Mohon tunggu...
Suprianto Haseng
Suprianto Haseng Mohon Tunggu... Lainnya - Pemuda Perbatasan, PAKSI Sertifikasi LSP KPK RI

Perjalanan hari ini bermula dari seberkas pengalaman yang tertumpah di sepanjang jalanan hidup. Seorang pribadi yang biasa-biasa saja dan selalu ingin tampil sederhana apa adanya bukan ada apanya. Berusaha menjaga nilai integritas diri..

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menjahit Luka Berdarah dengan Benang Keberagaman

4 Agustus 2022   12:25 Diperbarui: 5 Agustus 2022   10:37 1458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk dan plural dengan semboyan "Bhinneka Tunggal Ika". Semboyan ini sebagai wujud pengakuan terhadap realitas sosial bahwa negara ini sangatlah kaya dan beragam. Indonesia sangat kaya akan keberagamannya. Indonesia itu memiliki banyak etnik, budaya dan juga agama. Bhinneka Tunggal Ika pula berarti pengakuan terhadap realitas sosial historis kalau rakyat Indonesia sejak lama sudah berhubungan baik secara rukun serta harmonis. Hal ini bisa kita lihat dari keseharian masyarakat Indonesia yang hidup selalu berdampingan.

Masyarakat Indonesia dipersatukan dalam satu jalinan batin yang muncul dari faktor- faktor politik serta keagamaan. Persamaan nasib masyarakat Indonesia sepanjang masa penjajahan Belanda serta Jepang melahirkan semangat persatuan serta kesatuan dalam menggapai kemerdekaan. Sangat disayangkan potret indah kehidupan yang rukun serta harmonis itu ternodai oleh serangkaian tragedi kemanusiaan berdarah yang pernah terjadi di sebagian wilayah Indonesia.

Jika kita masih ingat, Indonesia sempat menghadapi berbagai macam konflik berdarah yang memakan korban jiwa dalam jumlah besar. Konflik- konflik bermotif SARA itu tercatat pernah terjadi di Ambon, Poso serta Sampit.

Pada saat runtuhnya kekuasaan Presiden Soeharto, pascareformasi tahun 1999 berlangsung juga konflik di Ambon, Poso, serta Sampit. Kita dihadapkan dengan persoalan besar, apakah Perbedaan antar agama serta etnik telah menjadi bencana untuk bangsa Indonesia? Apakah keberagaman agama serta etnik ini bakal memporak-porandakan bangsa ini? Hal ini tentunya sangat mengkhawatirkan masyarakat Indonesia.

Sementara itu, Indonesia malah diketahui di Asia Tenggara serta di dunia sebagai bangsa yang besar dan beragam. Indonesia dikenal juga sebagai sebuah negara demokrasi terbesar dunia. Mempunyai penduduk berjumlah 248 juta jiwa, terdiri dari 300 suku bangsa, dan mempunyai lebih dari 700 berbagai bahasa lokal ataupun dialek, menganut 6 agama formal yang diakui negera dan ratusan lagi pemeluk kepercayaan leluhur Nusantara.

Indonesia juga merupakan bangsa yang unik karena mempunyai puluhan kerajaan Hindu yang besar serta mempunyai pengaruh di daerah Asia Tenggara. Indonesia mempunyai situs Budha terbesar di dunia yaitu situs Candi Borobudur. Saat ini Indonesia dikenal lagi sebagai negara dengan populasi islam terbanyak di dunia. Saya katakan Indonesia itu sangat luar biasa. Keberagamannya menjadi sumber kekuatan jika terus dirawat dan dijaga.

Namun, setelah terjadinya berbagai macam konflik berdarah kita seolah-olah tenggelam dengan problem internal; konflik yang bernuansa suku, agama serta ras (SARA), kekerasan ekstrim yang bernuansa agama, konflik karena perbedaan pandangan politik, korupsi yang terus merajalela, serta ketidakadilan sosial yang nyata. Kita masih terbelenggu oleh penyakit ini.

Berbagai macam persoalan itu diperparah lagi ketika menjelang momentum politik nasional seperti pemilihan umum, presiden ataupun pemilihan gubernur, keadaan bangsa ini seketika terus menjadi memburuk. Terjadi perpecahan dan polarisasi ditengah-tengah masyarakat Perpecahan ini meninggalkan luka yang sangat perih. Karena perbedaan pandangan politik kita saling bermusuhan. Timbullah berbagai macam ungkapan emosional yang tak terkontrol. cebong, kampret, kadrun dan lain-lain menjadi suatu identitas tersendiri yang juga unik.

"Revolusi Mental", yang terus digaungkan oleh Presiden Jokowi seakan tak membuahkan hasil yang signifikan. Revolusi mental seakan angin lalu. Begitu juga dengan slogan kerja, kerja, serta kerja. Presiden hanya berfokus kepada ekonomi serta infrastruktur. Namun, belum bisa juga memberikan pemerataan pembangunan yang seutuhnya.

Yang terjadi dari sekian tahun, Papua terus bergejolak hebat. Yang membuat miris hati ini ketika perayaan hari besar keagamaan terjadinya konflik yang bernuansa agama. Masih ingat dengan peristiwa Tolikara. Dimana rumah ibadah di bakar massa pada saat sedang merayakan hari besar keagamaan. Revolusi mental itu  entah hilang kemana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun