidak percaya Anda bisa datang dan bertanya kepada orang-orang di kampung saya, Kecamatan Hu'u, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat.

Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dulu. Di masa saya masih duduk di bangku sekolah dasar, orang yang mengambil kerang bisa setengah kampung. Zaman itu kendaraan masih di dalam imajinasi kami anak kampung. Jalan kaki menuju laut merupakan hal biasa. Dengan ember di tangan, kami menelusuri pematang sawah. Berjalan menyebrang sungai dengan kaki telanjang. Beriring. Tua, muda, bahkan anak-anak juga ikut. Itu biasa kami lakukan ketika air surut jauh dari bibir pantai.

Sering ketika adzan magrib berkumandan di pelantang masjid, kami masih diperjalanan pulang. Tapi kini zaman sudah berbeda. Berubah karena masa dan waktu. Perubahan zaman seiring berjalan waktu. Masa-masa itu hanya bisa dikenang kembali.

Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Hari semakin sore, kami belum beranjak. Walau ada puluhan kerang memenuhi plastik. Tapi nampaknya kami belum benar-benar beringsut untuk pulang. Bang Syarif dan bang Sukardin cukup menikmati menggeser bebatuan demi mendapatkan kerang yang diinginkan. Kerang-kerang yang besar biasanya bersembunyi di batuan- batuan yang besar pula.

Selain kerang, kami juga menangkap kepiting. Kepiting-kepiting ini sangat cepat melaju di antara tumpukan batu. Ketika ingin ditangkap, dua jarinya yang besar siaga menghadang. Jika tidak hati-hati, jari-jari kita bisa dijepitnya. Sakit. Tentu. Bahkan tidak jarang jari kita akan mengeluarkan darah. Maka diperlukan teknis khusus dalam menangkapnya. Namun orang-orang yang sudah sering melaut, menangkap kepiting serasa mengambil kue di atas piring. Mudah. Karena sudah tahu caranya. Dibutuhkan pengalaman khusus untuk menangkap kepiting di laut. Beda halnya kalau kepiting sudah tersaji di atas piring.

Terlihat di ujung barat langit teluk Cempi, mega-mega memerah jingga. Mentari beringsut pelan kembali keparaduannya. Hari mulai gelap. Malam menyambut. Suara adzan magrib dari kejauhan, seolah mengajak kami untuk segera bergegas. Pulang demi bersua dengan sanak dan keluarga di rumah. Tapi, di sini kami meninggalkan jejak. Kelak ada alasan untuk kembali dan menikmati lembayung senja di langit teluk Cempi yang damai.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun