Mohon tunggu...
Suradin
Suradin Mohon Tunggu... Duta Besar - Penulis Dompu Selatan

Terus Menjadi Pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Di Desa Cempi Jaya, Kami Ingin Melangitkan Kisah

24 Juni 2021   21:33 Diperbarui: 24 Juni 2021   21:38 532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Langit masih terlihat cerah ketika mobil yang kami tumpangi melaju begitu pelan saat keluar dari Desa Cempi Jaya, Kecamatan Hu'u, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat, Kamis 24 Juni 2021. Kami berjumlah tuju orang. Dengan mobil direktur CV. Land Preparation Indonesia, kami punya misi untuk mengambil bambu di bagian barat desa. Bambu ini rencananya dibutuhkan untuk mempercantik kebun mini di belakang kantor perusahaan.

Selain gergaji, beberapa buah parang menjadi amunisi yang kami bawah untuk memotong bambu. Jaraknya memang tidak terlalu jauh dari perkampungan. Tapi mobil harus membelah jalan ekonomi mengarah ke desa tetangga. Selain menghubungkan dengan kampung sebelah, jalan tersebut memegang peran penting bagi petani dan nelayan di teluk Cempi.

Dokpri. Suradin/Raden't
Dokpri. Suradin/Raden't
Selain itu, jalan ini juga dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar ketika ingin bertandang ke kota kabupaten. Memang ukurannya masih kecil jika dibandingkan dengan jalan tol di perkotaan, tapi peranannya mempermudah lalu lintas dari dan ke wilayah lain. Walaupun berkelok-kelok, tapi sudah di aspal licin. Di perjalanan kami menikmati bentangan persawahan. Rumah satu persatu mulai berdiri kokoh di pinggir jalan yang di belakangnya berbatasan langsung dengan pematang sawah yang cukup luas hingga ke kaki gunung.
Dokpri. Suradin/Raden't
Dokpri. Suradin/Raden't
Pembangunan rumah-rumah baru di Desa Cempi Jaya mulai menggeser lahan pertanian. Terlebih yang ada di pinggir jalan. Terlihat rumah-rumah yang dibangun berarsitektur moderen. Ada yang sudah ditempati, tidak sedikit masih dalam tahap pembangunan.

Kurang lebih sepuluh menit perjalanan, mobil menepi lalu berhenti tak jauh dari bangau. Kami turun. Lalu melepas pandang. Dari jauh terlihat puluhan ibu-ibu yang tangannya begitu cekatan mencium tanah. Setelah diperhatikan, ibu-ibu itu sedang menanam bawang merah. Kata salah seorang di antara kami, mereka datang dari kabupaten tetangga. Mereka memutuskan menyewa lahan warga, lalu bertani bawang merah. Mereka akan tinggal bersama keluarganya dalam kurung bulan tertentu sampai masa panen tiba.

Dokpri. Ibu-ibu menanam bawang
Dokpri. Ibu-ibu menanam bawang
Dokpri. Suradin/Raden't
Dokpri. Suradin/Raden't
Dokpri. Suradin/Raden't
Dokpri. Suradin/Raden't
Di pematang sawah kaki kami bergegas. Sembari melihat beberapa petak bawang merah yang mulai tumbuh subur. Bawang merah tidak sendiri. Jagung salah satu tanaman yang tumbuh menghijau di lahan sekian hektar ini. Terlihat tidak ada sawah dan lahan yang kosong. Penuh dengan tanaman. Untuk mengairi lahannya, warga melakukan bor tanah. Dengan begitu, suplai air untuk tanaman tetap terjaga. Tapi, ada beberapa warga yang menggunakan mesin bermerek menarik air dari dalam perut sungai yang tidak jauh dari lahan pertanian.

Menjadi petani memang tidak mudah. Hanya mereka yang siap tersengat matahari dan diguyur hujan yang berani mengambil jalan ini. Jalan dimana orang-orang yang sudah menyatu dengan tanah dan air. Memilih menjadi petani, berarti akan berkubang dengan tanah yang berlumpur. Walaupun sudah menggunakan obat pabrik untuk kesuburan tanamannya. Tapi petani di desa umumnya masih mempraktekan cara-cara yang diwariskan generasi sebelumnya untuk mengelola lahan pertaniannya.

Petani, selain harus merawat tanaman dengan perhatian penuh, juga diperlukan kesiapan finansial yang cukup sebelum memasuki musim tanam. Tidak sedikit di antara mereka meminjam uang di bank, bahkan rentenir pengisap demi melanjutkan hidup lewat dunia pertanian. Mereka adalah manusia-manusia hebat yang menantang hari dengan berpeluh keringat demi ekonomi keluarga dan negara yang dicintainya.

Tapi sesungguhnya pada merekalah negara harus bersyukur dan patut mengucapkan terimakasih. Karena petanilah yang menyediakan sebagian besar kebutuhan primer warga negara ini. Dan negara mestinya harus menaruh perhatian khusus, demi kesejahteraan petani dimana pun mereka berpijak.

Dokpri. Suradin/Raden't
Dokpri. Suradin/Raden't
Dokpri. Suradin/Raden't
Dokpri. Suradin/Raden't
Di ujung persawahan, kami menembus jalan setapak. Di bagian kiri ada sungai, sementara di kanan jalan ribuan pohon jagung setinggi orang dewasa tumbuh mekar mengukur langit. Nampaknya jalan setapak ini biasa digunakan warga untuk keluar menuju jalan raya. Kesimpulan ini diambil karena jalan ini begitu bersih dipandang.

Kaki kami terhenti ketika puluhan batang bambu yang tumbuh subur di kiri kanan sungai terlihat jelas. Bambu belukar menjulang tinggi mengukur langit. Parang  sulit diayun untuk menembus pangkalnya. Bahkan di antara kami harus menyela ranting yang menyambar arah supaya bisa memotong bambu yang sudah terlihat matang. Beberapa batang tumbang ke dalam sungai setelah dipilah dan dipotong. Satu persatu di tarik lalu diarahkan ke perut sungai yang dihimpit kubangan air yang mendiam dalam tenang.

Dokpri. Suradin/Raden't
Dokpri. Suradin/Raden't
Dokpri. Ahmad sedang memotong bambu
Dokpri. Ahmad sedang memotong bambu
Dokpri. Suradin/Raden't
Dokpri. Suradin/Raden't
Dokpri. Suradin/Raden't
Dokpri. Suradin/Raden't
Setelah rantingnya dibersihkan, satu persatu bambu di potong dengan gergaji dalam ukuran tertentu. Ini bertujuan agar mudah diangkut di dalam mobil. Selain ikut membantu, saya memotret beberapa momen yang akan menjadi saksi bahwa kami pernah berpijak di tempat ini. Tidak berselang lama, tiba-tiba rintik hujan menyela di dedaunan. Pelan tapi pasti, suaranya semakin kencang dan akan mengguyur kami. Segera saya mengambil daun pisang untuk dijadikan payung agar tidak basah.

Dokpri. Ahmad membersihkan bambu
Dokpri. Ahmad membersihkan bambu
Dokpri. Suradin/Raden't
Dokpri. Suradin/Raden't

Dokpri. Suradin/Raden't
Dokpri. Suradin/Raden't
Dokpri. Suradin/Raden't
Dokpri. Suradin/Raden't
Dokpri. Ahmad memotong bambu
Dokpri. Ahmad memotong bambu
Sempat mereda, tapi ketika pulang dan memikul bambu, hujan deras mengiringi langkah kami. Sempat menepi  di bawah pohon bambu karena khawatir basah. Namun karena hujan semakin deras, memaksa kami harus mencari tempat berlindung. Kami seperti ikut lomba lari menuju dangau di pinggir sawah. Dengan memikul potongan bambu, kami berburu tempat yang aman dari derasnya air hujan. Kami duduk berhimpitan di bawang kolom dangau sembari memberi tempat pada yang lain.

Dokpri. Menunggu hujan redah
Dokpri. Menunggu hujan redah
Dokpri. Suradin/Raden't
Dokpri. Suradin/Raden't
Dokpri. Saat hujan
Dokpri. Saat hujan
Saya melepas pandang. Gunung diselimuti kabut. Hujan membasahi tanah dan memberi kehidupan pada semesta. Nampaknya ada maksud tuhan mengirimkan air dari langit. Hujan adalah anugrah, walaupun ada sebagian manusia menilainya musibah. Dengan air hujan, tumbuh-tumbuhan akan menyela tanah untuk menatap semesta. Alam menjadi hijau. Pepohonan terlihat adem dipandang mata. Dunia kembali segar. Parit-parit terairi menuju muara. Ikan-ikan di sungai girang karena daya jelajahnya yang tak bertepi.

Dokpri. Suasana saat hujan mulai redah
Dokpri. Suasana saat hujan mulai redah
Kami berlindung diri hanya hitungan menit setelah langit sayup-sayup menyisakan gerimis. Kembali kami bergegas pulang. Hati-hati. Kaki kami begitu pelan melangkah karena pematang sawah yang licin. Sesekali kami memilih rerumputan untuk membersihkan sandal dan sepatu yang dikenakan. Tanah lengket di alas kaki tak bisa dielakan. Kami berjalan berurutan karena pematang sawah yang hanya seukuran kaki.

Tapi pemandangan  semesta setelah hujan reda, menyuguhkan kedamaian kala mata melepas pandang pada suguhan alam yang harmonis. Alam begitu indah, walau senja temaram belum bisa menyapa. Dari kejauhan, kabut bergeser pelan di barisan gunung yang berjejer. Satu persatu ladang warga terlihat jelas. Gerimis belum benar-benar enyah dari peredaran. Tapi tak cukup alasan menghentikan kaki kami untuk terus melangkah.

Dokpri. Suradin/Raden't
Dokpri. Suradin/Raden't
Dokpri. Suradin/Raden't
Dokpri. Suradin/Raden't
Di bagian belakang mobil, potongan bambu kami simpan. Kami bergegas pulang setelah melukis kisah bersama di hijaunya persawahan. Sungai di tumbuhi bambu dan semak belukar adalah kekhasan suasana pedesaan. Ketika sungai di perkotaan dikotori sampah manusia dengan segala macam bahan kimianya, maka sungai di kampung di penuhi dedaunan dan batangan kayu yang natural.

Hari semakin sore. Kami melaju bersama waktu. Pulang dan kembali menyamai keluarga di rumah. Kami menyulam kisah yang mudah-mudahan kelak sempat di kenang kembali. Untuk diri sendiri terlebih buat generasi dan semesta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun