Mohon tunggu...
supriadi legino
supriadi legino Mohon Tunggu... Insinyur - Konsultan penulis

Lahir di Bandung dan menyelesaikan sekolah di ITB jurusan elektroteknik angkatan 1974. Pendidikan S2 bidang ekonomi di MM UNSRI, bidang MBA di University of Missouri St. Louis, MA di Webster University, dan Doktor of Management di Webster University St. Louis Bekerja di PLN dari tahun 1980 sampai 2009 dan saat ini menjadi rektor di STT PLN Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dari Balik Memori: Perjanjian dengan Tuhan

10 November 2012   13:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:39 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dari balik memori:

Perjanjian dengan Tuhan

Bagian kesatu

17 Maret 1998…………………………….

Sore itu kami bergegas menyelesaikan berkas-berkas pengusulan Daftar Isian Proyek (DIP) yang harus terkirim esok pagi ke Bapennas, sementara besok juga di pagi yang sama jam 9kami sudah harus berada di proyek PLTA Besai Lampung untuk membagikan sembako (sembilan bahan pokok) untuk masyarakat sekitar proyek Besai. Saat itu negara sedang dilanda krisis ekonomi dan ritual pembagian sembakogalib dilakukan termasukyang telah beberapa kali kami lakukan untuk masyarakat di lingkungan proyek-proyek di Sumatra bagian selatan. Masih dalam pakaian seragam Korpri yang kami gunakan untuk upacara rutin tujuh belasan, akhirnya sebelum magrib dokumen DIP siap untuk dikirim dan setelah shalat maghrib kami berkemas untuk berangkat dengan menggunakan minivan Mazda 2000 menuju Lampung. Sedianya kami akan berangkat pagi setelah upacara tapi karena ada beberapa perubahan rencana DIPsesuai informasi mendadakdari PLN Pusat, kami terpaksa membereskan dulu urusan rencana kerja dan anggaran penting tersebut dan terpaksa menempuh perjalanan pada malam hari. Sebetulnya kawan-kawan di kantor sudah menyarankan agar sedapat mungkin tidak melakukan perjalanan di lintas Sumatra pada malam hari mengingat kondisi jalan yang berbahaya dan banyaknya pengemudi bus dan truk yang tidak berdisiplin.

Dari Palembang sampai di Lahat perjalanan berjalan lancar dan kami memutuskan untuk berhenti di Baturaja untuk makan malam di sebuah restoran Cina langganan kami. Selesai makan malam, saya sempat bertanya kepada Djoko, supir saya kalau nanti dia mengantuk agar bilang sehingga bisa gantian dengan salah satu diantara kita karena semua yang ikut adalah supir terlatih.Tapi dia bilang bahwa siap mengemudi sampai di Besai nanti walaupun mungkin jawaban itu karena dia sungkan.Rombongan di mobil kami terdiri dari saya sebagai Pemimpin Proyek, Kepala Staf Perencanaan Ari Darmawan,Kepala Staf Administrasi Keuangan Sarwono, dan Supardi asisten saya, dan Djoko pengemudi yang juga supir saya. Kami bertolak dari Baturaja pada pukul 10 malam beriringan dengan satu rombongan lagi yang berada di mobil terpisah terdiri dari para kepala bagian. Sebetulnya salah satu alasan kita suka naik Mazda 2000 kalau perjalanan jauh adalah disain kursi dan mejanya yang bisa dijadikan tempat ngobrol sehingga kita bisa memanfaatkan perjalanan untuk mendiskusikan berbagai rencana dan mencari jalan keluar suatu masalah yang tidak sempat dibahas di kantor dan dalam keadaan lebih santai. Tapi tidak malam itu karena setengah jam kemudian kami semua sudah mulai mengantuk sebelum tragedi itu terjadi…..

Dalam kondisi setengah tertidur tiba-tiba saya terpelanting ke depan dan mendengar jeritan si Joko “ampun paakk!!” di tengah benturan keras dan kaca pecah.Saya secara reflex menjawab“aduh Joko apa saya bilang!! Dan tiba-tiba saya merasakan rasa sakit yang luar biasa pada kaki kiri saya dan pak Ari di sebelah saya juga merintih kesakitan.Di dalam kegelapan pak Sarwono yang kebetulan duduk di kursi belakang mencoba merayap ke luar mobil, tapi tanpa sadar membuat kursi jok yang saya duduki terputar dan saya yang sudah kembali ke kursi dan merasakan patah kaki yang sakit sekali dan pak Ari yang mukanya berlumuran darah terpelanting kembali ke lantai mobil. Di luar mulai terdengar suara banyak orang mungkin supir-supir truk yang kebetulan lewat dan samar-samar tertangkap oleh saya bahwa mobil kita menabrak truk pengangkut kayu yang mogok di pinggir jalan. Pak Sarwono yang ternyata selamat dan sudah berada di luar mobil menanyakan kondisi kami yang terjerat di dalam mobil dan memintak kami bersabar karena butuh derekan untuk mengeluarkan mobil yang katanya masuk ke kolong truk mogok tersebut. Saya tidak berani membayangkan kondisi Joko dan Supardi yang terjepitdi kursi depan mobil yang tidak ada hidungnya, dan hati saya semakin khawatir karena tidak mendengar lagi suara ataupun rintihan mereka. Dengan spontan saya mencoba berkomunikasi dengan Tuhan bahwa sayalah yang memikul tanggung jawab perjalanan ini seraya memohon agar semua staf yang ikut dalam mobil diselamatkan nyawanya. Sementara itu rasa sakit di bagian paha nyaris tidak tertahankan dan saya yakin bahwa kaki saya patah tapi tidak tahu di bagian yang mana. Untuk mengurangi rasa sakit tersebut saya mencoba mengatur pernafasan dan mulai melantunkan dzikir sambil menunggu datangnya pertolongan dan Alhamdulillah setelah kalimat kalimat dzikir tersebut menyatu dengan ritme pernafasan, rasa sakit tersebut secara pelahan mulai dapat dikesampingkan. Di luar saya mendengar semakin ramai suara orang diantaranya ada seorang yang memberikan komandokepada supir sebuah mobil untuk mencoba menarik badan mobil dengan kawat seling dari kolong truk sampai akhirnya kita mendengar suara berderak keras dan saya merasa kesakitan karena tergoncang kembali. Tidak kurang dibutuhkan waktu sekitar 2 jam untuk dapat mengeluarkan kembali mobil dari kolong truk, sangat cepat untuk ukuran kejadian tengah malam di tengah hutan yang jauh dari kota.

Kesakitan luar biasa terasa ketika saya digotong ke luar mobil, maklum kaki saya yang patah belum dipasang spalk dan tidak diketahui patahnya di bagian yang mana. Rasanya tanpa bantuandzikir sulit untuk mempertahankan kesadaran dan rasa sakit tersebut sampai akhirnya saya dibaringkan di sebuah gubug atau saung di tepi hutan. Saya akhirnya mengetahui bahwa tabrakan tersebut terjadi di hutan Bukit Kemuning, daerah yang terkenal angker karena banyak truk yang dijarah oleh para “Bajing Luncat. ” Namun yang terjadi pada kami yang terkena musibah justru pertolongan cepat dan sayatidak dapat menahan air mata ketika akhirnya si Djoko dan Supardi yang terjepit di depanmasih terdengar rintihannya, artinya doa saya agar Tuhan menyelamatkan nyawa mereka terkabul. Pertolongan Allah berikutnya datang seiring dengan datangnya sebuah mobil angkot yang kursinya di samping sehingga kami berempat bisa dijejerkan di lantai mobil tersebut untuk selanjutnya dibawa ke Puskesmas terdekat yang berjarak sekitar 40 km dari tempat kejadian.Walaupun relative dekat tapi jalan masuk ke Puskesmas desa ternyata rusak atau bahkan belum di aspal dan setiap goncangan tentunya membuat gesekan tulang yang patah berakibat kesakitan karena belum terpasang spalk dan untuk membuat cerita lebih dramatis ternyata Puskesmasnya tutup dan kami harus kembali ke jalan melanjutkan perjalanan ke rumah sakit terdekat di Kota Bumi, sekitar 3 jam perjalanan lagi. Pelajaran berharga dalam perjalanan dengan kondisi patah tulang tersebut adalah saya bisa merasakan langsung apa yang sering disampaikan para Ustadz tentang manfaat dari dzikir. Walaupun rasa sakit tak tertahankan menyerang di setiap tikungan, tapi secara umum saya dapat mengendalikannya dengan berkonsentrasi kepada kalimat-kalimat dzikir dan do’a yang saya ulang-ulang sepanjang jalan sekaligus kesempatan untuk mengulang ulang surat-surat dalam juz ama yang saya hafalkan ketika naik haji tahun 1994 tapi jujur jarang lagi dibaca karena kesibukan yang sebenarnya merupakan alasan dari kemalasan

Sekitar jam 4 pagi kami sampai di rumah sakit Kota Bumi dan dengan cekatan paramedic menolong saya dengan memasangkan bidai dan bebat di tempat yang patah yaitu paha kiri saya. Saya melihat semua staf saya yang berangkat dari Palembang ke Besai bersama dengan mereka yang tinggal di PLTA Besai telah berkumpul di Kota Bumi dengan raut muka tegang dan panik. Sebelum melanjutkan perjalanan ke Bandar Lampung, naluri kepemimpinan saya yang melihat kegamangan para staf PLN, langsung memerintahkan pembagian tugas agar tidak semua orang mengurus korban. Pak Mustiko yang selamat karena berangkat dari Jakarta mewakili pimpinan PLN beserta Kepala Proyek dan staf PLTA Besai segera kembali ke site untuk membagikan sembako karena masyarakat biasanya dari subuh sudah mengantri. Pak Sarwono dengan 2 orang staf dari Lampung mengurus korban untuk mendapatkan pertolongan lebih lanjut di RS Lampung. Satu hal lagi, saya sampaikan bahwa saya sendiri yang akan menyampaikan musibah ini kepada istri saya agar tidak membuat keluarga panic. Sekitar jam 7 pagi kita sampai di ruang UGD RS Lampung, tapi tidak banyak yang mereka lakukan kepada kami selain memberikan obat anti infeksi dan mempersilakan korban beristirahat sambil menunggu penanganan dokter.

×Halo mamah , bapak sekarang di Lampung, Gimana kabarnya di Palembang? Si Adit udah berangkat sekolah??

×Baik baik aja, baru saja si Adit berangkat; Bapak koq ke Lampung?, bukannya nginap di Besai? Katanya jam 9 mau bagi-bagi sembako, kan jauh dari Lampung?

×Rencananya sih begitu, tapi kita mengalami sedikit musibah mobilnya nabrak truk tadi malem………….

×Hening di ujung sana……………………..

×Saya menambahkan, tapi nggak apa apa koq, pak Ari, Supardi, dan si Djokoyang cedera sudah di RS Lampung dan bapak sendiri cuma patah di paha kaki kiri, insya Allah hari ini langsung di operasi di Lampung

×Bapak gimana kondisinya, kenapa nggak di Jakarta saja dioperasinya, kan kita nggak tahu dokter dan fasilitas di Lampung?

×Insya Allah bapak baik baik saja , kebetulan dokter ahli tulang di sini kakaknya temen kita di PLN, pak Saibun Sitompul

Hati saya merasa tenang mendengar ketegaran istri saya dan seperti biasanya dia selalu tanggap dalam menghadapi situasi kritis, termasuk instinknya yang tajam. Instink untuk berobat di Jakarta itu ternyata terbukti karena ternyata sampai jam 12 siang, walaupun telah dirontgen tapi belum ada penanganan terhadap korban dan doktor yang dimaksud tidak kunjung datang sehingga saya akhirnya memutuskan untuk mengikuti saran istri saya berobat di Jakarta. Tangan Tuhan terjulur kambali ketika muncul masalah berikutnya yaitu sulitnya mendapatkan seat di pesawat Lampung-Jakarta yang saya tahu sangat padat. Ternyata, ibu saya di Bandung telah menitipkan saya kepada kak Umar Hasan mantan anggota DPRD Lampung yang dulu indekos di rumah ibu saya, dan berkat beliau akhirnya dua orang penumpang membatalkan kepergian ke Jakarta demi saya. Berita ini saya sampaikan kepada istri tercinta yang ternyata telah lebih dulu mempersiapkan tiket pesawat Palembang Jakarta, lirih dia berkata: Bapak hebat koq,sampai ketemu di Jakarta ya pak……

Terima kasih Habibie… berkat CN 235 saya mendarat dengan mulusdi Halim Jakarta sekitar Jam 4 30 sore. Sempat terjadi pembelokan arah rumah sakit yang tadinya saya akan dibawa ke RS Siaga ke RS Pertamina Pusatsetelah mendapat telepon dari pak Raharjo direktur saya yang menyatakan bahwa penanganan saudaranya di sana kurang baik. Sebelum magrib, saya sampai di RS Pertamina dan merasakan ketenangan luar biasa setelah mendapatkan pelukan istri tercinta yang nyeletuk ihh bapak jelek sekali..karena badan saya kotor dengan pecahan kaca yang belum bersih di sana sini danhanya dikerubung oleh samping atau jarik yang biasa dipakai orang Jawa menggendong anak. Setelah badan saya dibersihkan dan berganti baju RS, saya langsung dirontgen ulang dan malamnya dokter Taufan (alm) dengan tenang menyampaikan bahwa tulang paha kiri saya fracture tiga keping atau istilah kampungnya pecah tebu dan akan besok pagi akan dilakukan operasi pemasangan plat. Sampai dengan jam 11 malam kerabat dan handai taulan masih datang menjenguk , sampai akhirnya suster terpaksa memohon agar mereka meninggalkan kamar karena saya harus cukup istirahat untuk operasi besok pagi.

….lamat-lamat saya mulai mendengar suara istri saya yang begitu melihatkelopak mata saya bergerak dengan lirih berbisik bahwa operasinya sukses……air mata saya menetes ditengah pelukan istri yang tentunya berbahagia melihatsuaminya sudah siuman setelah lebih dari 4 jam di ruang operasi. Sorenya, dokter melakukan visit dan istri saya yang jeli meminta dokter untuk melihat luka di pergelangan kaki kiri dan ternyata dokter menemukan ada urat yang putus tapi heran kenapa luka yang sudah dua hari dan sedalam itu tidak menimbulkan demam atau bengkak karena infeksi. Istri saya menambahkan bahwa walaupun terkena banyak pecaha kaca tapi semua luka sudah kering sejak saya sampai di Jakarta. Rupanya istri saya menemukan jawabannya…..waktu memeluk saya setelah datang dari Lampung, aroma cuko empek-empek tercium dari tubuh saya yang dipenuhi luka dan saya ingat bahwacuko empek-empek Palembang yang sedianya untuk oleh-oleh para pegawai di PLTA Besai,ketika terjadi tabrakan bungkus plastiknya pecah membasuhi sekujur badan saya dan tanpa disadari merupakan obat anti biotic yang mujarab…………….

Paskaoperasi untuk menyambung tulang yang pecah dengan memasang plat stainless steel setebal 7 mm dengan 14 skrup, badan danhati saya merasa lega walaupun harus mengulang ulang cerita tentang musibah yang kami alami dengan ratusan sahabat dan kerabat yang datang menyatakan simpati dan doa. Awalnya saya agak terkejut karena walaupun baru tiga hari tidak digunakan tapi otot paha saya tidak berhasil mengangkat kaki bagian bawah dengan menekuk lutut. Namun dalam waktu 3 hari otot saya telah pulih kembali setelah dilakukan latihan teratur, dan saya diperbolehkan kembali ke Palembang. Di hari ke empat saya masih sempat mengikuti test masuk magister manajemen UNSRI dan lulus di urutan pertama sehingga seminggu kemudian sudah mulai kuliah yang diselenggarakan setiap malam setelah bekerja walaupun harus menggunakan empat kaki, dua diantaranya berupa kruk dari alumunium…..

…..Satu tahun telah berlalu, saya masih belum dapat lepas dari bantuan kruk dan hal itu membuat saya frustasi karena umumnya patah tulang akan pulih dalam 8 bulan. Saya nyaris merasa menjadi orang yang tidak berguna ketika dalam perjalanan ke Bangka, rasa sakit itu menyerang kaki saya kembali. Saya mencoba menenangkan diri dan meyakinkanistri saya bahwa sakit itu mungkin karena keseleo ketika mendaki bukit di Lampung ketika terjadi pencurian kawat transmisi yang mengakibatkan robohnya 5 buah tower transmisi. Terbersit dalam hati saya bahwa rasa sakitnya seperti tulang paha saya patah kembali, tapi logika saya cepat menepis karena mana mungkin plat setebal itu bisa patah karena saya belum pernah jatuh atau mengalami benturan keras.

Bagian kedua

Kembali kepada kecelakaan yang terjadi pada hari Selasa malam itu, ternyata mobil Mazda 2000 yang kami tumpangi menabrak truk pengangkut kayu yang mogok setelah tanjakan sehingga tidak terlihat dari jauh. Apalagi malam itu hujan gerimis dan kondisi jalan trans Sumatra yang banyak “terbis” membuat mobil mogok tidak bisa dikepinggirkan. Tapi penyebab utamanyakarenasupir mengantuk yang kita ketahui setelah si Djoko mengaku bahwa dia minum Bodrex setelah makan malam. Dia shock berat mungkin karena rasa bersalah, soalnya saya sudah menawarkan untuk gantian menyetir waktu keluar dari restoran, tapi dia mengelak.Kecelakaan itu juga telah membuat pak Ari mukanya terkelupas sampai dengan kelopak mata dan diobati di Lampung tapi jahitannya harus dibuka kembalidi RS Pertamina karena penanganan yang kurang baik, sementara Supardi yang pergelangan pahanya terlepas telah ditangani di RS Pluit, dan si Djoko telah dibawa ke Palembang untuk berobat jalan.

Belum seminggu saya meninggalkan kantor, banyak sekali tunggakan kejar tayang yang harus diselesaikan dan permasalahan yang perlu segera diputuskan, walaupun sebagian pekerjaan sudah saya angsur selama dirawat di Rumah Sakit. Sementara itu setiap pagi saya harus melatih otot dan mulai membiasakan diri dengan kehidupan baru menjadi manusia ber”kaki empat”. Pada awalnya memang canggung dan mengesalkan karena tangan kanan dan kiri tidak bebas harus memegangkruk, tapi lama kelamaan saya menjadi terbiasa dan mahir termasuk untuk naik dan turun tangga. Dalam waktu singkat saya tenggelam kembali dengan kesibukan kantor dengan eskalasi permasalahan yang luar biasa akibat krisis ekonomi 97 ditambah lagi saya juga mulai terjebak kegiatan kuliah di MM UNSRI setiap malam dan hari Sabtu siang. Tapi justru dalam era “kaki empat” ini saya rasakan energi dan produktivitas kerja berada dalam kondisi puncak seperti ditunjukkan oleh beberapa fakta dibawah ini.

Robohnya tower-tower transmisi karena ulah maling yang menggondol konduktor alumunium dan mempreteli besi-besi galvanis tower merupakan masalah yang sulit sekali diatasi. Hal ini terjadi berkali-kali di berbagai lokasi, biasanya pada segmen yang baru selesai dibangun tapi belum diberi tegangan 150 KV karena menunggu selesainya proses uji kelayakan. Kejadian ini sempat membuat kontraktor stringing mogok karena frustasi mengingat upaya perbaikannya sulit sekali karena tempat beroperasi maling-maling tersebut di rawa-rawa yang jauh dari jalan. Lapor polisi? Nanti dulu!! soalnya sempat ada maling teledor yang mati karena jatuh dari tower yang besinya dia lepas sendiri. Setelah kita lapor polisi, malah PLN yang dipersalahkan karena dianggap membangun dengan konstruksiyangmembahayakan masyarakat. Akhirnya kita mengadu langsung ke Kapolda tentang risiko dari perbuatan maling ini terhadap gangguan listrik . Kapolda juga heran, masa mengatasi maling yang terbuka begini saja tidak bisa? Dan di depan kita Kapolda memarahi anak buahnya untuk segera pergi ket pasar loakan untukmenangkap tukang tadahnya, tetap saja ada tower roboh berikutnya.Kita juga sudah bekerja sama dengan preman lokal tapi juga gagal karena kalau ada pencurian, mereka bilang itu di luar kelompok saya. Kejadian terus berlangsung dan membuat saya putus asa karena dari pihak kementrian ESDM bukannya menolong, justru nadanya menuduh robohnya tower tersebut karena kesalahan desain dan pengawasan PLN. Untung saya dibela oleh staf Irjen yang sempat saya temani ke lapangan dan melihat sendiri bekas gergaji maling.

Saya hampir menyerah,sampai suatu saatwalaupun dengan kaki empat, saya nekad mendatangi tower yang roboh di tengah rawa dan setelah melihat dan merenung akhirnya menyimpulkan bahwa para maling itu pasti melakukan monitoring medan sebelum melakukan aksinya di malam hari dan sangat mungkin mereka akan mengurungkan niatnya seandainya ada tentara di sekitar situ. Akhirnya timbullah ide untuk sesering mungkin menghadirkan TNI di sekitar lokasi tower yang belum dialiri listrik dengan cara memberikan pekerjaan untuk mematikan atau mengelas setiap baud agar tidak bisa dibongkar. Karena baud-baud itu jumlahnya ratusan ribu, makadijamin setiap hari akan ada tentara yang bekerja dan mondar-mandir sekitar lokasi tower. Kita menemui SBY yang waktu itu Pangdam Sriwijaya untuk menyampaikan situasi yang kita alami dan mengajukan bantuan Yon Ziphur untuk menjalankan ide saya tersebut. Thanks juga to Toni Bambang Utoyo, tokoh generasi muda Palembang yang diperkenalkan oleh Gumilang (El 75) atas bantuannya untuk membantu mengamankan proyek tersebut dari gangguan preman. Rencana berjalan lancar, para kontraktor yang sudah pada balik ke Jawa karena putus asa akhirnya mau bekerja kembali dan Alhamdulillah sampai saat ini di sekitar Palembang belum pernah terjadi lagi pencurian kawat dan besi tower transmisi.

Kisah di atas adalah salah satu contoh masalah besar diantara banyak lagi permasalahan lain dalam era kaki empat tersebut yang Alhamdulillah dapatsaya atasi. Misalnya , proyek PLTA Musi yang nyaris dibatalkan karena Keppres yang aneh, berhasil dihidupkan kembali seperti pernah saya kisahkan dalam “Sepucuk surat buat Habibie.” Kita juga berhasil membatalkan dengan mulus kontrak-kontrak yang tidak efisien seperti yang saya tuliskan dalam artikel Tangan Tuhan.Namun dibalik berbagai achievement diatas, saya harus melalui perjuangan fisik dan mental yang berat yang nyaris membuat saya frustasi. Secara fisik umumnya patah kaki bisa sembuh kurang dari 1 tahun tapi kenyataan bahwa lebih dari 14 bulan kalus atau tulang baru pada sambungan kaki saya belum tumbuh dengan baik membuat saya depresi dan sempat dihantui ketakutan kalau kaki saya tidak bisa sembuh.Tapi untung saya punya istri yang hebat dan selalu memberikan semangat di saat-saat kondisi mental saya drop. Sementara itu dokter pun ikut-ikutan meragukan foto rontgen dan lebih percaya bahwa menurut pengalaman satu tahun pasti tulang telah tersambung. Mungkin juga karena terdesak mengikuti keinginan saya yang cerewetuntuk mulai melepas satu kruk agar lebih bebas bergerak . Keputusan itu berakibat fatal, ketika seminggu sebelum lebaran, kembali terulang kejadian tower roboh, kali ini di daerah Lampung. Saya meninjau sendiri tempat kejadian di lereng bukit walaupun harus menggunakan kruk. Setelah Lebaran saya mulai merasakan sakit linupada kaki kiri saya ketika bersama keluarga pergi ke Bangka sekalian untuk meninjau PLTD yang baru dibangun. Istri saya mencoba menghibur saya bahwa sakit itu karena kecapaian dan memanggil tukang urut dan saya berusaha meregangkan otot dengan berenang di laut. Tapi ternyata sakitnya semakin parah dan kami sekeluarga kembali ke Palembang dengan kapal cepat menyusur Sungai Musi dan sesampainya di pelabuhan S Musi Palembang, saya dibawa dengan becak menuju mobil. Keesokannya saya dibawa ke RS Charitas dan hasil rontgen secara jelas memperlihatkan tulang termasuk besi plat stainless steel setebal 60 mm yang patah, mental saya langsung jatuh dan tangis kekecewaan tidak dapat dibendung. Harapan untuk pulih ternyata harus berujung di ruang operasi yang katanya peralatan dan pekerjaan ortopedi hampir sama dengan bengkel dan kali ini penyambungan tulang dilakukan dengan memasukkan pin sepanjang 50 cm di tengah sumsum tulang. Operasi dilakukan keesokan harinya dan lucunya tanpa saya tahu siapa dokternya karena dia datang ketika saya sudah tak sadar dan pergi sebelum saya siuman. Perlakukan ini sempat membuat istri dan pegawai PLN marah dan yang membuat kita lebih kesal ketika akhirnya sang dokter dengan ramah menemui kita setelah mengetahui bahwa saya boss PLN di Palembang.

Tidak lama setelah operasi yang ke dua, Mentri Pertambangan dan Energi, Kuntoro Mangkusubroto memberhentikan saya sebagai Pimpinan Proyek di Sumatra bagian selatan. Walaupun hal ini sudah diduga sebelumnya karena sikap pimpinan yang berani menolak perintah pusat seperti yang saya tulis dalam” Tangan Tuhan,” tak urung hal ini membuat rekan-rekan bersedih karena mereka menganggap saya menjadi martir. Tapi saya pribadi bersyukur karena saya bisa punya berkonsentrasi untuk menyelesaikan kuliah S2 saya di UNSRI. Kenyataan berkata lain karena kurang dari 2 bulan saya mendapatkan SK promosi menjadi Kepala Divisi SDM di PLN Pusat sehingga saya harus menjadi mahasiswa terbang yang sering bolos dan PR nya dibantu oleh pak Mustiko. Saya nyaris tidak lulus karena ada dosen yang cukup killer tapi akhirnya bisa selesai berkat catatan prestasi saya sebelumnya.

Setelah dipindah ke PLN Pusat, bobot pekerjaan dan tantangan yang saya hadapi lebih berat lagi. Misalnya,di awal th 2000 sempat terjadi pengungsian besar besaran orang orang Jawa dari Aceh karena ancaman pengusiran oleh GAM. Exodus itu nyaris terjadi juga di PLN dan sulit membayangkan apa yang terjadi bila Aceh gelap gulita akibat instalasi PLN ditinggalkan olehpara pekerja utama PLN yang berasal dari Jawa. Awalnya karena kondisi kaki, saya berharap ada direksi atau pejabat senior lain yang mau ke sana untuk menenangkan orang-orang PLN yang akan exodus mengikuti rekan-rekannya dari instansi lain. Tapi ternyata tidak ada yang mau dan saya dengan Murtaqi terbang ke Aceh melawan arus exodus. Thanks God you give me a wonderful wife yang menguatkan hati saya untuk berangkat walaupun harus ditopang oleh kruk. Disana saya mendapatkan kenyataan bahwa GAM memang banyak pendukungnya termasuk para pegawai PLN, tapi kepada para pegawai yang kita kumpulkan saya hanya mengatakan kalau perlu saya akan tinggal di Aceh danmati itu urusan Allah bukan ditentukan oleh GAM. Alhamdulillah dengan spontan para pegawai PLN yang asli orang Aceh bertekaduntuk melindungi bahkan menyediakan rumah mereka bagi keluarga PLN yang dari Jawa dan akhirnya tidak seorangpun pegawai yang meninggalkan Aceh.

Salah satu pekerjaan berat lain yang fundamental adalah ketika Kuntoro memimpin PLN dan memberi saya peranan besar untuk memimpin restrukturisasi PLN (saya kira Kuntoro tidak sadar bahwa orang yang dia percaya adalah orang yang dia copot jabatannya dari Pimpro). Salah satu keberhasilan program tersebut adalah melakukan downsizing kantor Pusat dari semula 400 jabatan menjadi 30 jabatan dengan memindahkanpegawai Pusat ke unit-unit pelayanan terdepan untuk melayani pelanggan serta mengkarbit para talenta muda menjadi kepala cabang (silakan baca buku menjawab tantangan reformasi birokrasi). Pada saat saya mengemban tugas berat itulah, kembali kaki saya merasakan rasa sakitdan mulai membuat mental saya mengkerut. Ide itu datang tiba-tiba ketika suatu saat saya bertugas ke PLN Batam saya memutuskan untuk menyeberang ke Singapura menuju RS Mount Elizabeth. Walaupun tanpa reservasi, saya dilayani dengan cepat dan langsung dirontgen dan diperiksa oleh dokter ortopedi. Saya sangat kaget ketika dokter menyampaikan bahwa hasil foto rontgen telah dibahas oleh tim dokter dan mereka meminta saya untuk langsung dioperasi karenakondisi kaki saya yang kritis dan menambahkan bahwa risikonya sangat berat kalau saya harus pulang dulu ke Jakarta. Tim dokter mengatakan bahwa saya mendapatkan penanganan yang tidak tepatselama ini, seharusnya dilakukan pencangkokan “bone grafting” karena banyak serpihan tulang yang hilang akibat pecah tebu…“ It is a miracle there is still a bit callus between your broken bone, ” otherwise???Saya sempat bingungkarena saya tidak membawa uang dan persiapan apa apa karena niat spontan dari Batam hanya untuk konsultasi. Untungnya ada Mr. Marcus, Chinese Singapura yang baru saya kenal di pelabuhan yang secara spontanmenjaminkan kartu kreditnya ke RS. Tentu saja istri saya terkejut mendengar berita ini dan merelakan saya untuk dioperasi tanpa kehadirannya karena baru bisa terbang ke Singapura satu hari setelah operasi.

Congratulation Mr. Supriadi, your surgery has over and the doctor said you are going to be fine, demikian sapa Mr. Marcus ketika saya siuman dan menyodorkan air putih karena saya kehausan paska operasi.Tidak lama kemudian, ibu saya tiba disusul dengan istri saya yang tidak bisa menahan haru karena operasi berjalan lancar.Berbeda dengan perlakuan dokter di Indonesia, para dokter di Mount E selalu menjelaskan dengan rinci apa yang terjadi dan apa yang perlu dilakukan termasuk risikonya. Untuk menyambung tulang yang telah kehilangan sebagian masanya maka perlu diambil sebagian tulang dari pinggul saya untuk dicangkokan. Setelah beberapa hari melakukan fisio teraphy dan doctor memeriksa hasil rontgen, maka saya diperbolehkan pulang kembali ke Jakarta untuk melanjutkan perubahan besar di perusahaan yang saya cintai dibawah pimpinan Kuntoro. Sayangnya baru setahun Kuntoro memimpin PLN, Gus Dur telah mencopot beliau untuk digantikan oleh Eddie Widiono. Sementara itu, tidak seperti operasi sebelumnya, pemulihan kaki saya setelah bone grafting di Mount E,berlangsung sangat baik dan cepat. Maha besar Allah yang telah menyelamatkan saya dan dalam waktu enam bulan sudah terlihat pertumbuhan callus yang utuh menutupi sambungan tulang paha saya.

…..Ketika tenggelam dalam rasa syukur karena kaki saya berangsur pulih, fikiran saya melayang kembali pada peristiwa tabrakan Selasa Kliwonyang lalu di bukit Kemuning.Akhirnya saya menemukan jawaban kenapa saya memerlukan waktu lebih dari 2 tahun untuk pulih sementara si Joko dan Supardi yang secara logika paling parah karena duduk di kursi depan justru bisa pulih dalam waktu 8 bulan disusul pak Ari yang sembuh kurang dari 1 tahun. Urut-urutan sembuhnya dimulai dari strata paling bawah yaitu supir, asisten, Kepala Staf, dan terakhir Pemimpinnya. ..... Itulah janji saya kepada Allah yang saya ucapkan dalam hati pada detik kecelakaan itu terjadi yang dengan spontan menyampaikan saya akan menanggung risiko apabila permohonan saya agar semua bawahan saya selamat terkabul….

Labaik Allahuma labaiiikk … saya dan istri terharu melihat kebahagiaan anak-anak saya yang saya ajak pergi Umrah sebagai nazar kesembuhan saya, maklum Mekah adalah negri jauh pertama yang mereka kunjungi. Umrah itu juga merupakan awal dari kesembuhan penuh saya ketika tanpa sadar saya mengikatkan sorban ke tongkat saya untuk dijadikan bendera dan saya angkat sebagai penunjuk ketika rombongan terpisah waktu melakukan tawaf di sekitar Kabah.Setelah tujuh keliling selesai dan menyelesaikan shalat di Maqam Ibrahim, seluruh rombongan sadar bahwa saya telah menyelesaikan tujuh keliling tawaf tanpa bantuan tongkat………. Labaik Allahuma Labaiiiik, innal hamda wa ni’mata laka wal mulk, lasyarikalaka labaiik….

Bekasi, november 2012

YSL

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun