Mohon tunggu...
Supatmono Sumarwoto
Supatmono Sumarwoto Mohon Tunggu... -

Lahir di Kabupaten Magelang. SD dan SMP di Granag, Magelang. SMA di Yk. Bekerja di Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kesetiaan

21 Juli 2013   00:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:16 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Oleh : Supatmono Sumarwoto
December 23, 2011 at 12:46pm

Isteriku berselisih usia 7 tahun denganku. Aku mengenalnya ketika pada suatu waktu aku bersilaturahmi ke rumah orang tuanya. Waktu itu dialah yang menghadirkan diri bersama segelas teh manis. Dia berwajah cukup cantik. Sedikit di atas rata-rata. Tak ada yang berkesan saat pertama kali bertemu dengannya. Hanya saja, aku menjadi semakin merindukan kebiasaan diri, setelah sering bertemu dengannya. Rasanya hidupku seperti burung yang telah menemukan sarangnya. Sedikit berharap pada kebebasan, namun tetap berusaha berada dalam kebebasan itu sendiri. Sangat sedikit aku merasakan adanya aturan yang mengikat dari isteriku. Dan itu telah berlangsung sejak kemudian kami berpacaran, hingga sekarang kami telah beranak tiga.

Sebenarnya aku bukan lelaki yang bertipe setia, sebagaimana orang menggambarkan sebuah keluarga yang harmonis. Maksudku, aku bukan lelaki yang tidak merindukan perubahan temporal. Aku cenderung menggemari kesenangan-kesenangan pribadi atas waktu dan ruang. Dan sebenanrnya itu lah yang lebih menyita sebagian besar masa lajangku. Aku gemar mendaki gunung. Banyak kawan baru yang aku dapatkan dari sana, termasuk kawan wanita, yang cukup cantik, kalau boleh dikatakan tidak jelek. Aku  cukup bebas memandang pergaulan hidup antar jenis. Aku tak pernah menolak kegairahan masa mudaku. Bergembira bersama mereka semua untuk sesaat, itu menimbulkan gairah yang memuaskan diriku. Bergunung-gunung aku daki.  Lereng-lereng pegunungannya menggairahkan diriku akan langit. Langit keindahan. Tak ada yang menyia walau dalam batas angan pun. Warna biru gunung yang aku akrabi dan aku dekati ternyata kesegaran diri itu sendiri, yang biasa merunduk di sebalik gerumbul pepohonan pada saat pagi menjelang terbit mentari.  Kelelahan mendaki memang sangat menyiksa. Namun itu tak sebanding dengan kepuasan menaklukan batas diri lelah itu sendiri. Aku jadi lebih merambahi sisi keagungan ciptaanNya. Walau tak begitu jelas. Tersamar. Dan menutup diri, namun membuat diriku mengakrabi kebebasanku dari perimbangan yang lain, yaitu keharusan untuk tak mengumbar rahasia tujuan perjalanan yang lebih layak dinuansakan sebagai kesan diri atas apa pun.  Di puncak gunung aku merasakan kerajaan diriku sendiri yang luas sebatas pandangan mata. Bercakrawala laut dan kadang kabut. Laut bila dipandang dari gunung merupakan kejelasan yang misterius. Dan kabut menjadi ketakjelasan yang membatasi. Semua yang dekat ternyata berhijab. Dan semua yang jelas ternyata misteri itu sendiri. Aku enggan dengan kedangkalan atas semua hidup, sebagaimana kisah semua gunung berada. Jadinya, aku kadang memilih menutupi rahasia ketaksetiaanku dengan diam.

Kegemaranku yang lain adalah bermain. Permainan apa pun senantiasa menyita waktu dan perhatianku. Hingga aku memilih apa yang aku gemari. Barangkali inilah sebenarnya pangkal dari semua ketaksetiaanku. Aku cenderung lebih menyukai untuk mencoba-coba. Seperti setan dalam cerita-cerita israiliyat. Bagiku ketenangan hidup tanpa kreasi atau paling tidak gerak yang menandai hidup, adalah basi. Karenanya aku sering sekali mengagendakan waktu bermain, entah itu dengan game, atau kartu, catur dan kadang permainan olah raga ringan yang dapat menyamarkan diri atas seluruh ketelanjangan waktu.

Namun demikian, isteriku ternyata cukup memahami. Paling tidak dia tidak pernah atau jarang bertanya atas semua masa laluku. Bukannya aku tak hendak terbuka, namun aku lebih memilih ruang kebebasan yang lebih menjernihkan kebersamaan kreatif dalam pemeliharaan diri. Tak banyak yang dia tuntut. Dan aku bersukur karenanya. Lebih dari itu aku cinta dia. Ya, sesederhana itu lah hidup kami. Namun sebenarnya aku juga tak mengerti benar dengan ungkapan cinta ini. Jika cinta adalah secuil ungkapan dalam lembaran sejarah manusia, maka itu menjadi sangat naïf. Aku bukan lelaki kaya. Yang mampu memberi isteriku kelimpahan benda-benda. Atau lelaki terkenal yang mampu memberi isteriku siraman ketenaran dalam gemerlap cahaya dan sungsungan puja-puji semua manusia. Aku lelaki yang biasa saja. Hanya kadang aku membanggakan diri sebagai lelaki yang jarang mendapat kesialan. Termasuk keberuntungan mendapatkan isteriku, sebuah rumah kecil, tanpa tipe, anak-anak yang meruahkan sore kami dengan tawa dan kadang tangis mereka, serta sedikit kebahagiaan memiliki kebiasaaan hidup manusia. Jika cinta  merupakan ruang besar pengungkapan tempat melaganya manusia dan kemanusiaannya, maka cintaku itu menjadi sangat tak berarti. Aku tak mungkin menyerahkan kepada isteriku seluruh waktu hidupku untuknya dan untuk anak-anak kami bahkan, karena aku ternyata lelaki yang sangat tak menyukai usikan atas semua suasana. Jarang aku berdesir melihat kecantikan isteriku. Bagiku dia biasa-biasa saja. Dan aku memilih dia, karena tepatnya waktu lah yang mesti mengakhiri masa lajangku dengan menemukan dirinya yang juga tak bersuami. Dan aku berterima kasih karenanya.  Aku kadang berterima kasih karena wajahnya sangat tenang, nyaris tak beriak air muka, dalam suasana yang menggelisahkanku. Aku kadang berterima kasih karena tiba-tiba dia menyelamatkan aku dari kebingunganku dikunjungi tamu. Aku kadang berterima kasih karena sering aku tak mengetahui maksud anak-anakku, dan dia tahu. Aku kadang berterima kasih karena dia mengejutkanku dengan rasa masakannya yang tak bisa aku jumpai di tempat mana pun. Aku kadang berterima kasih karena tatapannya tak mengasingkanku  dari semua sejarahku. Walau aku tahu dia tak mungkin tahu semua sejarahku. Barangkali aku lelaki bodoh. Namun aku takut untuk menyebut demikian. Bukan apa-apa, aku takut anak-anakku menjawab ketakutanku akan kebodohanku sendiri, yang aku sembunyikan dalam-dalam dengan kenyataan masa depan mereka sendiri.  Dan aku berterima kasih karena isteriku sering menyelamatkanku dari suasana kegelisahanku itu.

Banyak orang tua berkata tentang sebuah kearifan tradisional atau barangkali sebuah anggapan yang dianggap mewakili sebuah kenyataan, “Nilailah seluruh kejuangan isterimu selayak kejuangan ratu”. Aku tak bersepakat benar. Entah, mungkin karena diriku sendiri tak pernah, atau tepatnya belum mampu  menghargai isteriku sedemikian mulia selayak anggapan tersebut. Sebenarnya aku ingin banyak belajar dari ungkapan itu. Arti pengabdian, dan cara menilai diri yang pengabdi di hadapan manusia dan seluruh kemungkinan hubungan yang timbul di antaranya. Aku lebih menyukai hubungan kesetaraan, walau itu pun aku tak konsisten benar. Akhir-akhir ini, sebenarnya mulai ketika kami telah beranak satu, aku mulai menyadari kebenaran ungkapan itu. Banyak sekali hal yang tak bisa kulakukan sendiri, dan hanya mampu dilakukan oleh isteriku atas anak-anakku. Semua itu dia lakukan dengan diam selayak pengabdi yang tak aku begitu cenderungi. Semula aku hanya menganggap sebagai persoalan keterdidikan isteriku. Isteriku memang sarjana. Menjadi sebuah karunia besar dari Yang Kuasa bagiku. ketika kemudian dia bersedia aku nikahi. Namun seiring waktu berjalan, ternyata aku harus menilai dari sisi yang lain, dan itu berarti aku harus mempedulikan semua peran ibuku yang tak pernah aku pikirkan dengan serius. Aku harus menyerah pada kenyataan kesejarahanku sendiri. Betapa kasih sayang manusia itu hanya dapat diberajarkan oleh kehadiran wanita, isteriku, dan ibuku. Itu merupakan area profesionalisme yang sepadan dengan profesionalisme lainnya. Aku harus terkagum-kagum sendiri atas kehadiran peran itu. Layak aku diam, karena aku pun mesti belajar untuk menghargainya dengan cara lelaki yang lebih beradab. Pengabdian, ya pengabdian itu adalah nafas dari kasih sayang, degup dari semua kepedulian atas sejarah manusia dan irama dari pemeliharaannya. Aku mesti berendah diri atas penemuanku, karena jika aku bandingkan dengan ukuran kesetiaanku, maka sungguh nista benar diriku sendiri ini.

Kadang aku rasakan Sang Pencipta sendiri yang berbicara tentang pemeliharaan, melalui keseharian isteri dan anak-anakku. Betapa kekasaranku atas nilai-nilai kesetiaan menjadi semakin tak berharga, karena hanya sekedar senilai kekasaran itu sendiri. Dan itu sangat materialistis sifatnya. Namun aku belum mau mengalah benar dengan penemuanku itu. Aku masih mencoba mencari pembenaran dengan keharusan keberadanku di tengah mereka. Aku katakan pada diriku sendiri, bahwa aku memang layak bersikap apa pun di sekitar mereka, dalam tata hubungan mereka. Karena tanpa kehadiranku, mustahil mereka berada. Namun itu berarti mengkhianati kebebasan yang selama ini aku anut. Atau berarti pembenaranku hanya berusia sesaat kesadaranku atas kebebasan aku tanggalkan. Sehingga manakala kesadaran itu muncul, aku menjadi terdiam, merasa bersalah. Aku juga pernah mencari pembenaran yang lain, bahwa aku pun termasuk insan yang sedang belajar berkasih sayang dalam pengabdian seorang ibu pada anaknya. Namun itu pun mengkhianati caraku menghargai ibuku selama ini. Dan aku merasakan kenaifanku dengan alasan itu. Karena mustahil bagiku untuk tidak bersikap sebagai manusia yang pernah mencecap kesempatan belajar itu. Kebosanan akhirnya menghinggapi aku. Akhirnya aku harus menyerah. Menyerah sekedar pada anggapanku atas pengabdian isteriku itu. Aku merasa kerdil, karena semua kemungkinanku beralasan mesti larut oleh kekuatan pengabdian itu. Dan aku mesti menata diri seirama dengan keikhlasan pengabdian isteriku. Anehnya aku kadang  menemukan keharmonisan irama itu. Sayup dan tidak begitu jelas.

Keikhlasan itu sendiri adalah misteri bagiku. Semakin aku tak setia, semakin aku merasakan keberjarakanku dengannya. Mau tak mau aku mesti menata lagi nilai-nilai diriku. Menilai ulang semua keyakinanku dan anggapanku atas diri sendiri. Dan malangnya aku hanya bisa belajar dengan cara tidak percaya atas semua anggapanku. Walau aku percaya kealamiahan semesta, namun kealamiahan keikhlasan isteriku bukan seperti yang aku kenal dahulu, ketika aku masih menyukai pendakian.  Kealamiahan isteriku berangkat dari keberadaan eksistensi anakku yang mesti dipelihara olehnya, dan itu bukan petualangan. (Aku merasakan sedikit kebangganku karenanya). Sepertinya tak ada yang rumit dari semua yang bukan petualangan. Namun itu pun tidak benar. Aku harus menyatakan bahwa yang bukan petualangan itu lebih rumit dari semua petualanganku. Tak ada kerewelan anakku yang disengaja. Dan bukan sekedar kesengajaan yang mesti merespon itu, namun kesungguh-sungguhan yang sangat mendasar dari sebuah bangunan kesetiaan dan pengabdian yang mesti meredakannya. Tak ada rasa ingin tahu anakku yang tak hadir dari penginderaannya yang wantah. Dan bukan sekedar pikiran yang mesti menjawabnya, namun jawaban yang berhati dan berasal dari sebuah bangunan kesadaran atas kebiasan hidup pemelihara yang mesti melunasinya.  Aku pun jadi mesti bertanya-tanya atas sekian banyak ekspresi anakku. Apakah itu sekedar kehendakNya yang jujur atau sandiwaraNya yang tulus ? Sering aku melihat dia sekedar bersandiwara untuk menyatakan kebanggaannya atas cara tanggap dirinya terhadap perhatian isteriku. Aku anggap itu sebagian bayaran bagi lelah moral isteriku yang harus berkebiasaan teratur dan mengatur kebiasaan teratur itu, walau itu tak sedemikian  benar. Aku pun harus bertanya-tanya pada diriku sendiri tentang sekian banyak cara isteriku menanggapi ulah anak-anakku.

Sekian banyak pikiran atas kehadiran anak-anakku membawaku ke alam perenungan baru. Aku tak benci benar dengan semua perenungan. Apalagi setelah aku banyak berhubungan dengan kakek Suminto. Aku juga terbiasa dengan hal itu. Saat kesendirian bujanganku, suasana kerja pun telah menuntutku untuk merenungkan sekian banyak sikap teman sekerja. Lebih pada sekedar kebutuhanku atas hubungan kerja yang rasional dan  berharga. Dan itu tak membuat diriku mesti mengembangkan angan atau imajinasi serumit perenunganku atas hubungan anak-anakku dan isteriku. Banyak yang tak aku ketahui, sehingga aku berharap suatu kesempatan untuk menemui seseorang yang selama ini biasa aku anggap memiliki penilaian yang mendalam. Ya, Kakek Suminto yang lembut. Aku rindu dia karena isteriku. Aku ingin menemuinya karena anak-anakku.

Jatiwaringin, 15 Maret 2004

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun