Mohon tunggu...
Suradin
Suradin Mohon Tunggu... Duta Besar - Penulis Dompu Selatan

Terus Menjadi Pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Tanggapan Tulisan dengan Tulisan Hal yang Bijak, Bukan Nyinyir

11 Januari 2021   21:26 Diperbarui: 11 Januari 2021   21:28 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


SEPANJANG sejarah umat manusia tidak ada revolusi atau reformasi atau apapun sebutan lainnya yang tidak 'berdarah-darah'. Sebut saja revolusi 1945 ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.

Tidak terhitung jumlah nyawa yang hilang, begitu juga dengan harta benda ketika itu. Revolusi Bolsevik 1917 di Rusia ketika feodalisme di tumbangkan oleh kaum komunis-leninisme. Revolusi Iran 1979 yang menumbangkan rezim dinasti Pahlevi. Serta revolusi-revolusi di belahan dunia lainnya. 

Sebab satu hal yang perlu digaris bawahi, bahwa tidak ada satupun seorang penguasa dengan legowo menyerahkan kekuasaannya kepada pihak lain. 

Dokpri
Dokpri
Revolusi yang muncul dipermukaan bukan hadir dengan sendirinya, namun merupakan gundukan perjuangan yang terakumulasi menjadi bom waktu menumbangkan rezim yang sedang berkuasa.

Mungkin masih segar diingatan kita reformasi 1998 belasan tahun yang lalu, ketika rezim Soeharto yang otoriter-represif dapat ditumbangkan oleh gerakan massa yang massif.

Dokpri
Dokpri

Namun kembali harus diingat gerakan yang massif itu menemukan momennya ketika Indonesia masuk dalam pusaran krisis yang menghentak perekonomian dalam negeri. Momen ini digunakan untuk menumbangkan rezim yang berkuasa 32 tahun lamanya.

Sebelum-sebelumnya gerakan mahasiswa terjadi di berbagai daerah dengan menuntut Soeharto untuk turun dari kekuasaannya. Namun, dengan hilangnya para aktifis yang lantang menyuarakan gagasannya tanpa terciut nyalinya sedikitpun, walaupun harus kehilangan nyawa, menunjukkan bahwa Soeharto tidak rela kekuasaannya di lengserkan atau diambil begitu saja oleh pihak lain. Dia berupaya mempertahankan kekuasaannya dengan militer-golkar sebagai kendaraan politik dalam memuluskan kekuasaannya.

Dokpri
Dokpri
Demokrasi ala Soeharto, adalah demokrasi semu yang ketika pemilihan diselenggarakan, massa rakyat sudah akan tau siapa yang akan menjadi pemenangnya. Berbagai cara dilakukan oleh Soeharto untuk mempertahankan kekuasaannya. 

Dan pada waktu itu, hanya kalangan mahasiswa yang kritis dan cendikiawan yang mampu membaca situasi dan keadaan secara jernih. Salah satu warisan Soeharto yang sekarang menjadi memori kolektif massa rakyat yang belum mampu di hilangkan hingga kini adalah tentang PKI yang dituduh membunuh tuju jenderal. 

Untuk melegitimasi kebenaran itu, maka di masa kekuasaan Soeharto setiap tahun di putarkan film G 30 S/PKI ke ruang-ruang publik. Seolah-olah PKI menjadi dalang utama dari peristiwa G 30 S tersebut. Sampai di dalam kurikulum kita juga dimuat dalam pelajaran sejarah tentang kekejaman PKI. Sangat di sayangkan. Suatu kebohongan yang diwariskan hingga kini oleh rezim Soeharto.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun