Mohon tunggu...
Suradin
Suradin Mohon Tunggu... Duta Besar - Penulis Dompu Selatan

Terus Menjadi Pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ompu Moi dalam Kenangan dan Perjumpaan karena Masa

20 September 2020   07:18 Diperbarui: 20 September 2020   07:23 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri. Ompu Moi bersama dosen STIE Yapis Dompu-NTB, 

SEBUT saja namanya Jamaah. Tapi familiar di sapa Ompu Moi. Dalam bahasa lokal, Ompu berarti kakek. Tapi, nama sapaannya belum memperlihatkan fisiknya yang belum menua. Ompu Moi memang sudah tidak muda lagi, tetapi semangat hidupnya tidak lah kalah dengan anak muda kebanyakan. Entah kapan nama itu pertama kali disematkan kepadanya. Saya juga tidak tahu. Bahkan saya tidak sempat bertanya walaupun sudah lama mengenalnya.

Saya mengenalnya tahun 2011 silam, ketika menjadi staf mengajar di salah satu kampus swasta di kota kabupaten. Sama seperti kebanyakan orang yang baru mengenalnya, ketika mendengar panggilan dengan sebutan Ompu, maka sejurus kemudian akan terbesit di benak, bahwa yang dipanggil adalah orang sudah sesepuh. Ternyata tidak demikian adanya. Ompu Moi masih berjarak dengan nama yang melekat padanya. Dirinya masih cukup muda untuk disebut tua, dan sudah tua jika disebut terlalu muda. Ompu Moi ada ditengah keduanya.

Dokpri. Ompu Moi
Dokpri. Ompu Moi
Di kampus, Ompu Moi familiar di kalangan para dosen, terlebih mahasiswanya. Orangnya cepat berbaur dengan siapa pun tanpa pernah membedakan status sosial seseorang. Mungkin inilah salah satu faktor kenapa dirinya mudah di terima oleh banyak kalangan. Saya sendiri mengagumi karakternya yang demikian. Karena Ompu Moi, cepat beradaptasi dalam kondisi apa pun, dan di mana pun dirinya berada.

Sejak memutuskan menetap di rumahnya kurang lebih dua tahun silam. Saya sedikit banyak mengenal prinsip hidupnya. Keterbukaan salah satu hal yang menonjol dalam setiap interaksinya dengan siapa pun. Ketika berdiskusi, saya cukup menikmati setiap topik yang kami bicarakan. Namun demikian, sebagai orang yang belum terlalu berpengalaman dalam mengarungi rimba raya kehidupan, saya biasanya lebih banyak mendengarkan. Mendengarkan adalah pilihan yang tepat untuk mengambil inti sari pengalaman dari orang seperti dirinya.

Dokpri
Dokpri
Dokpri
Dokpri
Namun ketika saya memutuskan hengkang dari rumahnya dan kembali merantau. Praktis saya tidak bisa lagi bersua dan berdiskusi banyak hal dengan Ompu Moi. Bahkan  menyapa lewat media sosial pun sangat jarang kami lakukan. Bertahun-tahun kami jarang berbagi kabar hingga akhirnya waktu pula yang kembali mempertemukan. Setelah merebak Covid-19, saya harus menepi di kampung halaman. Saya meninggalkan segala kesibukan di tanah seberang, dan kini saya terpaksa kembali ke tanah kelahiran.

Kembali ke kampung, tentu kembali bertemu dengan banyak orang, termasuk Ompu Moi. Kurang lebih satu bulan di tanah kelahiran, beberapa kali saya bersua dengan Ompu Moi di kediamannya di kelurahan Doro Tangga, Kabupaten Dompu. Dalam kesempatan itu, tidak terhitung banyaknya topik yang kami ulas, kami bahas dan kami analisis sama-sama. Kadang serius, kadang pula hanya sekedar dibicarakan sekenanya.

Dokpri
Dokpri
Dok. Saya bersama mahasiswi Prodi Bahasa Indonesia STKIP Yapis Dompu-NTB
Dok. Saya bersama mahasiswi Prodi Bahasa Indonesia STKIP Yapis Dompu-NTB
Namun ada beberapa pembicaraan yang meminta saya untuk kembali dan menetap di kampung halaman. Di mana, Ompu Moi memberikan rasionalisasi agar saya bisa mengabdikan diri untuk kemajuan tanah leluhur. Menurutnya, potensi yang saya memiliki bisa berkontribusi dan memberikan sumbangsih untuk sesuatu yang positif bagi banyak orang. Mendengar itu, saya kadang hanya tertegun dalam diam, walaupun menyadari bahwa saya belum mumpuni berkontribusi untuk tanah kelahiran saya.

Saya hanyalah seorang pemuda yang masih haus dengan ilmu pengetahuan dan pengalaman. Saya seorang pengelana yang masih ingin menghitung berapa banyak pulau, berapa banyak kota, dan berapa banyak suku yang saya temui dan menyerap intisari  kehidupan di tanah yang saya pijak. Ketika sudah merasa yakin dengan itu semua, tanpa diminta saya pun akan kembali, minimal mengabdikan diri untuk kedua orang tua yang telah melahirkan dan membesarkan saya.

Bertemu Ompu Moi, sama saja menghidupkan kembali lipatan masa lalu yang pernah terkubur oleh waktu. Kini, menyeruak dan semua semuanya mekar tak bertepi. Perjumpaan yang berkesan dan menambah kuat persaudaraan. Tapi sayang, saya harus kembali lagi ke tanah perantauan demi menggapai impian yang belum terwujud. Tentu dengan penuh harap, semoga kelak bisa kembali bersua lagi dengan  Ompu Moi. Semoga

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun