Mohon tunggu...
Supriardoyo Simanjuntak S.H.
Supriardoyo Simanjuntak S.H. Mohon Tunggu... Lainnya - Pembela Umum LBH Mawar Saron Jakarta

Hukum Untuk Manusia Bukan Manusia Untuk Hukum

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Memaknai Perjuangan Kartini sebagai Tokoh Emansipasi Wanita

21 April 2021   15:10 Diperbarui: 21 April 2021   15:29 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Memberikan kesejahteraan bagi masyarakat merupakan cita-cita bangsa Indonesia. Perjuangan mewujudkan cita-cita tersebut telah dimulai sejak adanya gerakan pengusiran penjajah yang bersifat kedaerahan dipenjuru nusantara. Seperti Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta, Soepomo, Pangeran Diponegoro. Ki. Hadjar Dewantara, Bung Tomo, Imam Bonjol. Dilihat dari sejarah, pergerakan kemerdekaan cenderung dilakukan oleh kaum laki-laki, meskipun masih terdapat beberapa wanita yang menjadi pahlawan kemerdekaan. 

Perlu dipertanyakan mengapa hal demikian terjadi di bumi pertiwi. Raden Ajeng Kartini merupakan satu diantara tokoh wanita di Indonesia yang meninggalkan pemikiran-pemikiran yang dapat dirunut dari surat-suratnya yang telah dibukukan. Menjawab pertanyaan diatas, penulis mengutip pernyataan Raden Ajeng Kartini "Selama ini hanya satu jalan terbuka bagi gadis bumiputra akan menempuh hidup, ialah "kawin"" (surat kepada Nona Zeehandelaar, 23 Agustus 1900). Pernyataan tersebut dapat dijabarkan bahwa hidup seorang perempuan hanya ditujukan untuk menjadi istri semata. Hal yang tidak adil bukan, tidak ada kebebasan yang diberikan kepada wanita untuk mengembangkan gagasan dan pemikiranya dengan cara menempuh pendidikan yang lebih tinggi.

Sejarah Indonesia telah mencatat sesuai dengan SK Presiden RI Nomor 108/2/5 1964 sebagai pahlawan juga ditetapkan sebagai hari nasional yang telah dikenang oleh masyarakat luas. Peringatan Hari Kartini sering ditandai dengan kegiatan seperti Lomba menempel gambar Kartini, lomba kain wiron, lomba puisi, lomba membaca surat Kartini, karnaval Kartini, busana daerah, mengenakan baju kabaya oleh wanita dan masih banyak kegiatan lainnya. 

Namun kemeriahan peringatan Hari Kartini tidak berarti merupakan sebuah ekspresi dari pendalaman nilai-nilai perjuangan Kartini. Bahkan momentum tersebut disisipi dengan hal-hal yang tidak selaras dengan nilai-nilai Perjuangan Kartini seperti Konteks kecantikan, untuk kemudian pemenangnya dipilih menjadi Putri Kartini. Bagi pemenang tentunya akan diberikan hadiah-hadiah yang menggiurkan dan menarik.

Perlakukan diskriminatif dan tidak adil merupakan alasan Kartini memberontak dengan keadaan yang Beliau lalui. Beliau dikekang oleh adat-adat budaya yang mengkungkung dirinya sebagai perempuan yang taat dengan budaya pingitan. Ketika berumur 12 (dua belas) Tahun Beliau harus menghentikan Pendidikan. Sebagaimana Surat Kartini Kepada Nona Zeehandelaar pada tanggal 25 Mei 1899 sebagai berikut:

"Kami, gadis-gadis masih terantai kepada adat istiadat lama, hanya sedikitlah memperoleh bahagia dari kemajuan pengajaran itu. Kami anak perempuan pergi belajar sekolah, keluar rumah tiap-tiap hari, demikian itu saja sudah dikatakan amat melanggar adat" (Kartini dalam Terjemahan Aemijn Pane, 2008:41)

Dilihat dari kutipan surat Kartini kepada Nona Zeehandelaar, beliau adalah sosok yang tidak setuju adanya diskriminasi terhadap perempuan. Perjuangan Beliau dalam membebaskan diskriminasi terhadap perempuan sangatlah gigih dengan tulisan-tulisnya. Tulisan tersebut menjadi semangat yang baru bagi perempuan Indonesia untuk memperjuangkan hak dan kewajibannya. Pergerakan perempuan untuk memperjuangkan kesetaraan gender ditandai dengan gerakan aktivis perempuan di Parlemen. Sejarah nasional Indonesia masih menempatkan sejarah pergerakan perempuan dalam sebuah kotruk yang bias terhadap gender. Perjuangan Kartini Sehingga disebut Sebagai Pahlawan Nasional.

Kegigihan Seorang Kartini dalam memperjuangkan hak-hak perempuan ditandai dengan surat-suratnya kepada Nyonya Zeehendelar, seperti:"aduh, Tuan tiadalah tahu betapa sedihnya, jatuh kasih akan zaman muda, zaman baru, zamanmu, kasih dengan segenap hati jiwa, sedangkan tangan dan kaki terikat, terbelenggu pada adat istiadat dan kebiasaan negeri sendiri, tiada mungkin meluluskan diri dari ikatannya" (hal 31: Paragraf:3)

Penggalan kutipan diatas menceritakan R.A Kartini Terbelenggu pada adat istiadat. Keadaan disaat Kartini tidak dapat berbuat sesuatu, karena disebabkan adat istiadat telah membatasi hak-hak perempuan. Akibat terbelenggu dengan adat istiadat, Kartini ingin bebas dari segala diskriminasi yang telah dialaminya baik dari orang tuanya maupun saudara-saudaranya laki-laki, hal ini dibuktikan dengan surat ke 1 (Jepara, 25 Mei 1800) kepada Nyonya Zeehenderar: "telah hidup dalam hati saya suatu keinginan yang makin lama makin besar, keinginan akan bebas, merdeka, berdiri sendiri"

Makna yang terdapat dalam kutipan tersebut adalah keinginan yang sangat kuat dari Kartini untuk dapat bebas dan merdeka tanpa kekangan dari orang lain. kegigihan seorang Kartini dalam mempertahankan keinginannya tidak hanya sampai disitu, akan tetapi dia tidak pernah pantang menyerah, hal ini dibuktikan dengan surat Kartini: "tahu aku, aku akan banyak, banyak benar berjuang lagi, tetapi tiada gentar akan memadang masa yang akan datang"(surat ke 3: hal: 36 Paragraf 1)

Kutipan diatas memberikan arti yang mendorong wanita untuk tetap semangat tanpa gentar untuk memperjuangkan hak-hak perempuan supaya sama dengan yang lainnya. Keinginan Kartini itu merupakan langkah bagi perempuan untuk terbebas dari diskriminasi yang selama ini terjadi akibat dari adat istiadat. Selain itu sosok Kartini adalah prototipe manusia Indonesia yang sudah memiliki spirit anti-feodalisme dan sekaligus anti-kolonialisme dalam pemikiran maupun tindakannya. Pemikiran Kartini tentang pentingnya kaum perempuan diberi kesempatan maju sejalan dengan pemikiran Sosrokartono yang merupakan kakaknya sendiri. Bagi Kartini adat adalah aturan yang dibuat oleh manusia karenanya dapat diubah oleh manusia juga. Adat dipertahankan karena nilainya yang luhur, tetapi ketika nilai-nilai adat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan, maka perlu disederhanakan atau bahkan diubah (Ardiningsih, 2003:35).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun