Mohon tunggu...
Supiani
Supiani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Hamba Allah

Supiani seorang hamba Allah dan juga mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Sulitnya Suku Dayak Mendapatkan Pengakuan Atas Hutan Adat

5 Juni 2021   17:11 Diperbarui: 5 Juni 2021   17:17 820
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Supiani 18130149Salah satu dasar dalam regionalisasi suatu kawasan adalah adanya azas similiarity atau kesamaan tertentu baik secara fisik ataupun budaya. Begitupula yang selama ini diperjuangkan suku dayak di Kalimantan Selatan atas hutan adat atau tanah ulayat.  Dikutip dari Media Indonesia, Dinas kehutanan Kalsel telah melakukan penelitian serta berdialog dengan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di Kalimantan Selatan. Dari situ dapat diambil kesimpulan bahwa yang disebut hutan adat adalah kawasan yang dilindungi oleh masyarakat lokal dan dikelola secara bersama-sama. Hutan yang ada harus dijaga dan tidak boleh ditebang tetapi, digunakan sebagai sarana pengobatan dan sembahyang.

Selama ini keberadaan hutan adat di Kalsel belum mendapat pengakuan dari pemerintah, berbagai cara pun dilakukan masyarakat suku Dayak untuk memperjuangkan hutan adat mereka seperti pengusulan agar dibentuknya tim kajian mengenai hutan adat dan nantinya diharapkan  ada peraturan khusus yang mengatur tentang hutan adat.

Tetapi pemerintah selama ini terkesan lambat dalam merealisasikan tuntutan masyarakat suku dayak sehingga mereka mempertanyakan komitmen pemerintah terhadap masyarakat adat. Sudah banyak sekali konflik yang melibatkan antara perusahaan tambang batubara dan sawit dengan masyarakat adat, dengan tidak adanya peraturan daerah yang mengatur tentang hutan adat ini maka secara tidak langsung akan mengancam keberadaan suku dayak di Pegunungan Meratus (tempat tinggal suku dayak) beserta kekayaan alam di dalamnya. Padahal suku dayak selama ini telah berupaya melindungi tanah mereka guna menjaga kelestarian alam demi kelangsungan hidup generasi berikutnya.

Konflik antara Suku Dayak dengan Perusahaan


Sudah banyak kasus konflik yang terjadi antara suku dayak dan perusahaan yang ujung-ujungnya pasti menempatkan suku dayak sebagai pihak tersangka seperti yang terjadi pada Arif (38), warga suku dayak meratus yang ditahan Polres Kotabaru, Kalimantan Selatan. Arif ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan laporan polisi Nomor. LP/K-22/1/2017/KAL-SEL/RES KTB/SPK, tanggal 09 Januari 2017, dengan dugaan tindak pidana  orang perseorangan dengan sengaja menyuruh, mengorganisasi, menggerakan, melakukan pemufakatan jahat untuk melakukan penggunaan kawasan hutan secara tidak sah. Kasus lain terjadi pada Manasse Boekit (70) dari Badan Pengurus Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (BPH AMAN) juga ditetapkan menjadi tersangka oleh Polres Tanah Bumbu dengan kasus yang serupa dengan Arif.
Penetapan Arif dan Manasse Boekit sebagai tersangka ini jelas sekali adalah bentuk kriminalisasi kepada masyarakat suku dayak meratus dalam upaya mereka mempertahankan hutan adat  dari perampasan perusahaan.

Mengutip dari apahabar.com, Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan selatan, Kisworo Dwi Cahyono mengatakan “ Konflik antara perusahaan dan Suku Dayak akan terus ada, karena hutan adat belum diakui negara. Padahal suku Dayak adalah orang pertama yang menghuni pulau Kalimantan, jauh sebelum Indonesia merdeka mereka sudah ada disini, tapi hak mereka sampai sekarang belum diakui negara”.  


Bencana Alam Akibat Pengrusakan Hutan Adat Mulai Terlihat


Sekitar bulan februari lalu, Desa Datar Ajab yang berada di lereng pegunungan meratus mengalami banjir bandang. Tujuh orang warga tewas terbawa banjir dan puluhan rumah rusak parah karena diterjang air bah setinggi ± 3 meter para warga yang kehilangan tempat tinggal terpaksa mengungsi di Balai Adat. Isak tangis warga pecah di tempat pengungsian ketika menceritakan kembali kronologi banjir bandang yang menghancurkan desa mereka. Penyebab banjir bandang ini sudah bisa ditebak, maraknya penebangan liar secara besar-besaran tanpa mengindahkan hukum adat dan adanya aparat yang juga ikut bermain di dalamnya.

Keberadaan hutan adat merupakan warisan nenek moyang suku dayak yang sudah diwariskan turun temurun, para leluhur suku dayak selalu menjaga kelestarian alam mereka untuk keberlangsungan hidup generasi berikutnya. Pemanfaatan sumber daya alam biasanya diatur dalam hukum adat, berbagai hasil alam diambil secukupnya saja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti makanan, obat-obatan dan, kayu untuk membangun rumah jika ada yang melanggar maka, akan ada sanksi yang akan diberikan oleh ketua adat suku dayak.
Tetapi, seiring dengan maraknya pembukaan lahan oleh perusahaan tambang dan sawit serta penebangan liar secara besar-besaran membuat hutan adat suku dayak menjadi terancam. Hal ini diperparah dengan lambatnya proses perancangan Perda yang mengatur tentang hutan adat ditambah lagi adanya oknum aparat yang ikut bermain memuluskan ambisi para cukong-cukong itu. 

Akibatnya,  konflik antara suku dayak dan perusahaan seringkali terjadi dan selalu menempatkan suku dayak sebagai pihak yang disalahkan padahal mereka hanya menuntut hak yang sudah semestinya dikembalikan.

Jika kondisi ini terus dibiarkan maka, bencana demi bencana hanya akan menunggu waktu dan cerita tentang kekayaan alam Kalimantan Selatan beserta kearifan suku dayak hanya akan tinggal kenangan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun