Mohon tunggu...
Zulidyana D Rusnalasari
Zulidyana D Rusnalasari Mohon Tunggu... Ilmuwan - a learner that is still learning about everything... Cultural Studies freak, literature and philosophy learner... /ILUNI 2012/ IKA Unair 2009/ UNESA 2016

a learner that is still learning about everything... Cultural Studies freak, literature, and philosophy learner... /ILUNI 2012/ IKA Unair 2009/

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Panoptikon Itu Bernama WAG

30 Desember 2018   14:19 Diperbarui: 30 Desember 2018   14:41 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.infochristo.com

 Beberapa tahun terakhir, pola komunikasi masyarakat menengah ke atas Indonesia didominasi oleh pola komunikasi yang bersifat peer group. Sejak WAG booming dengan segala fasilitasnya, masyarakat (termasuk saya) memilih membuat group di platform ini untuk berkomunikasi, berkoordinasi, bahkan sampai mengeluarkan instruksi. 

Ranah public dan privat menjadi campur aduk dalam keseharian komunikasi via WAG. Tidak ada batas yang jelas ketika komunikasi WAG ini terjadi. Setiap orang berhak memosting, berhak komentar, reply bahkan dengan penggunaan CAPSLOCK ekspresi marah dan penonjolan POWER RELATION bisa dimunculkan. 

Pola komunikasi yang canggih ini sebenarnya memudahkan, real time dan fast response. TAPI, dampak negative nya pun tidak sedikit. Sadar atau tidak, dengan adanya WAG banyak pegawai dan bawahan "membawa pulang" pekerjaan mereka di kantor. Raganya ada di rumah, tapi WAG menjadi panopticon yang senantiasa "menghantui" waktu istirahat nya. Bagi para Bos, WAG juga menjadi kepanjangan kekuasaan nya di kantor. Bos yang pengertian, akan menghentikan segala instruksi nya saat jam kerja sudah terlewat. Tapi, ada juga Bos yang justru lebih aktif di WAG daripada koordinasi di dunia nyata. (entah kenapa).

Bos semacam ini akan memantau anggota grupnya, bahkan rajin "nge-view" status dan postingan anak buahnya, jika dibandingkan mungkin waktunya untuk stalking bawahannya lebih banyak daripada memikirkan "action" nya sebagai atasan. Bos insecure semacam ini jamak di dunia kita, karena biasanya  mendapatkan posisi bukan karena kompetensi, tapi justru karena alasaan-alasan lain yang lebih personal. 

 Insekuritas seorang bos, akan melahirkan panopticon via dunia maya, salah satunya adalah WAG. Karena dia bisa mengecek, siapa saja yang sudah "membaca" atau "nge-read" postingannya. Jika sang bawahan belum respon, sang bos biasanya akan menjapri atau bahkan ngetag/mention si bawahan yang dimaksud. Pada akhirnya manusia kehilangan yang namanya "ruang pribadi" nya. Pelan tapi pasti perubahan ini terjadi akibat manusia yang tidak memiliki prinsip dalam keseharian nya, larut dalam perubahan media dan segala teknologinya.

Dampak selanjutnya bisa meluas dalam ke-efektifan bekerja, bawahan yang ter-panopticon biasanya hanya menunjukkan "kebaikan-kebaikan"yang bisa dipamerkan-dengan kata lain bisa DIPOSTING. Sehingga banyak yang melupakan, bahwa inti dari sebuah masyarakat yang maju adalah REGENERASI. Bagaimana bisa meregenerasi, jika panopticon adalah alat utamanya? Personal touch, dan manusiawi nya manusia telah kabur oleh "bukti-bukti" palsu berupa foto dan like atau bahkan emotican. Apresiasi dan prestasi seolah menjadi  keseharian yang dijadikan daftar lantas dipamerkan. Padahal, dalam pendidikan, kita mengapresiasi prestasi seorang anak yang sedang bertumbuh bukan untuk dibandingkan atau dijadikan "daftar panjang" tapi untuk mengapresiasi ke"berbedaan" sang anak sebagai manusia. 

(ah, saya tiba-tiba  jadi ingat pembahasan puisi  Daffodills nya William Wordsworth, saat semua mahasiswa menggambarkan "crowd" sebagai personifikasi manusia yang bahagia, saat itulah saya terbayang bagaimana Daffodills yang "dancing" padahal hanya "fluttering" karena "the breeze", the "crowd" hanya sekumpulan manusia yang seolah bergerak, padahal hanya "stay")

Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun