Mohon tunggu...
Suradin
Suradin Mohon Tunggu... Duta Besar - Penulis Dompu Selatan

Terus Menjadi Pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Budaya Tidak Hanya Simbolitas dan Formalitas Semata

7 Agustus 2020   10:12 Diperbarui: 7 Agustus 2020   19:27 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri. Bersama Meloqa, Kepala Adat Suku Sasak Lombok, Bayan, Kabupaten Lombok Utara-NTB

DI era kekinian menjaga nilai budaya agar tetap mekar sepanjang waktu bukanlah hal yang mudah. Seiring pergantian masa, nilai-nilai itu ikut mengalami pergeseran. 

Tidak banyak generasi yang mendedikasikan hidupnya untuk mewariskan kebiasaan pendahulu. Ada beragam alasan yang menjadi dasar pemikiran, sehingga generasi milenial enggang mengambil bagian mempertahankan budayanya.

Mulai rasa malu dianggap ke tinggalan zaman, hingga dianggap tidak mengikuti trend kalau menjadi tameng budaya. Bahkan alasan-alasan yang lebih tenar dari itu. Jika sekilas diamati, budaya seolah dipahami tampilan luarnya saja. 

Orang akan disebut berbudaya jika menari dengan mengenakan tarian adat di acara tertentu: ikut lomba maupun pada acara-acara penyambutan. Bahkan budaya seolah diukur seberapa banyak membaca banyak publikasi tentang itu. Seberapa sering mengenakan pakaian adat dalam acara resmi di kampung atau suatu festival yang bertemakan budaya.

Dokpri
Dokpri
Dokpri. Di rumah adat Suku Sasak Bayan
Dokpri. Di rumah adat Suku Sasak Bayan
Dokpri
Dokpri
Jika seperti itu indikator seseorang disebut berbudaya. Tidak salah, tapi tidak sepenuhnya benar. Budaya terasa hampa jika seperti itu pengertiannya. Nampaknya kehilangan nilai dan tidak bermakna. Budaya seolah tidak dijiwai menjadi mata air penggerak dalam ucap dan laku dalam berinteraksi dengan siapa pun. 

Sehingga tak perlu kaget seorang pejabat di suatu daerah yang berpidato dengan mengenakan pakaian adat, lalu sejurus kemudian tertangkap tangan oleh KPK karena korupsi. 

Hal serupa, seorang gadis cantik melenggang lenggok menarikan tarian daerah lengkap dengan pakaiannya di atas panggung, dengan tepuk tangan penonton yang membahana di udara. 

Setelah acara selesai, pakaiannya diganti dengan yang lebih feminim, dimana bagian tubuhnya terlihat seksi di pandang mata. Praktek budaya seakan begitu 'diperkosa' sedemikian rupa oleh arus zaman lewat tingkat laku manusia yang mendewakannya.

Budaya telah menjadi seremonial belaka, yang hanya memenuhi sahwat seseorang yang ingin agar pundi-pundi rupiah bisa digelontorkan hanya sebuah acara yang bertajuk budaya. Tidak ada yang salah secara fisik. Tapi nilai-nilainya menjadi terkomersilkan. Acaranya menjadi hampa dan kehilangan subtansi.

Dokpri
Dokpri
Dokpri
Dokpri
Memang tidak semua demikian. Masyarakat Bali, Dayak, Sasak, Papua pedalaman masih setia menjaga warisan leluhurnya. Mereka memandang budaya tidak hanya sekedar dipertuturkan. Dipertunjukkan. Tapi mengawetkannya dalam rasa yang berwujud dalam ucap dan laku dalam kesehariannya.

Menjaga nilai budaya tidak lantas dimaknai menolak modernitas. Modernitas dengan segala perangkatnya telah menjadi kekuatan yang sulit untuk dihindari. Dengan media, unsur modernitas seperti pakaian, peralatan teknologi telah menghujam batas-batas budaya yang diyakini memiliki nilai sakral bagi masyarakat tertentu.

Dokpri
Dokpri
Dokpri. Tempat lumbung Padi
Dokpri. Tempat lumbung Padi
Dokpri. Rumah Meloqa
Dokpri. Rumah Meloqa
Tetapi menjaga nilai budaya bukan berarti tidak perlu bergaul dengan siapa pun di luar komunitasnya. Bukan menghindari sesuatu yang baru. Bukan pula harus ekslusif, lalu memandang sesuatu yang di luar kebiasaan yang diwariskan para leluhur harus dihujat, dimaki dan hindari. Menjaga nilai budaya dengan lebih memahami, mempraktikkan, baik hubungan antar manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan mahal pencipta.

Yang harus dimaknai menjaga nilai budaya itu, semisal ketika bersua dengan orang asing, kita tidak perlu harus seperti mereka hanya karena ingin disebut moderen. Tidak perlu memaksakan berpakaian feminim hanya karena khawatir disebut ketinggalan zaman. Bahkan  jangan memaksakan diri untuk menggunakan handphone moderen tanpa tahu menggunakannya hanya karena takut disebut gaptek.

Dokpri
Dokpri
Dokpri
Dokpri
Hiduplah apa adanya dengan tetap menjaga nilai budaya yang diwariskan leluhur sebagai identitas. Nilainya akan menjadi kompas petunjuk dalam menapaki hari. Kini dan dimasa mendatang. Tak perlu jauh menyebrang samudera hanya ingin mendalami ilmu tentang interaksi sosial kemasyarakatan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun