Mohon tunggu...
Supatmono Sumarwoto
Supatmono Sumarwoto Mohon Tunggu... -

Lahir di Kabupaten Magelang. SD dan SMP di Granag, Magelang. SMA di Yk. Bekerja di Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Produksi Ide dan Atraksi Kreasi

14 Maret 2019   12:57 Diperbarui: 14 Maret 2019   18:59 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh  : Supatmono

Bangsa Indonesia mestinya mampu menjual ide. Saat Sumber Daya Alam sulit dijadikan komoditas andalan, maka kita harus menciptakan jembatan-jembatan menuju kreatifitas kolektif bangsa. Ide betapa pun hanya sekedar mimpi mestilah dimaknai sebagai karya kreatif pertama kemanusiaan. 

Di dalamnya bahkan mungkin terkandung nilai bermakna kesucian, keunikan dan kenakalan yang cerdas, yang membebaskan diri dari kungkungan dimensional wujud-wujud statik dan waktu-waktu niskala yang profan. Apresiasi yang kuat, yaitu tersedianya perangkat uji, penilaian berimbang dan ukuran reaksi eksplosif maupun deplosif atas massifikasinya, merupakan perangkat yang musti diberadakan.

Fantasi dan film: salah satu moda produksi ide

Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah gagal mewujudkan mimpi-mimpi besarnya, betapa pun kecil signifikansinya terhadap konstruksi realitas. Nabi-nabi, para penemu , pemimpin besar bangsa mana pun pernah menggunakan mimpi sebagai perangkat asertif, peneguh eksistensi diri.Lenardo Da Vinci adalah potret seorang pemimpi yang kreatif pada jamannya. Idenya mengatasi batas waktu dan keruangan. Hingga hinggaplah realitas maknawiahnya sebagai masa depannya yang maujud di kekinian.

Kebanggaan menjual ide mestilah berangkat dari pemahaman bahwa manusia mampu mengabstraksikan dirinya sebagai apa dan siapa pun kemungkinan hadirnya representasi diri.  Dengan film, kita bisa “menjual” cara penghadiran karakter diri, aksen-aksennya, cara pandang diri dan menawarkan kemungkinan berbagi dalam spirit saling memahami.  Bentuk pertarungan eksistensial dapat dimanipulasi sebagai bahan ajar diri, cermin diri yang tidak menggurui namun memberikan kesan-kesan yang “illusif” yang layak mencahaya. 

Ragam profanitas kemanusiaan bisa dihadirkan sebagai kemungkinan diri mengalaminya sendiri dalam sebuah rangkaian sebab akibat logis dan motif  berempati, bereaksi secara rasawi dalam batas kesadaran eksistensial. Dengan film kita bisa menjadi kupu, mentari, sungai dan bahkan dinosaurus dalam batas kemungkinan-kemungkinan logis-metaforanya. Dengan film kita bisa membunuh semua kepenatan ideasi dalam rekreasi-prokreasi.

Tantangan global

Globalisasi merupakan sebuah era baru. Ada perangkap dan sekaligus pembebasan. Perangkapnya adalah keberagaman yang mesti dieapresiasi sebagai keseragaman pranata diri. Nilai-nilai lokal dapat dilenyapkan sekedar sebagai data dan anggapan prematur atas individualitas manusia lokal. Modernitas global merupakan momok bagi keunikan dan alienasi bagi semangat berkelompok-tradisi. 

Perubahan yang semu karena kemungkinan kemapanannya dilenyapkan oleh gegap fenomenalnya, merupakan persoalan krisis global. Krisis global lahir dilatar belakangi pertarungan daya untuk memapankan nilai-nilai global tersebut dalam suatu durasi yang sarat sosialisasi dan iklan pemasaran. Penipuan global berikutnya adalah reaksi yang salah atas sebuah  paparan konstruktif oleh proses dekonstruksi. Kapan dan dimana mesti dilakukan rekonstruksi akhirnya lagi-lagi muncul sebagai persoalan usang kemanusiaan, yaitu keadilan yang tertunda.

Di lain pihak globalisasi menawarkan pembebasan yang meruah dalam kesan imajinatif yang terlihat tidak sulit dikonstruksikan sebagai realitas, karena tidak perlu lagi mengadopsi pertimbangan nilai-nilai dalam sebuah proses pengambilan keputusan yang rumit. Beragam ruang adaptif tercipta dan mengkomunal dengan kesyukurannya atas semua keberadaan. 

Konservasi kreatifitas muncul sebagai opsi-opsi positif yang menuntut produktivitas ide, betapa pun sederhana bentuknya. Kebutuhan-kebutuhan manusia menjadi tersederhanakan oleh waktu .Rantai produksi sedemikian cepat dan canggih menciptakan komoditas dan menutupi lobang-lobang kebutuhan manusia modern.

Dengan kondisi semacam itu, maka peluang bagi bangsa Indonesia untuk menjual gagasan dalam moda dekonstruksi dari gagasan besar bangsa yang telah mapan secara ideologis menjadi mungkin. Dan mungkin juga menjual ide sebagai pecahan-pecahan duratif yang bakal terekonstrusi oleh reaksi massa atas ikon-ikon publik yang terpasarkan  Masalah yang mungkin timbul adalah sulitnya kita membangun sebuah kebanggaan  nasional sebagai representasi kekuatan ideologis kita saat ini. 

Unit-unit produksi nilai dan barang publik bangsa kita praktis lumpuh dan kita “terjajah” oleh moda utilitas global.  Nilai-nilai bangsa sering dan biasa kita lumpuhkan sendiri, kita kebiri sendiri, kita sembelih sendiri dalam rantai birokrasi dan peraturan yang mengisolasi sehingga menjadi nilai yang tak mendapatkan kesempatan memperoleh sandaran-sandaran prosesnya menuju kemanfaatannya bagi diri dan kemungkinan mengiluminasikannya sebagai tanda keberadaban diri.

Modal awal bangsa

Keberagaman eksistensi merupakan “makanan” sehari-hari bagi bangsa Indonesia. Kita telah terbiasa beraksi, berinteraksi dan berkreasi apa pun sederhananya dalam kondisi plural. Ini tentu saja bisa menjadi modal bagi proses peletakan jembatan konstruksi menuju kreatifitas kolektif bangsa. Bila pun sering muncul persoalan di dalamnya, maka yang selama ini terjadi  dapat diatasi dengan moda-moda konservasi yang telah ada. 

Dialog durasi optis dan  auditif telah mampu  kita lakukan dengan cara beragam. Filosofi Ki Hajar Dewantoro telah mempolakan dialog tersebut dalam urutan opsional kepemahamannya. Diam, aksi, dan keadilan antara keduanya telah terumuskan dalam ukuran kesederhanaan manusia Indonesia yang belajar. 

Secara moral bangsa Indonesia telah memiliki pranata dalam menghadapi dan menyikapi fenomena imagi dan realisasi wujudiah makna-makna abstraknya. Artinya, kekhawatiran akan munculnya kejatuhan moral bangsa ke dalam jurang kerendahdirian maknawinya mungkin bisa dihindari dan diatasi oleh bangsa Indonesia.

Kerja adalah pema’afan dan sekaligus kesyukuran dari sebuah peradaban. Jika sebuah peradaban telah sarat dengan manipulasi, ketakjujuran menyeluruh dan permainan yang tak menggambarkan kecerahan yang cerdas, kecuali tuangan kemunafikan, alienasi dan pengingkaran- pengingkaran, maka kerjalah sarana penyembuhan yang utama. Sebuah rimba, iklim yang dingin memang menjadi tantangan besar bagi para pekerja film. Tak ada sambutan yang hangat bagi para frontier di mana pun adanya. 

Tanpa bermaksud mengecilkan hati para pekerja dan produsen ide Indonesia saat ini, kita layak berharap secara khusus agar tangan-tangan kekuasaan modal dan birokrasi mengembangkan keterbukaannya atas kerja positif anak-anak bangsanya. Tak harus Bapakisme yang mesti mengajarkan langit penemuan diri. Namun barangkali kelembutan ibu pengetahuan yang mesti memberi perlindungan yang kukuh dan sederhana. Langit terbuka, bumi merekah dengan tunasnya dan rimba-rimba adalah kehangatan luah-luah kreatif yang tak habis-habisnya untuk kita gali, menjadi kekayaan peradaban.

Supatmono

Alumni Teknik Fisika ’88-ITB 

Jalan Pratama 19 September 2009

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun