Bila mengikuti sejarah, seharusnya, hari ini, Selasa, 9 Juli 2019, sudah terpilih Ketua Umum PSSI baru sepeninggal Edy Rahmayadi. Sebab, 8 tahun yang lalu tepatnya 9 Juli 2011 Djohar Arifin Husein juga terpilih menjadi Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) periode 2011-2015.Â
Djohar Arifin berhasil keluar sebagai pemenang dalam persaingan menuju PSSI satu di Kongres Luar Biasa PSSI, di Surakarta. Saat itu, dalam pemilihan, Djohar Arifin meraih 61 dukungan dari para pemilik suara yang hadir. Djohar mengungguli saingan utamanya, Agusman Effendi, yang hanya meraih 38 suara, di putaran kedua pemilihan.
Djohar Arifin menakhodai PSSI setelah sebelumnya dipimpin oleh Nurdin Halid. Pertanyaannya, mengapa 9 Juli atau paling tidak di bulan Juli 2019, tidak akan terjadi pemilihan Ketua Umum PSSI yang baru, bila merujuk pada masa jabatan Djohar Arifin Husein.
Apa yang terjadi dengan kondisi kepemimpinan Djohar dan organisasi PSSI? Bahkan selanjutnya, Edy Rahmayadi terpilih sebagai Ketua Umum PSSI periode 2016-2020 dalam Kongres PSSI yang digelar di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta Utara, Kamis (10/11/2016).Â
Edy mengalahkan kandidat lainnya, yakni Bernhard Limbong, Kurniawan Dwi Yulianto, Eddy Rumpoko, Moeldoko, dan Sarman. Dalam penghitungan suara, hanya ada 2 nama dominan yang muncul, yakni Edy Rahmayadi dan Moeldoko. Edy Rahmayadi, yang saat itu masih menjabat Pangkostrad TNI, meraih 76 suara, sedangkan Moeldoko mendapat 23 suara. Pesaing lain, Eddy Rumpoko mendapatkan satu suara dan jumlah suara tidak sah ada tujuh dari total 107 suara.Â
Uniknya, ada 2 calon ketum yang menyatakan mundur, yakni Erwin Aksa dan Tony Aprilani, sementara Djohar Arifin Husin, yang kembali mencalonkan diri, didiskualifikasi karena namanya belum diputihkan pasca-tersandung kasus seusai memimpin PSSI periode 2011-2015.
Bahkan, mengutip laman resmi PSSI, dalam empat tahun kepemimpinan Djohar Arifin, banyak lika-liku yang dihadapi, termasuk munculnya KPSI (Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia) yang akhirnya menyebabkan dualisme kompetisi dan klub. Munculan KPSI tidak lepas dari pergolakan klub-klub PSSI yang menentang kompetisi model baru, Indonesia Premier League (IPL).
Akibatmya terjadi dualisme kompetisi, yakni ISL dan IPL.
Bahkan klub-klub sepak bola di sejumlah daerah juga terpecah. Ada yang ikut di kompetisi ISL dan IPL. KPSI akhirnya benar-benar menjadi momok dalam kepengurusan Djohar Arifin. Siapa penggagas KPSI? Mereka adalah La Nyalla Mattalitti, Toni Aprilani, Roberto Rouw, dan Erwin Budiawan, adalah sederet Anggota Komite Eksekutif (Exco) PSSI yang menggagas pembentukan KPSI.
Konflik Djohar dan La Nyalla berlanjut sampai Kongres PSSI berikutnya.
La Nyalla sukses terpilih dalam Kongres PSSI pada 18 April 2015 di Surabaya. Sayangnya, sehari sebelumnya, pemerintah melalui Kemenpora telah membekukan PSSI. Diikuti pula sanksi banned dari FIFA.Â
Saat sanksi itu jatuh, Djohar Arifin malah melakukan manuver, mengklaim bahwa dirinya masih Ketua Umum PSSI yang sah.
Djohar Arifin sempat mengirimkan surat kepada Presiden FIFA, Sepp Blatter.
Surat itu berbunyi agar FIFA tidak mengakui hasil Kongres Luar Biasa (KLB) yang berlangsung 18 April 2015 di Surabaya. Bukannya di bela dan dibenarkan, Djohar malah mendapat sanksi skorsing seumur hidup dari Komite Etik PSSI.Â
Setali tiga uang dengan Djohar, Edy Rahmayadi pun tak tuntas mengemban jabatan Ketua Umum PSSI hingga 2020, dan atas kondisi ini, jajaran pengurus PSSI di bawah Edy yang tersisa, karena sebagian yang lainnya sudah menjadi tersangka kasus mafia Bola, justru mencoba mempertahankan kedudukan dengan mencari pembelaan FIFA.
Buntutnya, Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI 27 Juli 2019 yang seharusnya juga dilaksanakan 13 Juni 2019, disulap menjadi hanya memiliki tiga agenda utama, yakni revisi statuta PSSI, revisi Kode Pemilihan PSS, dan memilih anggota baru untuk Komite Pemilihan (KP) dan Komite Banding Pemilihan (KBP).
Sementara pemilihan ketua umum sengaja dibuat mendekati masa tuntas jabatan Edy pada tahun 2020, meski rencananya akan dihelat pada bulan Januari.
Akankah agenda KLB 27 Juli 2019 tidak akan berubah? Mungkinkah pemilihan ketua umum baru PSSI akan tetap di Januari? Bukan dimundurkan lagi di bulan Juni atau Juli 2019 misalnya.
Luar biasa, bila kita telusuri berbagai akal-akalan di rumah besar oraganisasi PSSI yang hanya ada di Indonesia ini.
Lalu, apakah perjuangan KPSN (Komisi Perubahan Sepakbola Nasional) sebagai organisasi independen akan ada pengaruh dan dampaknya kepada voter maupun PSSI demi perubahan sepak bola nasional?
Apakah akan muncul kandidat calon ketua umum baru yang penawaran program dan kualitasnya tidak sekadar bermain politik uang, yang belum apa-apa malah akan bagi-bagi uang subsidi?
Kita tunggu panggung sandiwara sepak bola di Indonesia ini. Akankah sejarah kelam terulang? Ataukah sejarah baru tercipta karena semua yang berniat membantu dan duduk di organisasi PSSI bukan sekadar memanfaatkan PSSI dan sepak bola nasional yang sungguh seksi demi untuk kepentingan pribadi dan golongannya, namun demi prestasi sepak bola nasional? Kita tunggu.
Seharusnya, bila sepak bola nasional tidak dibuat berliku, maka hari ini, 9 Juli 2019 sudah terpilih ketua umum PSSI yang baru.