Mohon tunggu...
supriadi legino
supriadi legino Mohon Tunggu... Insinyur - Konsultan penulis

Lahir di Bandung dan menyelesaikan sekolah di ITB jurusan elektroteknik angkatan 1974. Pendidikan S2 bidang ekonomi di MM UNSRI, bidang MBA di University of Missouri St. Louis, MA di Webster University, dan Doktor of Management di Webster University St. Louis Bekerja di PLN dari tahun 1980 sampai 2009 dan saat ini menjadi rektor di STT PLN Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Dari Bilik Kontemplasi: Afdruk Kilat dan Pas Photo

10 November 2012   13:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:40 1661
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Dari bilik kontemplasi

AFDRUK KILAT DAN PAS PHOTO

Afdruk adalah cerita tentang ruang gelap yang berisi seperangkat alat yang terdiri dari lampu yang bisa digeser naik turun dan sebuah baskom berisi dua jenis cairan kimia yang satu untuk mencuci film dan yang satu lagi disebut developer untuk penimbul gambar. Sejak SMA sampai awal mahasiswa saya masih sering bermain di ruang gelap tersebut setelah membeli segepok kertas Agfa Film dari tokoSeni Foto Abadidi jalan Merdeka Bandung.

“Ngapdreuk” kata orang Sunda memang mengasyikan; agar tidak hangus gambarnya, film yang baru dilepas dari tustel harus dibuka di ruang gelap dan dicuci terus dikeringkan sebelum dicetak. Gambar hasil jepretan yang akan dicetak lalu diletakkan di bawah lampu beberapa detik untuk dipantulkan pada kertas foto, semakin lama semakin hitam hasilnya. Kertas foto yang sudah di”tembak” lalu direndam di cairan developer sampai gambarnya timbul dengan jelas sebelum dicuci dengan air bersih dan dikeringkan oleh sinar lampu.

Bagi kita yang para manula, tentunya belum lupa bahwa afdruk tidak bisa dipisahkan dari pas photo. “Fas Poto” kata orang Sunda, di zaman itu harus tersedia di laci kita baik yang ukuran 2x3, 3x4, atau 4x6, karena hampir semua urusan sekolahan dan pendaftaran apapuntermasuk KTP, Surat kelakuan baik, bebas G30 S, pasti harus melampirkan beberapa lembar kepingan wajah . Bagi yang kehabisan stock, nggak usah pusing karena tinggalmendatangi kios-kios pinggir jalan yang bertuliskan Afdruk Kilat yang ada hampir di setiap pengkolan jalan. Kios afdruk kilat mudah dikenali dari jauh karena lampu petromaxnya yang berfungsi ganda selain sebagai penerangan juga untuk mengeringkan foto yang telah dicuci. Afdruk kilat laris karena ongkos cetak foto maupun membuat pas foto baru di kios kilatjauh lebih murah,dalam waktu kurang dari 1 jam, kertas bergambar wajah kita telah bisa diambil dari atas petromax untuk digunting sesuai dengan ukuran yang kita minta.

Di masa itu, kalau kita sendiri yang memotret, setiap jepretan tidak boleh ada yang mubadzir karena mahalnya tustel dan negative film yang harus digulung dalam rol agar tidak kemasukan cahaya. Setiap foto yang dihasilkan merupakan barang berharga dan disusun dengan apik dalam album foto yang tidak jarang berharga tinggi karena merupakanbarang seni. Setidaknya setiap foto postcard yang kita miliki dikumpulkan dalam album plastik atau kardus bekas sepatu sebagai tanda bahwa kita takut kehilangan kertas yang mengabadikan gambar kita. Masih langkanya orang yang punya tustel danmahalnya biaya pemrosesan membuat profesi tukang foto di era tersebut masih cukup terhormat dan memberikan penghasilan yang memadai.

Sejalan dengan berkembangnya teknologi foto berwarna dan mesin cetak yang modern, berguguranlah para tukang afdruk pas foto kilat pinggir jalan karena terbantai oleh Fuji Film studio yang juga menawarkan foto kilat dengan hasil yang jauh lebih baik dengan harga terjangkau.

Sampai dekade 80an, para tukang foto amatir masih lebih baik nasibnya karena mereka juga bisa menawarkan opsi foto “geber-geber jeder” atau kipas-kipas langsung jadi yang disebut Polaroid. Namun Polaroid tidak berumur panjang dan harus beristirahat dengan damai bersama para fotografer amatir seiring dengan ditemukannya teknologi fotografi digital. Tustel yang sebelumnya hanya dimiliki oleh orang berduit atau yang hobi fotografi, saat ini hampir semua orang segala usia punya tustel baik yang tertanam dalam Handphone maupun tustel dengan jumlah pixel yang melebihi kemampuan mata kita. Nasib album foto yang dulu merupakan barang kesayangan bersejarah sudah jarang disentuh karena tergantikan oleh secuil kartu memori yang mempu memuat foto yang banyaknya ribuan kali lipat dari album yang sebesar bantal kursi.

Bicara soal apa yang terjadi dalam soal potret-memotret dapat menjadi refleksi tentang pergeseran norma yang terjadi dalam soal perangai manusia. Sikap efisien dan sadar biaya ketika dahulu kita menghemat objek jepretan dan penggunaan rol-rol film telah berubah menjadi sikap boros ketika saat ini kita menghamburkan jepretan dari tustel digital kita. Sikap apik dan menghargai barang dengan menyimpan dan menyusun dengan cantik potret-potret kita di dalam album kenangan telah berubah menjadi perilaku abai dan tidak peduli sebagaimana kita membiarkan ribuan hasil jepretan tustel dari hp kita di dalam kartu memori yang murah harganya dan meskipun tidak memiliki nilai seni tapi mampu menampung ratusan ribu hasil jepretan kita.

Yang lebih memprihatinkan adalah bagaimana kita telah kehilangan norma dalam menghargai wajahkita sendiri. Dahulu, wajah kita yang tertera dalam pas photo walaupun hasil afdruk kilat yang secara materi sangat murah tapi sangat kita lindungi dan terbungkus dengan kertas atau plastik agar tidak mudah dilihat orang dan disimpan dalam tempat yang aman agar tidak terbuang oleh orang lain. Pas photo saat itu hanya digunakan untuk keperluan resmi seperti pendaftaran sekolah, melamar pekerjaan, KTP, surat kelakuan baik, ataupun bebas G30 S. Bagaimana kita memperlakukan wajah kita dewasa ini??...................

Hampir tidak ada pinggiran jalan di seluruh nusantara ini yang bebas dari wajah-wajah pemburu kekuasaan. Pura dan lautan indah di pulau dewata pun tak luput dari para penjual tampang dengan slogan-slogan yang menyiratkan kemunafikan. Betapa tidak? Mereka difoto dengan baju-baju simbol keagamaan atau adat masyarakat tempat mereka bersaing mendapatkan kursi. Setiap ke luar rumah, saya prihatin karena sepanjang aliran air Kalimalang yang menyejukkan itu, kini telah tertutup dengan poster dan sepanduk puluhan wajah penjaja kuasa dan keriaan.

Lucunya lagi saya menyaksikan puluhan poster wanita berkerudung biru dengan tulisan “the next major of Kota Bekasi” yang membuat anak anak saya geli karena setelah lebih dari 3 bulan baru mereka sadar dan memperbaiki kata “major dengan “mayor.” Lebih menggelikan lagi ketika terbaca nama akhirnya ternyata sama dg nama walikota Bekasi yang saat ini ditahan di Sukamiskin. …

ketika setan hampir putus asa karena sering gagal menggoda para alim ulama, pendeta, dan pemuka agama untuk menikmati dunia popularitas dan ikutan materinya, akhirnya dia menemukan sebuah perangkat yang disebut demokrasi. Saat ini dengan perangkat tersebut setan berhasil mengajak para Kyai, Ustadz, Habib, Pendeta, untuk mengikuti kompetisi memperebutkan kekuasaan walaupun dengan menjajakan tampangnya di sepanjang jalan.

Setan tertawa terbahak-bahak karena negri dengan penduduk muslim terbesar di dunia dan dulunya sangat menjunjung tinggi toleransi itu kini telah berubah menjadi negri para narsis yang dapat menghabisi orang yang berbeda dengan golongannya dengan darah dingin …

YSL

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun